Korupsi, Oligarki dan Runtuhnya Kekuasaan

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

SEJAK 16 tahun lalu setiap tanggal 9 Desember hari anti korupsi sedunia selalu diperingati dibanyak negara. Tentu bukan dalam konteks seremonial belaka atau sekadar selebrasi, tetapi menghendaki sebuah gerakan internasional untuk melawan korupsi secara serius.


Demi melawan korupsi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk apa yang disebut United Nations General Assembly Special Session Against Corruption (UNGASS).

Di Indonesia korupsi menjadi musuh bersama tetapi upaya melawan korupsi itu kini menghadapi persoalan yang sangat serius sejak KPK dilemahkan melalui revisi Undang Undang KPK pada tahun 2019.

Berdasarkan laporan Transparency Internasional (2021) Indonesia termasuk negara dengan skor Indeks persepsi korupsi yang sangat buruk dengan skor 37 atau rapornya merah.

Rapor merah ini semakin parah ketika korupsi terjadi secara masif dengan level korupsi yang sangat besar dan sangat jahat. Sangat besar karena angkanya triliunan rupiah seperti yang terjadi dalam kasus korupsi PT Asabri, korupsi di PTJiwasraya, dan korupsi bantuan sosial.

Sangat jahat karena selain angkanya triliunan juga terjadi disaat rakyat sedang menderita, mengalami kemiskinan dan dalam situasi yang terancam kematian akibat Covid-19. Hal itu terjadi misalnya dalam kasus korupsi bantuan sosial (Bansos).

Pola korupsi di Indonesia semakin kompleks seiring dengan dominasi oligarki dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam tujuh tahun terakhir ini, diksi Oligarki semakin kenceng terdengar. Semakin rame dibicarakan publik setelah bisnis PCR dilakukan pejabat istana yang sekaligus pengusaha di tengah rakyat menderita dan dalam ancaman kematian.

Tidak tanggung-tanggung harga dipatok lima hingga sepuluh kali lipat lebih dari harga sebenarnya. Meski penguasa yang pengusaha ini berkilah tidak mengambil untung.

Posisinya sebagai penguasa memungkinkan menjadi instrumen untuk memberi pengaruh bagi pengambilan keputusan soal harga PCR yang diputuskan di Istana.

Penguasa yang berbisnis mengambil untung dengan menggunakan pengaruhnya sebagai penguasa didefinisikan publik saat ini sebagai oligarki.

Ya, jika definisi itu dibenarkan, maka oligarki sesungguhnya sedang menggurita istana. Semakin miris gurita oligarki ini ketika istana tak berdaya. Bahkan memberikan karpet merah untuk oligarki berpesta.

Seperti gurita menari-nari melayang dalam samudera lautan dosa istana. Itulah sebabnya mengapa Istana bilang UU Ciptaker tetap berlaku meskipun oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 (inkonstitusional).

Pesta dan Gurita Oligarki

Pada awal abad 20 Robert Michels  menyimpulkan "..regardless of how democratic they may be at the start, will eventually and inevitably develop oligarchic tendencies.." (The Iron Law of Oligarchy,1911).

Bahwa kecenderungan oligarkis itu konsekuensi dari politik yang makin kompleks. Lemahnya kepemimpinan dan mahalnya biaya politik di tengah kompleksitas problem negara dan buruknya performa pemerintah adalah pintu masuk yang sangat mudah bagi oligarki.

Masalahnya Istana nampak menikmati The Iron Law of oligarchy, terlihat pasrah dan tunduk pada oligarki. Narasinya terang benderang, dengan jelas istana mengatakan " ...tidak ada satupun pasal UU ciptaker dibatalkan MK meskipun inkonstitusional, jadi UU Ciptaker tetap berlaku..."

Bagaimana mungkin disebut bertentangan dengan konstitusi lalu masih berlaku? Ironi hukum republik ini ditengah kuasa yang nihil moral politik.

UU omnibus Cipta Kerja 11/2020 ini sebagaimana diurai oleh banyak pakar hukum secara kritis ditemukan banyak masalah, dari proses hingga hasilnya.

Proses yang pada awalnya 'kucing-kucingan' dan secara umum isinya menguntungkan oligarki. Diantaranya pasal tentang royalti 0 persen.

Sebagaimana disebutkan bahwa untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen (nol persen). Ini terdapat dalam pasal 128A ayat 2 UU 3/2020 tentang Minerba yang tercantum dalam Pasal 39 Poin 1 UU Ciptaker 2020.

Jika istana menganggap  bahwa UU Ciptaker tetap berlaku meski keputusan MK menyatakan UU ciptaker inkonstitusional, maka itu maknanya istana telah secara terbuka menggelar karpet merah untuk oligarki berpesta.

Pernyataan Istana yang nampak jumawa itu menyempurnakan pesta para oligark setelah KPK lemah, UU Minerba dan UU Omnibuslaw ciptaker disahkan. Pesta oligarki di kegelapan istana sedang terjadi.

Runtuhnya Kekuasaan

Dalam sejumlah studi tentang oligarki, termasuk karya Jeffrey A.Winters berjudul Oligarchy yang dipublikasikan Cambridge Universty Press (2011) setidaknya mempertegas pemaknaan oligarki.

Bagi Jeffrey Winters (2011) oligarki tidak cukup hanya dimaknai sebagai kekuasaan yang dikendalikan sekelompok kecil.

Oligark (oligarch) adalah aktor yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang digunakan untuk mempertahankan kekayaan (wealth defense) atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya.

Jadi Oligarki itu sesungguhnya politik pertahanan dan politik penumpukan kekayaan oleh segelintir orang yang memiliki kekayaan material dan secara sosial ekslusif. Pemaknaan ini kemudian menghasilkan bentuk-bentuk oligarki yang tidak tunggal (Winters,2011: 10).

Jadi oligarki ini soal kerakusan segelintir elit ekslusif untuk terus mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material sehingga terus mengendalikan kekuasaan.

Bagaimana korelasi oligarki, korupsi dan runtuhnya kekuasaan bisa terjadi?

Ketika kekuasaan dengan mudah dikendalikan oligarki, setidaknya ada tiga hal utama yang akan rusak. Mari kita urai dulu dampak dominasi oligarki ini.

Pertama, praktik politik rusak. Etika dan politik kenegarawanan disingkirkan, diabaikan bahkan dilecehkan. Dinasti politik tumbuh subur, karena oligarki senang beternak anak bau kencur dari penguasa istana menjadi penguasa-penguasa lokal yang disiapkan untuk masuk istana dikemudian hari.

Kedua, demokrasi rusak. Sebab oligarki berkepentingan melindungi aset sumber daya materialnya, sehingga segala sesuatu yang mengancam keselamatan asetnya harus dihentikan. Maka jangan heran jika ada aktivis yang mengkritik oligarki dengan segera dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Itu yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Pembungkaman oleh aparat terjadi bertubi-tubi melalui penggunaan pasal karet UU  ITE.

Akibatnya indeks demokrasi Indonesia memperoleh skor terendah sepanjang 14 tahun terakhir. Hanya mendapat skor 6,30, dengan skor kebebasan sipil 5,59 (The Economist, 2021) dan indeks kebebasan internet 49 (freedomhouse,2021).

Ketiga, korupsi merajalela. Oligarki yang menggurita dengan leluasa membeli politik elektoral.

Membiayai pemenangan politik secara besar-besaran. Akibatnya, politisi di bawah kendali oligarki yang turut mendorong praktik koruptif.

Data KPK menunjukan bahwa 60 persen koruptor adalah politisi. Pola transaksional politik dengan bisnis seringkali terjadi.

Para oligark menginginkan kemudahan akses bisnis dengan pembiayaan negara, para oligark juga mengintervensi pembuatan regulasi yang menguntungkannya, bahkan bisa memerintah penguasa untuk melakukan apapun demi kepentinganya.

Mereka mengabaikan kepentingan nasional, mengabaikan nasib rakyat banyak. Para oligark seperti ini disebut oligark predator, rakus, menguasai segala hal.

Parahnya istana menikmati kepongahan oligark ini dengan melemahkan KPK, mengesahkan UU Minerba dan UU Omnibuslaw Ciptaker. Ya jika itu yang terjadi maka ada benarnya jika istana negara berubah nama menjadi istana oligarki.

Rakusnya para oligark predator yang membuat hilangnya moral politik, rusaknya demokrasi dan merajalelanya korupsi adalah tanda-tanda paling nyata dari menjelang runtuhnya kekuasaan dibanyak episode peradaban.

Amuk masa dan konflik sosial seringkali menyertai situasi itu.

Episode runtuhnya Monarki Eropa pada abad ke-18 (1789) seperti yang terjadi pada peristiwa Revolusi Perancis, bahkan runtuhnya penguasa republik di wilayah Asia hingga akhir abad 20 (kasus Philipine, Indonesia) dan awal abad 21 (kasus Mesir dll) adalah fakta historis yang tidak bisa diabaikan sebagai pelajaran berharga.

Bahwa korupsi dan dominasi oligarki yang jahat (predator) bisa menjadi pemicu paling berbahaya dari kejatuhan kekuasaan. Bagaimana dengan Indonesia saat ini? 

Ubedilah Badrun

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta