Ini Penjelasan MK Soal Bekas Napi dengan Ancaman Pidana 5 Tahun atau Lebih Tak Boleh Nyaleg

Mahkamah Konstitusi/ Net
Mahkamah Konstitusi/ Net

Putusan uji materiil atau judicial review (JR) satu pasal dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, yakni terkait pencalonan bekas narapidana dalam pemilihan umum (pemilu) anggota DPR dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota, diperjelas kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK).


Jurubicara MK, Fajar Laksono mengurai kembali guna memperjelas makna putusan MK atas Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (28/12).

Fajar mengatakan, dalam putusannya MK menerima sebagian permohonan Pemohon atas uji materiil norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang mengatur syarat pencalonan Anggota DPR dan DPRD bagi mantan terpidana.

Inti dari putusan tersebut, dipaparkannya, adalah menyelaraskan kembali bunyi pasal dalam UU a quo yang diujikan, karena dinilai telah bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 28 J UUD 1945.

Namun, bunyi norma yang diselaraskan tersebut belakangan masih belum sepenuhnya dipahami betul oleh masyarakat, karena memunculkan beragam tafsiran yang berbeda, khususnya terkait frasa "pidana penjara 5 tahun atau lebih".

Fajar menyebutkan, bunyi frasa "pidana penjara 5 tahun atau lebih" tersebut sebenarnya tidak bisa dimaknai bahwa yang dimaksud adalah narapidana yang divonis 5 tahun.

"Titik tekan (putusan MK) ada pada ancaman pidananya yang 5 tahun atau lebih, bukan pada vonis," ujar Fajar.

Dengan begitu, ia menyatakan bahwa bunyi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang diselerasakan berdasarkan putusan MK, dalam perkara ini adalah melarang mantan narapidana yang jenis pidananya diancam hukuman penjara 5 tahun atau lebih.

Ia memberikan contoh konkret mengenai jenis pidana yang ancaman hukumannya melebihi masa 5 tahun penjara.

"Salah satu contohnya, tindak pidana pembunuhan dengan rencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, ancaman pidana mati, seumur hidup, atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun," demikian Fajar menutup.  

Adapun bunyi pasal tentang pencalonan mantan terpidana dalam pemilu anggota DPR RI dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota adalah menghapus frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana", dari Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu.

Sehingga, bunyi pasal dalam UU a quo menjadi; "Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: (huruf g) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih".

Kemudian dilanjutkan dalam pasal yang sama dengan bunyi; "kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa".

Lalu, masih berlanjut dalam pasal yang sama dengan bunyi; "bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana".

Serta, bunyi akhir norma ini dalam pasal yang sama yaitu; "dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang".