Bupati Dampingi Saksi Hadiri Sidang di MK, Dalhadi Umar Ceritakan Kronologis Teken Nota Kesepakatan

Bupati Lebong, Kopli Ansori saat mendampingi para saksi yang mengikuti proses sidang di MK/Ist
Bupati Lebong, Kopli Ansori saat mendampingi para saksi yang mengikuti proses sidang di MK/Ist

Sidang keenam uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956, Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1956, dan Undang-Undang Darurat Nomor 6 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Termasuk Kotapraja, dalam Lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, sebagai Undang-Undang, kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (25/10).


Sidang dilaksanakan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan Bersama lima hakim konstitusi.

Permohonan perkara dengan Nomor 71/PUU-XXI/2023 ini didampingi langsung Bupati Lebong Kopli Ansori, Kabag Hukum Setda Lebong, Mindri Yaserhan, serta Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong, yakni Ihza dan Ihza Law Firm.

Turut hadir Mantan Kabag Pemerintahan 2015-2017, Drs Firdaus, M.Pd, Mantan Bupati Lebong, Dalhadi Umar, serta sejumlah tokoh masyarakat di desa setempat, yakni Amirul Sarpi, Sahirwanro, dan Rozi Amanjaya.

Bupati Lebong, Kopli Ansori dalam keterangannya tidak banyak berbicara. Dia hanya memberikan pernyataan minta doa dari masyarakat Lebong. 

Dia memastikan tetap memantau proses persidangan, dan akan tetap mensuport penuh para saksi saat menghadiri sidang di MK. 

"Tahapan sidang masalah tapal batas sudah berproses. Tentu, kita suport penuh," ungkapnya.

Menurutnya, pengujian Undang-Undang ini merupakan langkah tepat guna menuntaskan perselisihan antara Kabupaten Lebong dengan Pekab Bengkulu Utara.

"Karena permasalahan terjadi pada level Undang-Undang, maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk menyelesaikan perselisihan wilayah ini," ucapnya.

Terkait Naskah Batas

Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan Saksi Pemohon. Dalhadi Umar, Saksi Pemohon, dalam persidangan menerangkan surat kesepakatan mengenai batas wilayah saat ia menjadi Bupati Lebong.

“Pada 2007 memang ada faslitasi dari Pak Gubernur Bengkulu tentang naskah kesepakatan. Naskah kesepakatan itu dihadiri lengkap oleh pimpinan daerah, ada Danrem, Kapolda dan sebagainya. Kami dari daerah dengan Ketua DPRD hadir dengan tokoh yang diundang. Pada saat itu, dari pagi acara itu dipimpin oleh pak Gubernur. Dari pagi sampai istirahat ada penayangan naskah kesepakatan, ditayangkan satu persatu, lembar per lembar, dan semua mengoreksi. Menjelang salat Ashar, naskah itu selesai ditayangkan. Kemudian pak Gubernur menyatakan istirahat dan tidak ada lagi membaca naskah, langsung ditandatangani. 

Menjelang salat Maghrib, sesuai dengan kesepakatan, kami seluruhnya menandatangani sesuai dengan apa yang ada pada naskah itu. 

Kemudian, sesampainya di daerah kami sepakat dengan naskah itu dan akan melaksanakan rapat koordinasi di daerah untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang penyelesaian tapal batas wilayah itu. Pada saat kami baca untuk menyampaikan bahan apa kita sampaikan ternyata antara tayangan dengan naskah yang di-print-out itu berbeda. Ada pasal-pasal yang berbeda. Sehingga mengusulkan untuk perubahan kepada pak Gubernur dari bupati dan ketua DPRD untuk diadakan sesuai dengan tayangan. Jadi print-out itu ada perbedaan,” terangnya.

Menurutnya, selama ia menjabat sebagai bupati itu mendapat rekomendasi Gubernur dan wilayah itu termasuk ke dalam APBD-nya dan rekomendasi itu disetujui oleh Gubernur.

“Tidak ada gejolak yang sangat mengganggu aktivitas pemerintahan waktu itu,” sebut Dalhadi.

Mengenai adanya surat penarikan, Dalhadi menerangkan ada pihak-pihak sebelum pemekaran kabupaten Lebong dengan UU 39/2003 itu ada tokoh masyarakat Lebong yang datang dan timbul pernyataan dari desa-desa perbatasan. 

“Dan yang menjadi masalah itu ada kesepakatan yang melarang ia melakukan kegiatan seperti membuat tugu tapal batas, yang ada itu tugu yang lama saja. Pada saat menjadi karteker bupati, pesan dari bupati Rejang Lebong urus segera Padang Bano, karena masyarakat padang bano tidak dimanusiakan,” ungkap Dalhadi.

Saksi Pemohon berikutnya, Firdaus, Kabag Pemerintahan pada 2015-2017 menjelaskan, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri pada 26 Januari 2015. 

“Pada hari itu saya serah terima jabatan sebagai kabag Pemerintahan, setelah itu saya membongkar dokumen terkait batas antara Kabupaten Lebong dengan Kabupaten Bengkulu Utara termasuk kesepakatan yang disebutkan tadi. Kesepakatan 2007 dan penolakan bapak bupati Lebong dan DPRD Lebong terhadap kesepakatan itu dengan berbagai alasan,” ucap Firdaus.

Ia menegaskan, dari dokumen yang didapatkan tidak terdapat respons dari pemerintah provinsi terhadap kesepakatan tersebut pada saat itu. 

“Sebulan setelah saya sertijab, saya mendapat informasi dari Kepala Bapeda saat itu, bahwa Permendagri tentang batas wilayah Lebong dan Bengkulu Utara sudah terbit terus saya langsung berkoordinasi dan melacak di situ muncul memang sudah ada Permendagri. Namun, yang kita temui pada saat itu Permendagri 20 tahun 2015 itu belum ada tanda tangannya. Terus kita melapor pada pimpinan kita mendapatkan perintah dari pimpinan untuk memastikan dan berkoordinasi dengan Kemendagri memastikan apakah betul Permendagri ini sudah terbit atau belum, karena yang kita peroleh itu belum ditandatangani. Dan memang Permendagri sudah terbit. Pada saat itu disimpulkan bahwa kita harus mengambil langkah untuk peninjauan kembali di Kemendagri. Itu kita lakukan dan membuat surat dengan berbagai alasan. Permendagri memerintahkan Gubernur untuk meninjau kembali kesepakatan-kesepakatan yang ada kalau memang kesepakatan sebelumnya masih ada hal-hal yang perlu dikoreksi diminta oleh Gubernur untuk memfasilitasi kembali antar dua daerah yang bersengketa ini untuk dibuat berita acara mengenai kesepakatan yang baru,” terangnya.

Dikutip halaman resmi MK, permohonan Perkara Nomor 71/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Bupati Lebong Kopli Ansori dan Ketua DPRD Kabupaten Lebong Carles Ronsen yang mengatasnamakan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong. Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Selasa (25/7/2023) lalu, Pemohon mengaku dirugikan atas berlakunya Ketentuan Pasal 1 angka 10 beserta Penjelasan dari Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara. Menurut Pemohon, Ketentuan itu telah menyebabkan Pemohon kehilangan wilayah Kecamatan Padang Bano untuk seluruhnya, beserta sebagian wilayah 18 Desa yang tersebar di 6 Kecamatan lainnya.

Pemohon mengaku dapat membuktikan wilayah Kecamatan Padang Bano dan sebagian wilayah 18 Desa yang berada di 6 Kecamatan lainnya itu adalah bagian wilayah Pemohon dengan dasar Undang-Undang Pembentukan Pemohon. 

Pemohon menyebutkan, masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Padang Bano dan sebagian wilayah 18 Desa yang berada di 6 Kecamatan lainnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Anggota DPR RI, DPD RI, serta DPRD di tahun 2009 dan 2014 merupakan pemilih yang masuk Daerah Pemilihan Kabupaten Lebong dan bukan masuk ke Daerah Pemilihan Kabupaten Bengkulu Utara.