Musim Politik Dan Momentum Poles-Memoles

RMOL. Anda ingin melihat seorang politisi yang benar-benar dekat dengan rakyatnya? Anda ingin tahu politisi yang sempurna, tanpa cacat, tanpa kekurangan, dan bahkan akrab dengan tokoh-tokoh agama, termasuk ulama? Maka, lihatlah para politisi itu saat momentum kontestasi politik. Lihatlah mereka di musim Pilkada atau Pemilu.


RMOL. Anda ingin melihat seorang politisi yang benar-benar dekat dengan rakyatnya? Anda ingin tahu politisi yang sempurna, tanpa cacat, tanpa kekurangan, dan bahkan akrab dengan tokoh-tokoh agama, termasuk ulama? Maka, lihatlah para politisi itu saat momentum kontestasi politik. Lihatlah mereka di musim Pilkada atau Pemilu.

Di momen itulah para politisi berkontestasi memoles diri mereka menjadi sosok "The Best" alias paling OK. Mereka tiba-tiba menjadi paling populis, paling paham detak nurani rakyat, paling mengerti keinginan dan suara bathin kaum mustadafin, dan berdiri paling depan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Ya, di momen ini, mereka menjadi insan-insan yang sempurna, yang berpihak penuh pada kepentingan rakyat. Mereka paling mampu memenuhi "the people's need". Dari saking dekatnya, hingga muncul ekspresi-ekspresi bernada humor, "Andai semua musim jadi musim pilkada, niscaya semua rakyat bahagia". "Andai saja sepanjang waktu para politisi mengejar suara rakyat, tak akan ada lagi rakyat yang melarat". "Jika saja semua zaman adalah zaman politik, maka kesejahteraan rakyat akan mudah dipetik"

Kenapa bisa demikian? Karena di momen politik itulah para politisi memoles diri mereka. Mereka yang sebelumnya jauh dari rakyat, tiba-tiba bertransformasi menjadi begitu dekat dengan rakyat.

Kondisi ini juga tampak dalam momentum Pilkada 2018 ini. Untuk sekadar menyebut contoh calon gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) dan Calon Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (GP) .

RK saat ini sedang menjabat sebagai wali kota Bandung. Sedangkan GP merupakan incumbent. Ia kini tengah duduk sebagai Gubernur Jateng.

Baik RK maupun GP tercatat memiliki problem sekaligus catatan hitam dalam perjalanan politiknya. RK disebut sebagai "politisi pengkhianat". Julukan ini disandangnya setelah ia mengkhianati Partai Gerindra dan Prabowo Subianto, yang membesarkannya hingga bisa duduk sebagai wali kota Bandung. Sedangkan GP memiliki catatan buruk karena namanya berkali-kali disebut terlibat dalam skandal korupsi E-KTP.

Dalam kontestasi politik 2018, kedua nama ini juga disebut pandai memoles diri. RK memoles diri dengan menggunakan pintu media. Dia banyak dicitrakan dan diberitakan seolah-olah berhasil membangun Kota Bandung, meskipun banyak kalangan mempertanyakan prestasinya yang dianggap nihil. Bahkan ada juga warga Bandung yang berseloroh, "Kerjaan Ridwan Kamil selama 5 tahun hanya bikin taman."

RK juga memoles diri seolah dekat dengan ulama. Ia dalam beberapa kesempatan menunjukkan kedekatannya dengan ulama. Misalnya ketika mengawali kampanye pada 15 Februari lalu, RK memilih berkunjung ke Ponpes Alhikmussalafiyah, Desa Cipulus, Wanayasa, Purwakarta. RK juga berjanji akan melawan siapa pun yang menyakiti ulama. "Siapa yang mengganggu ulama, pasti akan kami lawan," katanya, dalam suatu kesempatan baru-baru ini.

Tentu publik langsung bertanya-tanya: Masa iya Ridwan Kamil dekat dengan ulama? Bukankah dia yang melarang Aksi Bela Ulama dan Aksi Bela Islam 212? Bukankah dia juga selama ini lebih pro Jokowi daripada ulama? RK cenderung tak berpihak kepada Islam, kenapa tiba-tiba sok Islami?

Pertanyaan semacam ini juga mengalir deras tertuju kepada calon incumbent di Pilgub Jawa Tengah yaitu Ganjar Pranowo.  GP disemprot, termasuk oleh kalangan NU karena tiba-tiba mengaku dekat dengan NU.

Mendengar pengakuan itu, banyak orang NU langsung protes: "Sejak kapan Ganjar dekat dengan NU? Bukankah selama lima tahun memimpin Jateng, ia tidak pernah peduli pada orang - orang NU?" Begitu kira-kira suara orang-orang NU yang banyak tersebar di jejaring media sosial itu. Ini belum lagi soal polesan-polesan kedekatan mereka dengan rakyat yang biasanya tidak terjadi di moment-moment sebelum musim politik. Bukankah warga Jateng pernah melakukan aksi cor kaki dengan semen hingga ke Pemerintah Pusat di Jakarta karena merasa suara mereka tak pernah didengar dan digubris oleh Ganjar?

Tentu, penyakit "pandai poles-memoles" ini tidak hanya melanda Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo saja, melainkan juga kandidat-kandidat kepala daerah lainnya yang pernah memegang jabatan di bidangnya masing-masing.

Bahkan, penyakit ini tidak hanya di level daerah dan musim Pilkada saja. Penyakit ini juga mewabah dan menjangkiti politicians di tingkat pusat, termasuk Presiden dan DPR. Untuk sekedar menyebut contoh bagaimana Jokowi sering memoles dirinya dengan populisme, anti-utang, dan juga anti-impor dalam Pilpres 2014 lalu. Namun ketika terpilih, semua janji itu seperti hanya sekadar janji. Sebab, pemerintahan Jokowi termasuk pemerintahan yang sangat rajin melakukan utang dan impor.

Begitu pun dengan DPR. Betapa banyak anggota DPR yang akhirnya mengabaikan janji-janjinya kepada rakyat hanya karena lebih memilih kehendak partai dan penguasa. Betapa banyak sikap anggota DPR yang seakan tidak tahu-menahu ketika pemerintah menaikkan tarif dasar listrik atau ataupun bahan bakar minyak yang membuat masyarakat menjerit. Inilah realitas politik kita bahwa momentum politik hanya menjadi ajang poles-memoles. Tujuannya tak lain agar mereka bisa terpilih di momentum politik tersebut.

Lalu, sampai kapan rakyat akan dikibuli dengan polesan dan janji-janji palsu? Wallahu a'lamu bi al-shawab. dikutip Kantor Berita Politik RMOL. [ogi]

Moh. Ilyas
Pemerhati Politik; Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia