Stok Pangan Minim, Jurus Impor Dikerahkan

Langkah stabilisasi harga pangan dalam negeri lewat pembukaan keran impor, men­jadi realistis yang sudah sehar­usnya dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan.


 Langkah stabilisasi harga pangan dalam negeri lewat pembukaan keran impor, men­jadi realistis yang sudah sehar­usnya dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan.

Pasalnya, realisasi program ketahanan pangan sejumlah komoditas pangan masih min­im. Importasi juga adalah solusi efektif untuk menjaga ketersediaan pasokan pangan. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari produksi pangan dalam negeri yang sulit mencapai target swasembada.

Hal ini disampaikan Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih. Tugas Kementerian Perdagangan di sektor pangan, jelasnya, memang tak terlepas dari dua aspek, yakni ekspor komoditas dan upaya untuk stabilisasi harga pangan lewat impor.

"Fokus Kementerian Perdagangan saat ini lebih besar ke­pada stabilisasi dalam negeri. Kita melihat itu nggak salah, karena memang ada kebutuhan yang cukup mendesak terh­adap stabilisasi harga pangan,"  tuturnya.

Menurut Lana, persoalan stabilisasi harga sebenarnya tak perlu dikejar lewat im­portasi komoditas. Syaratnya, produksi pangan dalam negeri sudah berlebih atau swasem­bada.

"Kalau itu terjadi, kita bisa mengurangi impor secara ber­tahap. Tentunya bagus, tapi belum dimulai, jadi harus impor. Kalau tidak, harga melonjak tinggi, pada teriak di dalam negeri. Akibatnya, bisa menimbulkan kondisi sosial yang tidak baik. Itu yang akh­irnya disiasati dengan program jangka pendek seperti impor," bebernya.

Lana mencontohkan soal impor bawang putih yang mau tak mau harus dilakukan kar­ena lahan yang terbatas untuk produksi bawang putih.

"Jadi, lebih banyak untuk jangka pendek sih, shortcut demi stabilisasi. Dalam jangka panjang, mestinya ketahanan pangan yang diusulkan Pak Jokowi pada awal pemerintahan itu betul-betul semestinya diker­jakan mulai sekarang. Kan kita belum, akibatnya harus impor," kata Chief Economist Samuel Sekuritas tersebut.

Dia melihat, antisipasi jang­ka pendek ini cukup efektif menekan lonjakan harga yang berujung terkereknya inflasi pangan. "Inflasi kita kan hanya 3 persenan. Di antaranya ada­lah efek dari impor tadi kan," imbuhnya.

Lana sendiri mengapresiasi langkah Kementerian Perdagangan yang tengah berupaya terus menyelidiki im­portir-importir nakal yang berusaha mennyiasati aturan impor.

"Kalau perlu disebutkan importirnya siapa namanya, terus nggak boleh dikasih mandat lagi untuk impor," ucapnya.

Dia pun yakin, langkah me­merangi kecurangan yang dilakukan importir nakal, tidak akan membuat jumlah im­portir berkurang. "Nggak ada efeknya. Banyak yang mau jadi importir. Kalau ada yang nakal, terus diganti sama yang lain, kan dia (importir) yang rugi sendiri," ujar Lana.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Menurutnya, dengan keterbatasan produksi bawang putih di dalam negeri, saat ini importasi menjadi satu-satunya jalan keluar agar pasokan dan harga tetap terjaga.

Hanya saja, Enny berharap, impor yang dilakukan tidak sampai membuat petani bawang putih lokal rugi.

"Impor sebe­narnya tidak apa-apa asal tidak mengganggu petani kita. Untuk bawang putih porsi impor me­mang masih besar, karena itu hanya bisa diproduksi di dataran tinggi," tandasnya dilansir Harian Rakyat Merdeka.

Sebelumnya, Direktur Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono baru-baru ini menyebutkan, ada dua usaha kucing-kucingan importir nakal yang berhasil dicegah Kemendag. Pertama, impor bibit bawang putih yang ternyata dijual ke pasar seba­gai produk konsumsi. Kedua, masuknya jeruk impor illegal dari Cina. [nat]