Konstelasi Koalisi Partai Politik Jelang Pemilu 2024

Ilustrasi/net
Ilustrasi/net

MENJELANG 2024 beberapa partai politik membentuk koalisi guna mencapai suara terbanyak dan memenangkan kontestasi politik yang biasa terjadi 5 tahun sekali di Tanah Air. Merujuk pada KBBI, koalisi merupakan kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen.

Sementara secara terminologi, koalisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan, atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerja samanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat.

Beberapa bulan menjelang Pemilu bahkan beberapa tahun sebelumnya, seringkali kita menemukan koalisi partai politik, mengingat bahwa Pemilu semakin kompetitif dengan seiring bertambahnya jumlah partai politik yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemudian terdapatnya kesamaan dan transaksi kepentingan, hingga berkolaborasi dalam pencalonan, maka seringkali koalisi diadakan oleh dua bahkan lebih partai politik.

Sebagai masyarakat memang seringkali bingung dan bertanya-tanya apa yang melatarbelakangi koalisi partai politik? Sebab di balik peluang yang muncul dari koalisi akan ada risiko yang diterima oleh anggota koalisi sehingga tentu perlu diulas.

Secara teori kepartaian, setidaknya terdapat tiga arena bagi partai politik dalam berkoalisi. Pertama, koalisi dibentuk pada arena pemilu dengan orientasi utama bersama-sama memenangkan pemilu. Koalisi ini idealnya bersifat voluntaristik di mana partai politik bersepakat untuk bekerjasama secara sukarela karena kedekatan ideologi atau program partai.

Konsekuensinya, partai politik yang bersepakat membentuk koalisi akan melakukan aktivitas kampanye secara bersama-sama untuk meraih suara terbanyak di pemilu.

Akan tetapi ada juga koalisi dibentuk dalam angka memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. UU 7/2017. Misalnya, menjadikan syarat minimal kursi 20% bagi partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Bagi partai politik yang memiliki kursi 20% dapat mencalonkan sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya. Jika tidak, maka diwajibkan untuk berkoalisi dengan partai politik lainnya untuk mencapai jumlah dukungan minimal 20% kursi DPR.

Maka latar belakang inilah menjadikan cukup bagi berbagai partai politik untuk berkoalisi di Pemilu yang mendatang. Bila merujuk pada situasi terkini, maka berdasarkan laporan terakhir KPU, terdapat 76 Partai yang turut mengantri mendaftar menjadi peserta pemilu untuk menghiasi arena kontestasi politik nanti.

Hiruk-pikuk menjelang Pemilu mulai dirasakan dari kebijakan yang atraktif hingga jemput restu parpol dari berbagai kandidat calon presiden nanti.

Tak hanya PDIP, Golkar, Demokrat serta parpol senior lainnya yang mempersiapkan strategi pemilu nanti, partai yang baru pun juga turut bersaing seperti Partai Ummat, Partai Rakyat, serta partai baru lainnya yang menjadi kali pertama bagi mereka bergabung dalam ajang pemilu yang diadakan pada 2024 nanti.

Meski ketegangan antar parpol mulai terlihat, manuver yang tak terduga baik dari kader partai maupun sesama parpol pun saat ini berlangsung dan mulai terasa.

Di antara bakal calon, tentu berbagai parpol tengah mempersiapkan taringnya untuk menunjukkan peforma terbaiknya di ajang Pemilu, melalui upaya negosiasi serta koalisi partai yang berazaskan kepentingan yang sama.

Hal ini dilakukan oleh beberapa partai politik di antaranya Koalisi Indonesia bersatu yang terdiri dari PAN, PPP, Golkar. Dikutip dari laporan tribunnews.com, pada pertemuan di Jakarta, Kamis (12/5/2022), hadir Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan; dan Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa.

Tagline yang digagas ketiga partai tersebut sebagai upaya dalam membangun kolaborasi harmonis baik secara vertikal maupun horizontal, meski belum secara resmi, akan tetapi, ini salah satu upaya persiapan agitasi dan strategi menyambut pemilu nanti.

Gerakan manuver dari kader parpol pun turut menghiasi dinamika politik saat ini, Puan Maharani yang merupakan Ketua Umum DPR RI sekaligus anak dari Presiden ke-5 RI pun bergerak mendekati Anies yang kini masih menjalani sisa waktu jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Meski dari kedua tokoh tersebut dikenal kutub utara dan selatan yang tak mungkin berdekatan, akan tetapi, pada saat ajang Formula E di Ancol, Jakarta Utara.

Momen ini berlangsung bak magnet dengan kutub yang berlawanan saling tarik-menarik. Tampak harmonis Puan dan Anies mengobrol di tengah hiruk pikuk Formula E, mereka bahkan sempat foto bersama dalam acara tersebut.

Momen tersebut pun menuai komentar dari beberapa pengamat politik, diantaranya Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati.

Beliau menilai bahwa sikap kedua politisi tersebut tidak mengarah pada persiapan capres-cawapres nanti, akan tetapi lebih menggambarkan bahwa adanya keakraban yang biasa terjadi di antara para elite politik di tengah ajang internasional seperti Formula E.

Meski tentu kemungkinan memasangkan Anies dan Puan dalam kursi capres-cawapres bisa saja terjadi, gagasan ini dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin. Menurutnya, dalam politik tentu semuanya serba mungkin terjadi, perkara duduk bersama lantas bermusuhan nantinya itu soal biasa.

Bila membaca psikologis politik masyarakat, duet Anies-Puan sebetulnya lebih memiliki target pasar yang besar, daripada memasangkan Puan Dengan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto yang juga merupakan Mentri Pertahanan RI.

Hal ini dikarenakan duet Anies-Puan memiliki kemungkinan yang lebih dinamis juga kekuatan elektabilitas kedua calon sangat berpotensi, meski dari kubu yang berbeda, pendukung akan memiliki paradigma politik yang baru.

Tak hanya kubu petahana, dari partai oposisi tentu telah memulai persiapan mekanik untuk tempur di pemilu nanti, Ketua DPP Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memerintahkan kadernya untuk tetap bekerja membantu rakyat.

Sebagai penyambung lidah rakyat, membaur dengan masyarakat adalah tugas parpol yang memang secara intens terus dilakukan, sebelum terjun pada kontestasi politik nanti. Putra dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan Presiden ke-6 RI juga memberikan peringatan akan kesamaan visi dan misi kader setelah mengalami kekalahan elektabilitas dan menjadi oposisi selama dua periode lamanya.

Selain Puan, Anies juga digadangkan untuk dipasangkan bersama AHY di pemilu mendatang sebagai bakal calon Cawapres mendampinginya, hal ini tersurat dikatakan oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Demokrat Jakpus, bahwa AHY lebih cocok jadi presiden didampingi oleh Anies sebagai Cawapres.

Ketua DPC Partai Demokrat Jakarta Pusat diamanahkan kepada Taufiqurrahman mengatakan secara pribadi ia sangat mendukung pencalonan pasangan Ketua Umum Partai Demokrat AHY, yang dipasangkan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Namun menurutnya posisi yang pas adalah AHY-Anies, dengan AHY sebagai calon presidennya.

Tentu menjadi tugas Demokrat untuk menggandeng Anies agar masuk kedalam partai politik agar kiprah politik calon yang berpotensi ini memiliki arah yang jelas ke depannya, tentu berbagai tawaran dan ajakan agar Anies bergabung telah berlangsung meski pemilu masih jauh di pelupuk mata.

Berbeda dengan Demokrat yang hendak menggandeng Anies, Ganjar Pranowo merupakan Gubernur Jawa Tengah digadang-gadang akan menjadi capres dan bersaing dengan Puan untuk mendapatkan restu Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri agar dapat maju menjadi bakal calon presiden pada kontestasi politik 2024.

Meski begitu, Ganjar mengaku akan tegak lurus menunggu keputusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri terkait siapa yang akan dicalonkan di Pilpres 2024 mendatang.

Walaupun Ganjar telah dinobatkan sebagai bakal calon yang dijagokan berdasarkan dari hasil lembaga survei, akan tetapi ia merasa tak perlu membahas tentang capres-cawapres terlalu dini, karena urusannya sebagai gubernur belumlah rampung.

Berdasarkan hasil sementara polling dari tim redaksi RMOL.ID terdapat 9 nama yang diadu. Perolehan suara terbanyak pada kontestasi suara responden yakni: Anies 23.51%, AHY 19.24%, Firli Bahuri 19.06%, Ganjar Pranowo 14.75%, Puan Maharani 10.07%, Rizal Ramli 3.38%, Airlangga Hartanto 3.15%, Prabowo Subianto 2.57%, Erick Tohir 0.81%, dan tokoh lainnya yang tidak termasuk 9 nama tersebut, yakni dengan persentase 2.84%.

Entah siapa yang akan menjadi Presiden RI kelak, yang pasti seluruh survei menyebutkan bahwa rakyat Indonesia menginginkan Presiden yang mampu menyejahterakan rakyatnya, bukan hanya memperkaya diri sendiri apalagi cukong asing dan aseng.

Djoni Gunanto

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta