Hasil Korupsi untuk Safari Politik

Muhammad Adil saat tiba di gedung KPK, Jakarta/RMOL
Muhammad Adil saat tiba di gedung KPK, Jakarta/RMOL

Klop, bagai tumbu ketemu tutup. Artinya, sebelum ikut Pilgub ia harus menunjukkan bahwa selama ia memimpin Kabupaten Meranti, hasilnya kelihatan baik.

Caranya menyuap auditor BPK, M. Fahmi Aressa supaya kabupaten dapat status WTP. M. Fahmi Aressa juga ikut diciduk dan jadi tersangka.

Dari 27 orang yang diperiksa KPK, disaring jadi tiga tersangka korupsi: Muhammad Adil, M. Fahmi Aressa dan  Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Nengsih. Sisanya dilepaskan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di konferensi pers, Jumat (7/4) menjelaskan, diduga sumber korupsi Adil ada dua jalur. 1) Minta setoran dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). 1) Suap dari perusahaan tracel umrah.

Modus 1 minta setoran dari SKPD. Dananya berasal dari uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP) masing-masing dinas. Masing-masing setor ke tersangka sebesar 5 sampai 10 persen dari pendapatan.

Alexander: "Uang setoran itu tidak langsung diserahkan oleh masing-masing SKPD kepada Adil, melainkan dikondisikan seolah-olah para kepala SKPD berutang kepada tersangka MA.”

Modus yang unik. Strategi korupsi dalam bentuk surat utang. Sebenarnya itu duit negara juga.

Tersangka Adil juga tidak "bermain" langsung. Melainkan melalui orang kepercayaannya, Kepala BPKAD (Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Nengsih.

Jadi, setoran UP dan GUP dalam bentuk tunai dari para kepala SKPD kepada Fitria. Uang itulah yang kemudian digunakan tersangka Adil untuk safari politik (Pencitraan) dalam rangka ia maju ke Pilgub Riau. Pilgubnya 2024, tapi safari politik, kan sudah dimulai.

Alexander mengatakan, Adil diduga (awal) menerima Rp 26,1 miliar. Belum dirinci, berapa yang digunakan untuk safari politik. Tapi, jelasnya dari uang itu.

Dari "arah" lain, tersangka menerima suap dari perusahaan travel umrah. Suap itu diduga diberikan karena Adil telah memenangkan travel umrah, PT Tanur Muthmainnah untuk program umrah para takmir masjid di Kepulauan Meranti.

Alexander: "Pada Desember 2022, tersangka menerima uang sejumlah sekitar Rp 1,4 miliar dari PT TM (Tanur Muthmainnah) bergerak dalam bidang jasa travel perjalanan umrah karena tersangka memenangkan PT TM untuk proyek pemberangkatan umrah bagi para Takmir Masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti,"

Penerima uang suap, juga tersangka Fitria.

Teknisnya, PT sebenarnya memberikan diskon kepada jamaah. Yakni, setiap lima orang berangkat umrah, ada jatah gratis satu. Dana suap dari PT kepada tersangka diambilkan dari bonus gratis itu. Artinya, bonus itu dijual juga. Uangnya disetorkan ke tersangka. Dugaan awal Rp 1,4 miliar.

Uang diduga hasil korupsi itu "dimainkan" Adil, melalui tersangka Fitria juga, untuk menyuap auditor BPK, tersangka Fahmi Aressa. Supaya, Kabupaten Meranti dapat status WTP. Ternyata status WTP bisa dibeli (seperti terjadi pada eks Bupati Bogor). Nilainya Rp 1,1 miliar.

M. Adil dijerat pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adil juga disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Fitria dijerat pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Fahmi Aressa dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiganya juga telah ditahan di Rutan KPK.

Tersangka sudah berusaha sedemikian rupa menutup jejak, diduga, pencuriannya. Juga, lokasi Kabupaten Meranti berada di suatu kepulauan yang jauh dari Jakarta. Tapi, KPK bisa saja melakukan OTT di sana.

Dan, ketika Adil diumumkan jadi tersangka, tidak ada bantahan. Melainkan, ia kepada pers mengatakan, minta maaf kepada masyarakat Kabupaten Meranti atas kelakuannya.

Dikatakan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Sabtu (8/4) bahwa Adil adalah kepala daerah ke-10 untuk Provinsi Riau yang ditangkap KPK. Terdiri atas tiga gubernur, enam bupati, dan satu wali kota.

Kurnia: "Setelah dijumlah, praktik korupsi yang dilakukan oleh sepuluh kepala daerah itu telah mengakibatkan kerugian negara Rp 2,2 triliun dan suap atau gratifikasi Rp 18,5 miliar."

Pastinya, aparat KPK tak berdaya mengatasi korupsi yang demikian dahsyat. Tanpa laporan masyarakat, termasuk di kasus ini hasil laporan masyarakat, aparat KPKtak mungkin tahu ada korupsi di suatu pulau di Riau itu.

Dari uraian hasil pemeriksaan KPK terhadap Adil, sangat jelas perputaran uang korupsi untuk meraih kekuasaan politik yang lebih tinggi. Bagai berdagang tanpa modal. Seorang bupati meraih jabatan gubernur, modalnya dari korupsi. 

Penulis adalah wartawan senior