Prabowo Dan Tuduhan Mahar Politik

RMOL. Ribut tentang mahar politik yang dituduhkan kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto cukup menarik perhatian belakangan ini. Prabowo dituduh meminta mahar kepada La Nyalla Mattalitti (LNM) sebagai syarat pencalonannya sebagai cagub di Pilkada Jawa Timur.


RMOL. Ribut tentang mahar politik yang dituduhkan kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto cukup menarik perhatian belakangan ini. Prabowo dituduh meminta mahar kepada La Nyalla Mattalitti (LNM) sebagai syarat pencalonannya sebagai cagub di Pilkada Jawa Timur.

Kaum yang selama ini berposisi sebagai hater Prabowo seakan bertepuk tangan kegirangan, karena ada bahan yang bagus untuk menyerang bakal calon presiden pesaing terkuat Jokowi itu. Sejauh ini isu moral politik memang sulit ditemukan dari sosok Prabowo.

Pengakuan LNM bisa menjadi temuan berharga menyerang sosok Prabowo walaupun kebenaran dari tuduhan itu masih harus diuji kembali. Namun apalah arti kebenaran? Yang diharapkan bagaimana orang yang dibencinya rusak citranya di hadapan publik.

Terkait tuduhan kesiapan dana kampanye, apakah salah jika partai politik menanyakan kesiapan dana sang kandidat? Atau jika bekerjasama dengan kandidat urunan membiayai kampanye sang kandidat? Sejauh tidak memperjualbelikannya hal itu suatu yang rasional. Apalagi untuk pilkada dengan DPT besar seperti Jatim.

Secara aturan, sampai sekarang partai politik kita memang sangat dipersulit untuk memiliki dana. Saat ini dana subsidi yang diberikan untuk parpol masih jauh dari jumlah ideal. Padahal demokrasi akan sehat jika sebanding dengan alokasi dana. Mengingat fungsi partai politik amat strategis sebagai sirkulasi elit, pendidik politik, pencegah konflik, menyerap aspirasi dan sebagainya.

Dengan minimnya pendanaan, maka fungsi partai terutama terkait sirkulasi elit menjadi terganggu. Sehingga semua partai politik dalam menjaring kandidat di pilkada menjadi memperhitungan faktor aksesibilitas, kapasitas, dan kapabilitas, dan isi tas. Memang realitanya demikian. Apalagi bagi tokoh yang secara elektabilitas rendah. Sangat sulit jika sang kandidat dengan elektabilitas rendah hanya bergantung pada keuangan partai yamg minim demi mendongkrak tingkat keterpilihan.

Maka layak jika dikatakan bahwa demokrasi yang berlaku di negeri ini sangat boros anggaran, namun dengan kondisi partai yang minim anggaran. Hal itu berlaku di setiap kompetisi elektroral termasuk pileg dan pilpres.

Bagaimanapun juga tidak bisa dinafikan adanya kebutuhan dana operasional dalam berkompetisi secara elektroral memenangkan hati pemilih. Perlu mengeluarkan dana pada masa kampanye untuk menggerakkan sumber daya, baik itu partai ataupun jaringan pendukung lainnya. Belum lagi logistik kampanye. Begitu juga dana terkait saksi di tiap TPS.

Perlunya peran faktor isi tas juga ditemukan pada para kandidat yang hendak maju menjadi kandidat tanpa partai politik alias calon independen dalam pilkada. Para calon independen membutuhkan dana operasional untuk mengumpulkan KTP sebagai syarat dukungan. Kebutuhan dana semakin besar di daerah dengan jumlah penduduk besar.

Berbeda nasibnya jika sang kandidat memiliki popularitas sekaligus elektabilitas tinggi. Kita bisa lihat sosok Risma yang dengan dana minim bisa meraih 87 persen suara di Pilkada Surabaya. Atau Ridwan Kamil yang memenangi pilkada Kota Bandung tanpa adanya setoran sepeserpun kepada partai pengusungnya Gerindra. Berdasar pengakuanya.

Dari sisi elektabilitas seorang LNM berdasarkan survei lembaga yang kredibel memang tidak terlalu moncer. Menurut temuan Indobarometer per 29 September 2017 dengan pertanyaan tertutup, yang menyediakan sepuluh nama tokoh, ternyata publik Jatim dalam pilkada akan memilih Gus Ipul sebanyak 45,4 persen, Risma (21,8 persen), Khofifah (20,4 persen), Anas (3,4 persen), dan LNM hanya 0,1 persen.

Jadi adanya pertanyaan tentang kebutuhan sumber dana yang harus dimiliki LNM untuk mendongkrak elektabilitasnya yang minim itu amat wajar. Selama partai tersebut tidak memperjualbelikan hal itu sebagai syarat dukungan.

Dalam kasus pilkada Jatim, jika melihat langkah Gerindra menjaring bakal calon kandidatya sangat jauh dari kesan mencari mahar politik. Pada awalnya nama LNM sebagai seorang pengusaha muncul sebagai bakal calon kandidat yang akan diusung Gerindra. Setelah itu menguat nama Moreno, seorang anggota legislatif mantan pembalap yang rencanan akan dimajukan. Namun beberapa lama kemudian muncul nama Yenni Wahid yang jelas langsung dilamar Prabowo untuk maju bersama Gerindra. Tidak terlihat adanya faktor mahar politik sebagai isu utama.

Jika tujuannya mencari mahar politik, kenapa Gerindra harus melamar sosok Yenni Wahid yang jelas-jelas tak memiliki sumber dana besar? Bisa saja mencari para pengusaha besar di Jatim untuk maju.

Faktor elektabilitas, akseptabitas, dan inregritas bisa dikatakan menjadi orientasi. Dan orientasi itu pada akhirnya membuat Gerindra pada detik akhit mendukung Gus Ipul yang sudah memenuhi syarat dukungan parpol.

Tuduhan LNM terkait mahar politik pun terlihat mencla-mencle. Di media ia pernah mengatakan diminta dana Rp 200 miliar. Lalu di kesempatan lain menyebut Rp 170 miliar, Rp 40 miliar, dan Rp 300 miliar. Publik pun dibuat bingung atas tuduhan yang tidak konsisten itu.

Pada akhirnya publik harus memilih dengan pikiran jernih, tanpa kebencian sedikit pun, antara percaya pada Prabowo yang selama karir di dunia politik lebih dikenal sebagai sosok politisi polos dan ikhlas. Bahkan karena kepolosan dan keihlasanya kerap menjadi korban penghianatan. Atau publik lebih percaya pada sosok LNM yang belum teruji sama sekali track record dan kredibilitasnya. dikutip Kantor Berita Politik RMOL. [ogi]