UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dianggap sama sekali tak memberikan penguatan apapun, termasuk menjaga suara rakyat. Bahkan, desain Pemilu serentak yang diatur dalam UU itu juga dinilai mengandung banyak kebohongan.
- Tiga Partai Akan Ajukan Hak Angket Pj Gubernur Unsur Polri
- Pemda Diatur Wajib Berikan THR Untuk Guru Honorer
- Ratusan Bacaleg Golkar Bengkulu Dites Urine
Baca Juga
UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dianggap sama sekali tak memberikan penguatan apapun, termasuk menjaga suara rakyat. Bahkan, desain Pemilu serentak yang diatur dalam UU itu juga dinilai mengandung banyak kebohongan.
Hal ini disampaikan, Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, ketika kegiatan Ngopi Ngerumpi yang diinisiasi oleh Komnas RIM dengan Forum 33 bertema "Mengawal Suara Rakyat dalam Pilpres serta Pileg 2019" di Kantor ILEW, Jalan Veteran I, nomor 33, Jakarta Pusat, kemarin (3/4).
"Model Pemilu serentak ini adalah kebohongan," tegasnya.
Ia mencontohkan, aturan soal ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebanyak 20 dan atau 25 persen, bukannya 0 persen.
Masalah lain dalam UU itu, menurut dia, adalah mengenai penambahan jumlah kursi anggota DPR RI. Penambahan kursi itu kata dia justru bakalan membuat bingung masyarakat pemilih. Apalagi Pemilu 2019 nanti, Pileg maupun Pilpres-nya berjalan dengan serentak.
"Bisa dibayangkan masyarakat pemilih harus mencoblos 5 kertas suara sekaligus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Belum lagi Kotak suara kurang, surat suara tertukar, terlambat dan lain sebagainya," demikian Fadli, dihimpun dari Kantor Berita Pemilu. [nat]
- Mahasiswa Desak Bawaslu Tangani Politik Uang
- Baru Terima SK Plt Bupati Gusnan Sudah Ada Rencana
- Masa Jabatan Presiden Berpeluang Selesai Sebelum 2024