Rupiah Nyaris Tembus 14.000 Per Dolar

Rupiah makin loyo saja. Kemarin, nilai mata uang kita ini nyaris tembus Rp 14 ribu. Kalau tidak segera diatasi, pelemahan rupiah bisa berdampak kepada ekonomi rakyat kecil.


 Rupiah makin loyo saja. Kemarin, nilai mata uang kita ini nyaris tembus Rp 14 ribu. Kalau tidak segera diatasi, pelemahan rupiah bisa berdampak kepada ekonomi rakyat kecil.

Perlahan tapi pasti, dolar AS kian perkasa. Hal ini terjadi karena rencana pemerintah Amerika Serikat menaikkan suku bunga bank sentral (Reserve Bank). Hasilnya, mayoritas mata uang dunia, termasuk rupiah melemah atas dolar AS.

Di Asia, mata uang yang melemah selain rupiah, yaitu ringgit Malaysia, won Korea Selatan, Yuan Tiongkok, Yen Jepang, bhat Thailand, dolar Taiwan, dolar Singapura, dan dolar Hong Kong.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah sempat menembus 13.817 per dolar AS di pasar spot. Sementara itu, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) rupiah berada di level 13.793 per dolar AS. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Januari 2016.

Loyonya rupiah ini bisa berefek negatif bagi ekonomi kerakyatan. Beragam komoditi berbasis impor dipastikan naik. Termasuk, harga sembako.

Adanya efek domino itu diamini Deputi bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Yunita Rusanti. Ditegaskan, kondisi ini bisa berdampak terhadap harga makanan yang menggunakan komponen impor. Sebab, harga yang harus dibayarkan oleh importir semakin mahal.

"Jadi akan berpengaruh ke nilai impornya, karena kursnya akan lebih tinggi. Itu yang harus diwaspadai ke inflasi," ujar Yunita, di kantor BPS, Jakarta, kemarin.

Secara spesifik, makanan akan jadi sektor yang kena efek negatif loyonya rupiah ketimbang produk jadi. Sebut saja jagung yang kemudian diolah menjadi pakan ternak. Diketahui, untuk kedelai, jagung, hingga gandum, Indonesia masih mengimpor dari Amerika.

"Kalau pakan ternak naik, khawatirnya ayamnya juga naik, telur ayam ikut naik, kalau harga gandum naik, dampaknya ke mie, roti. Kalau kedelai itu tahu, tempe. Akan ada pengaruh ke situ," jelas dia.

Guru Besar bidang Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Prof Edy Suandi Hamid mengamini kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah akan berdampak kepada ekonomi kerakyatan. Rakyat semakin sulit.

"Karena impor kita masih di dominasi dolar, ini akan berdampak kenaikan harga-harga. Industri berbahan baku impor kelimpungan juga," ujar Edy.

Edy memprediksi, ekonomi akan semakin kacau jika dolar AS menembus Rp 14 ribu dan bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Selain berdampak kepada harga kebutuhan pokok, juga menggangu pemerintah dalam mengatur skema subsidi.

Misalnya, subsidi BBM jenis premium dan solar. Sekalipun tidak berdampak langsung, kebutuhan BBM ini membuat pemerintah impor. Nah, selisih harga minyak dunia itu bisa bikin kantong pemerintah jebol.

"Apalagi Pertamax cs naik begini, masyarakat bisa kembali ke Premium lagi," katanya. "Jadi pemerintah harus cermat betul," tambahnya.

Edy menyarankan, pemerintah harus bisa mengidentifikasi apakah kenaikan ini sifatnya sesaat atau berkelanjutan. Jika sesaat, bisa dilakukan langkah intervensi ke pasar. Namun, jika jangka panjang, tata kelola APBN harus disesuaikan agar kas negara tidak jebol.

Terlepas itu, Edy berkelakar jangan-jangan kenaikan dolar ini ada hubungannya dengan kedatangan bos IMF Christine Madeleine Odette Lagarde, yang sedang tur di Indonesia. Ini seperti pola berulang ketika IMF datang dan memuji Indonesia di era 90an. Nah, di tahun 1998 Indonesia krisis.

Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution memprediksi pelemahan rupiah tak akan mencapai Rp 14 ribu per dolar AS. "Mestinya sih tidak (Rp 14 ribu)," kata Darmin di Jakarta.

Ia mengintruksikan seluruh jajaran gerak cepat. Termasuk Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral untuk segera melakukan intervensi. "Ya iya, maksudnya lebih banyak intervensi," tegasnya.

Optimisme Darmin dolar AS tidak menembus Rp 14 ribu didasari karena kenaikan ini condong akibat sentimen dari luar, terutama kebijakan Bank Sentral AS, Eropa, dan lainnya. "Tapi pergerakannya bukan pergerakan yang luar biasa. Artinya masih bisa diambil langkah-langkah oleh BI. Umumnya kalau sudah begini BI bersama pemerintah (intervensi), sehingga tidak usah dianggap sesuatu yang luar biasa," pedenya.

Gayung bersambut, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi mengatakan pihaknya telah melakukan intervensi saat tekanan yang terjadi kemarin. Upaya ini telah berdampak positif dengan posisi rupiah yang bisa tertahan di angka Rp 13.755 per dollar AS.

"Begitu market dibuka kami sudah antisipasi," kata Doddy kepada wartawan di kantor BI, Jakarta, kemarin.

Pada perdagangan di pasar spot, Kamis pagi, rupiah memang sempat melemah hingga Rp 13.810 per dolar AS. Namun, di akhir perdagangan sore harinya, rupiah menguat ke level Rp 13.748 per dolar AS.

Doddy beralasan tekanan terhadap rupiah yang terjadi saat ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, dari sisi fiskal. Ada kesepakatan pelebaran defisit fiskal di AS sebesar 200 miliar dolar AS. Hal ini merupakan buntut kesepakatan yang dihasilkan di Kongres negara tersebut.

Kedua, reformasi perpajakan yang dilakukan Presiden AS Donald Trump, menyebabkan tekanan yang terjadi bertubi-tubi di beberapa mata uang dunia, termasuk rupiah. Faktor ini menambah tekanan akibat ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed).

"Jadi kami yakin bukan karena faktor negatif di domestik tapi tekanan global," pungkasnya dilansir Kantor Berita Politik RMOL.

Siang ini, Jumat (2/3) posisi rupiah menguat di level Rp 13.746 per dolar AS. [nat]