Aktivis Senior: Wajar Ada Buzzer Di Tahun Politik

Penggunaan buzzer dalam kampanye politik di era modern mau tak mau dianggap wajar. Yang penting, publik bisa membaca informasi dengan jernih dan objektif.


 Penggunaan buzzer dalam kampanye politik di era modern mau tak mau dianggap wajar. Yang penting, publik bisa membaca informasi dengan jernih dan objektif.

"Yang paling penting ini adalah positive thinking saja. Jadi buzzer itu selalu ada, apalagi di tahun-tahun politik. Metode buzzer ini sudah lama ada," ujar aktivis senior, Syahganda Nainggolan, di sela acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin petang (19/3).

Pendiri Sabang Merauke Circle ini juga menanggapi isu dugaan penggunaan buzzer untuk memecah belah Partai Demokrat baru-baru ini. Ia menganjurkan masalah itu segera diselesaikan karena dapat merusak proses demokrasi, terutama di tahun politik.

"Intinya, kalau ada negative thinking atau hate speech, lihat dulu sumber informasinya, jangan mudah terpancing," tambah Syahganda.

Istilah "buzzer" awalnya digunakan untuk merujuk pengguna Twitter yang mempunyai pengikut sangat banyak, atau umumnya lebih dari 2000 followers. Mereka kerap dibayar oleh pihak tertentu untuk mempromosikan produk lewat deretan tweet.

Umumnya, buzzer adalah orang yang berasal dari kalangan artis atau figur publik yang berpengaruh, namun kini orang-orang biasa pun bisa menjadi buzzer.

Di dunia politik, jasa buzzer dipakai untuk memoles citra tokoh tertentu, mensosialisasikan program atau bahkan untuk menyerang kredibilitas lawan politik. [nat]