Proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di era Jokowi ini dianggap semakin tidak jelas.
- DAM Peninggalan Suharto Jebol: BWS Sumatera VII Perlu Normalisasi
- Kejati Sita Aset Terdakwa Kasus Pembangunan Pengaman Sungai Dan Banjir Kota Bengkulu
- Jenderal Tito Minta Anggaran Polri Ditambah Rp 44 Triliun
Baca Juga
Proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di era Jokowi ini dianggap semakin tidak jelas.
Pasalnya, aparat penegak huÂkumnya tidak mau memberantas korupsi yang dilakukan oleh para calon kepala daerah dan atau para petahana yang masih bertarung selama proses Pilkada Serentak 2018 berlangsung. Penegakan hukum dan pemberÂantasan korupsi dianggap hanya dagelan.
Koordinator Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Veni Vidi Vici (LBH Vedici) Josep Pangaribuan menyampaikan, dengan permintaan penundaan proses hukum para calon kepala daerah seperti itu menunjukkan Pemerintahan Jokowi semakin tidak bisa dipercaya.
"Kami mempertanyakan sikap aparatur hukumnya Presiden Jokowi yang seperti itu. Tindakan itu menciderai penegakan hukum dan menghambat pemberantasan korupsi di negeri ini. Kesannya, tindak pidana korupsi dilegalkan selama proses Pilkada serentak," cetusnya. dikutip Kantor Berita Pemilu KBPRI.
Sebab, lanjut Josep, money politics, penyelewengan angÂgaran dan penggunaan fasilitas negara akan kian massif dalam Pilkada. Pelanggaran demi peÂlanggaran seolah dibiarkan tanpa proses hukum.
Para petinggi institusi hukum di Indonesia saat ini, lanjutnya, terkesan sudah tak tahu malu, mempermainkan penegakan hukum demi memuluskan syahÂwat kekuasaanya, dan melabrak berbagai ketentuan perundang-undangan.
Dia pun menolak adanya peÂnundaan yang diinginkan aparat penegak hukum dalam memÂproses para tersangka koruptor yang diduga dilakukan oleh para pemain politik di tingkat lokal, yakni para calon ataupun incumbent yang bertarung di Pilkada.
"Malu kita dengan penegakan hukum yang dicuti-cutikan begiÂtu. Harus ditolak. Pemberantasan hukum harus berjalan terus. Mau Pilkada, Pilpres, semua harus dibersihkan," ujarnya.
Justru, kata Josep, dengan dibiarkannya cuti proses hukum, maka membuka peluang dibiarÂkannya calon kepala daerah yang korup dan serakah itu berpeluang menang di Pilkada dan akan meÂmuluskan aksi-aksi korupsinya di masa mendatang.
"Harus disetop dong. Mereka harus disikat dari sekarang, supaya yang terpilih menjadi kepala daerah nantinya bukanlah koruptor," pungkas Josep.
Seperti diketahui, Jaksa Agung Republik Indonesia HM Prasetyo menyampaikan, pihaknya tidak akan memroses para koruptor yang maju sebagai calon kepala daerah dalam Pemilihan Pilkada Serentak 2018 ini. Penundaan itu demi menjaga kondusitivas politik di berbagai daerah.
Penundaan itu juga, jelas bekas politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu, selain untuk mendukung lancarnya proses pelaksanaan Pilkada. Namun proses hukumnya diÂlanjutkan setelah proses Pilkada Serentak selesai dilangsungkan.
Prasetyo mengatakan, pihaknya juga ingin memuluskan pelaksanaan Pilkada Serentak yang kondusif, tanpa harus diÂributi oleh proses hukum yang terjadi kepada masing-masing calon kepala daerah yang tengah mengikuti Pilkada.
"Penundaan proses hukum selama Pilkada ini bermanÂfaat. Keberlangsungan penyeÂlenggaraan Pilkada bisa lancar dan kondusif, tidak terganggu. Ketika seseorang dipilih, tidak bisa diganti lagi. Justru kalau Pilkada berlangsung dan dilakuÂkan proses hokum, terganggu semuanya," pungkasnya. [ogi]
- Polisi: Ormas Maksa Minta THR, Kami Tindak
- 4 Tersangka Pencabulan Anak Dibawah Umur Ditahan Jaksa
- Limpahkan Berkas Kasus KONI, Tersangka Mufron Imron “Ngamuk”