Subsidi Pertanian Kacaukan Mekanisme Pasar

RMOL. Pemerintah dinilai belum mampu memastikan ketersediaan dan harga pangan terjangkau. Untuk mewujudkannya, pemerintah harus merevisi kebijakan pangan yang tidak tepat, salah satunya adalah subsidi pertanian.


RMOL. Pemerintah dinilai belum mampu memastikan ketersediaan dan harga pangan terjangkau. Untuk mewujudkannya, pemerintah harus merevisi kebijakan pangan yang tidak tepat, salah satunya adalah subsidi pertanian.

Indonesia sudah mengeluarkan anggaran senilai Rp 52,2 triliun untuk subsidi pertanian. Jumlah itu merupakan 2,5 persen dari total APBN. Berdasarkan penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), subsidi dengan nilai fantastis itu juga dinilai tidak efektif oleh petani. Misalnya saja subsidi pupuk, pada kenyataannya lebih banyak dinikmati petani kaya yang memiliki lahan antara 0,75 sampai 2 hektare. Padahal, sasaran utama dari subsidi pertanian adalah para petani miskin.

Peneliti CIPS Hizkia Respatiadi, menjelaskan, sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, Indonesia seharusnya melihat isu pertanian dan pangan bukan hanya dari sisi produsen, melainkan juga dari sisi konsumen. Petani jangan hanya dilihat sebagai produsen tapi juga harus dilihat sebagai konsumen.

Keberadaan bahan pangan yang terjangkau juga bermanfaat bagi petani. Sebanyak dua pertiga petani tergolong net food consumers karena mereka membeli makanan lebih banyak daripada yang mereka tanam sendiri.

Subsidi yang berlebihan tanpa melihat kondisi pasar justru rawan disalahgunakan. Studi Bank Dunia menunjukkan hanya 21 persen petani penerima subsidi pupuk masuk dalam katagori petani kecil di Indonesia. Selain itu, hal ini juga membebani anggaran negara sehingga berpotensi membebani masyarakat dalam bentuk pajak.

"Terkadang, dalam beberapa kasus seperti cabai, subsidi tersebut juga berpotensi menciptakan over produksi yang mengakibatkan kejatuhan harga sehingga akhirnya merugikan para petani," jelasnya kepada wartawan, Rabu (3/1/2018) diberitakan Kantor Berita Politik RMOL.

Menurut Hizkia, subsidi pemerintah bagi pertanian lokal atau domestic support (DS) sangat berkaitan dengan cadangan pangan masyarakat atau public stockholding programmes (PSP) dan mekanisme perlindungan produk lokal terhadap lonjakan volume impor atau special safeguard mechanism (SSM).

Ketiganya saling terkait dan memiliki pro kontra masing-masing. DS dalam jumlah besar (disebut juga katagori amber box di WTO) ditentang oleh China, India dan sejumlah negara Afrika, Karibia serta Pasifik karena dianggap mendistorsi perdagangan. Sebaliknya DS didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang sudah sejak lama memberikan subsidi pertanian bagi para produsen lokal.

DS terkait dengan PSP di mana subsidi tersebut juga dipergunakan untuk pengadaan cadangan bahan pangan oleh negara-negara berkembang, seperti halnya yang dilakukan Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan program Beras Sejahtera (Rastra) yang kini menjadi voucher pangan.

PSP saat ini berstatus perjanjian sementara sebagai hasil konferensi Bali 2013, di mana negara-negara berkembang diizinkan memberikan subsidi dalam jumlah tertentu untuk pengadaan cadangan pangannya tanpa terkena risiko untuk dituntut oleh negara-negara lain di WTO.

"PSP didukung oleh China, India dan negara-negara berkembang anggota G-33, termasuk Indonesia. Namun PSP ditentang oleh negara-negara pengekspor besar seperti Paraguay dan Rusia yang menginginkan agar perjanjian sementara ini dapat diubah menjadi solusi yang lebih permanen dan tidak mendistorsi harga pasar," papar Hizkia.

DS dan SSM disebut penting untuk melindungi kepentingan petani lokal dari persaingan harga dengan produk impor. Sebaliknya, ada yang berpendapat penggunaannya justru dapat menghambat akses masyarakat terhadap produk pangan impor yang harganya lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Indonesia pernah menghadapi masalah terkait SSM ketika restriksi impornya terhadap daging sapi dari Brasil, Amerika Serikat dan Selandia Baru memicu protes resmi ketiga negara tersebut di forum WTO.

Untuk itu, pemerintah perlu melihat isu DS, PSP dan SSM sebagai satu kesatuan yang holistik. Sejumlah studi menunjukkan bahwa restriksi impor SSM, terutama yang berbasis kuota, justru mendorong kenaikan harga bagi konsumen, meningkatkan gejolak harga pangan dan memperburuk dampak kekurangan pasokan bahan pangan, terutama di tengah ancaman gagal panen akibat perubahan iklim.

"Sebaliknya, dengan meminimalkan SSM dan mengizinkan bahan pangan impor berkualitas dengan harga terjangkau masuk ke Indonesia maka pemerintah tidak perlu lagi menggenjot cadangan PSP-nya, sehingga mereka juga tidak perlu mengambil risiko melewati batas subsidi DS yang diperkenankan dalam perjanjian WTO," demikian Hizkia. [nat]