Was-was, Ada Apa Dengan Rupiah?

Perkembangan rupiah saat ini dinilai cukup membuat was-was.


 Perkembangan rupiah saat ini dinilai cukup membuat was-was.

"Level Rp 13.700 itu sudah sangat tinggi. Artinya akan ada tekanan inflasi yang cukup besar dari sisi impor. Padahal inflasi dari domestik pun sudah mulai terasa, karena pemerintah telah menaikkan BBM nonsubsidi pada Januari dan Februari lalu," kata anggota Komisi XI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Mucharam di Jakarta, kemarin (6/3).

Nilai tukar rupiah terhadap dolar tenggalam dalam beberapa hari terakhir. Mata uang Garuda sempat diperdagangkan di atas Rp 13.700 per dolar AS. Rupiah juga menjadi salah satu mata uang yang terdepresiasi cukup tinggi, bersama dengan Peso, Bath, dan Won. Sementara APBN-2018 menetapkan nilai tukar rupiah pada level Rp 13.400 per dolar AS.

"Saya melihat ini sebagai ancaman serius terhadap daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Sulit mencapai 5,4 persen kalau nilai tukar dan inflasi saja tidak beres," kata Ecky.

Tahun lalu, ulas Ecky, ketika inflasi lebih disumbang dari domestik saja, pemerintah hanya mampu mencapai pertumbuhan 5,07 persen. Imbal hasil SPN pun akan naik jika inflasi tinggi.

"Padahal, kita sudah yang tertinggi di ASEAN. Yang paling mengkhawatirkan adalah cicilan bunga utang," ujar Ecky.

Ecky menjelaskan, tekanan terhadap rupiah bersumber dari perkembangan ekonomi Amerika Serikat (AS). Ekonomi AS yang tumbuh cukup baik, berdampak pada rencana besaran dan waktu kenaikan The Fed Fund Rate.

Inflasi AS pada Januari 2018 mencapai 2,1 persen (yoy) sedangkan tingkat pengangguran 4,1 persen atau turun dari 4,8 persen pada 2017. Selain itu, AS juga berencana melakukan pemotongan pajak korporasi, sehingga menyebarkan aura positif bagi dunia usaha.

Kombinasi sektor moneter dan fiskal ekspansif jelas memberikan dampak positif bagi dolar AS dan menyebabkan apresiasi terhadap mata uang dunia.

Ecky juga menyebutkan bahwa rentannya gejolak nilai tukar disebabkan lemahnya fundamental ekonomi nasional.

"Ini kan sudah sering terjadi dan sepertinya tidak ada strategi jitu dari otoritas terkait. Yang dilakukan gitu-gitu aja. Kita ingin ada kebijakan out of the box. Harus diakui bahwa masalah mendasar karena kita begitu bergantung pada dolar AS, hampir semua transaksi pakai dolar AS. Sehingga, saat terjadi shock maka dampaknya merembet kemana-mana," kritiknya.

Selain itu persoalan juga terletak pada cadangan devisa nasional pun relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Padahal, cadangan devisa menjadi amunusi meredam gejolak di pasar.

"Yuan bergerak stabil karena cadangan devisanya kuat, jadi bisa menyerap gejolak yang datang dari berbagai bersumber," tutup Ecky dikutip Kantor Berita Politik RMOL. [nat]