Selamat Bekerja Komisioner

Komisioner Bawaslu RI terpilih/Net
Komisioner Bawaslu RI terpilih/Net

KOMISI II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memilih 7 Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan 5 Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Kamis dini hari (17/02).


Pada Jumat (18/2) 12 orang yang telah dipilih di Komisi II itu ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR. Mereka juga diperkenalkan di hadapan seluruh anggota DPR

Bila tidak ada perubahan, mereka akan dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada bulan April dan bulan Juni akan langsung menjalani tahapan pemilu 2024. Apa pekerjaan yang perlu disegerakan?

Komisioner KPU dan Bawaslu yang terpilih dituntut segera melakukan konsolidasi yang massif.

Sekurang-kurangnya ada sisa waktu 4 bulan sebelum tahapan untuk merekatkan kolaborasi dengan banyak pihak yang ikut menentukan kualitas Pemilu dan Pilkada 2024.

Yang mendesak disegerakan dalam konsolidasi terdiri pada pemerintah,  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), partai politik, penyelenggara di jenjang di bawahnya, dan juga  kelompok masyarakat sipil yang gigih berada di luar pemerintahan.

Di sisi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, komisioner yang terpilih tersebut perlu segera memastikan ketersediaaan anggaran untuk pemilu 2024. Tidak hanya untuk aras nasional saja, tetapi Pilkada yang sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perlu didorong dengan maksimal.

Butuh energi yang cukup untuk mengawal ketersediaan anggaran tersebut bagi seluruh daerah di Indonesia. Namun tantangan ini tampaknya bisa terjawab dengan pengalaman matang dari jajaran komisioner yang masuk dalam kategori “pemain lama” sebagai penyelenggara.

Konsolidasi lainnya adalah dengan partai politik. Ini mendesak pula. Karena tahapan awal pemilu antara lain adalah verifikasi partai politik. Tampaknya mulai muncul beberapa partai baru yang bersiap mengikuti kontestasi tahun 2024. Komunikasi yang inten, terbuka dan setara ini akan memimalisir potensi munculnya persoalan lainnya.

Kemudian setelahnya adalah memastikan barisan di jajaran penyelenggara di aras provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan untuk penyelenggara ad hoc. Termasuk juga menambal bolong sebagian provinsi yang penyelenggaranya terpilih sebagai komisioner baru di tingkat pusat. 

Yang perlu jadi perhatian adalah tentang pemenuhan kouta 30 persen bagi perempuan. Di aras nasional sebenarnya telah muncul isu cukup terang kehendak dari masyarakat sipil agar ada 30 persen representasi perempuan. Hanya saja tiba-tiba kembali redup setelah ditetapkan oleh DPR.

Tentu saja nantinya komisioner yang telah terpilih harus bisa membuktikan sebagai penyelenggara yang mengakomodir kelompok perempuan. Ada kesempatan dan akses yang bisa dibuka agar memudahkan perempuan bisa juga menjadi penyelenggara.

Tantangan lainnya secara internal adalah merapikan barisan birokrasi. Di Bawaslu saja, sekitar 4 ribu pegawai berstatus sebagai Pegawai Negeri Non Pemerintah Sipil (PPNPNS). Sementara sudah keluar aturan bahwa tahun 2023 pegawai hanya terdiri dari Aparatus Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjaian Kerja (PPPK).  Alih status ini tentu saja perlu dikawal dengan baik dan segera oleh komisioner yang terpilih.

Bagaimanapun jajaran komisioner diberbagai tingkatan diperlukan supporting sytem dari pegawai. Sementara di sisi yang lain, sumber daya manusia (SDM) yang berstaus ASN di banyak tingkatan belum terpenuhi.

Konsolidasi lainnya adalah dengan kelompok masyarakat sipil. Keberadannya akan turut menentukan wajah penyelenggaraan pemilu yang lebih baik ke depannya.

Kolaborasi antara penyelenggara Pemilu dan kelompok masyarakat sipil akan menjadi pembeda dan akan menjadi pilar kuat untuk menopang bangunan besar kenegaraan kita. Komisioner yang baru perlu memberikan energi yang cukup agar kolaborasi ini bisa sampai ke tingkat Kabupaten/Kota se-Indonesia.

Butuh Perhatian Khusus

Yang perlu juga diperhatikan bagi komisioner terpilih adalah teknis pemunguatan suara. Terutama tentang perlunya segera mendesain surat suara yang mudah bagi pemilih. Belajar dari pengalaman pada pemilu 2019 dengan 5 kotak suara, ternyata membuat pemilih kita mengalami kebingungan.

Bayangkan mereka harus mencoblos presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota hingga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam satu momen di bilik suara. Itupun dengan banyak nama dan nomor urut.

Kebingungan pemilih berdampak pada kesalahan teknis saat mencoblos. Tampaknya hanya kotak suara untuk presiden dan wakil presiden serta DPRD tingkat kabupaten/kota yang benar-benar dipilih. Lainnya pemilih kita salah mencoblos. Terbukti surat suara tidak sah untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) hampir mencapai 4 kali surat suara tidak sah pemilihan presiden.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh KPU, surat tidak sah untuk pileg tahun 2019 lalu mencapai angka 17.503.953 suara. Bandingkan dengan surat suara yang tidak sah untuk Pilpres yang hanya 3.754.905 suara.

Yang menggelikan lagi pada tahun 2019 lalu ada sengketa pemilu yang menyoal foto salah satu calon Anggota DPD yang dilaporkan karena terlalu cantik dari asilnya. Ini bukti bahwa pemilih benar-benar bingung saat mengikuti pemilu dengan 5 kotak suara.

Akibat kerumitan pencoblosan juga terjadi tragedi kemanusiaan. Lebih dari 500 penyelenggara di tingkat ad hoc gugur. Mereka meninggal bukan karena kerusuhan, tetapi soal teknis penyelenggaraan.

Dari pagi hingga malam tidak istirahat untuk mengitung satu demi satu perolehan suara yang ada. Bila ada selisih satu suara saja akan diulang dari awal.

Penyederhanaan surat suara saat pemilihan penting. Pertimbangan utamanya adalah kemudahan pemilih dan mengurangi beban kerja bagi penyelenggara ad hoc. Komisioner terpilih harus segera mengatur secara teknis dan detil dengan prinsip atas keselamatan rakyat Indonesia. Sekali lagi ini mendesak dan perlu disegerakan.

Soal lainnya adalah tentang pentingnya meminalisir benturan antar sesama peserta atau antara peserta dengan penyelenggara. Ini penting untuk dilakukan dengan segera dan seksama mengingat konflik yang tidak bisa dikelola dengan baik akan berpotensi menjadi bola salju yang tambah lama mengelembung dan besar dan lagi-lagi berdampak bagi masyarakat.

Apalagi kita akan menghadapi pemilu dan pilkada yang tahapannya bersamaan di seluruh Indonesia. Beban penyelenggara tentu akan lebih berat. Tentu kita tidak ingin penyelenggara yang ada di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan bahkan nanti penyelenggara ad hoc akan menjadi bola ping pong yang di “smash” kesana kemari oleh kepentingan tertentu.

Di tingkat penyelenggara ad hoc, munculnya setiap laporan dari masyarakat kepada penyelenggara adalah berkah dari meningkatnya partisipasi. Tetapi saling melaporkan karena tidak terkelolanya konflik antar peserta dan antara peserta dengan penyelenggara adalah soal lain yang perlu diselesaikan dengan segera.

Tentu saja kolaborasi antara KPU dan Bawaslu yang baru saja terpilih ini diharapkan akan menjadi oase di saat kita akan menghadapi kontestasi yang ketat, beririsan secara nasional dan daerah dan kehendak untuk menyukseskan momentum demokrasi yang besar bagi republik ini akan segera kita tabuh bersama.

Kita tunggu dengan seksama terobosan anggota KPU yang terdiri dari Betty Episilon Indroos, Hasyim Asy’ari, Mochammad Afifudin, Persadan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, August Mellaz, dan Anggota Bawaslu yang terdiri dari Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Hariyono dan Herwyn Jefler Hielsa Malonda. Selamat Bekerja Komisioner.

Nur Elya Anggraini

Penulis adalah Anggota Bawaslu Jawa Timur