Dewan Benteng Perjuangkan Petani Sawit

RMOLBengkulu. Keseriusan DPRD Bengkulu Tengah (Benteng) dalam memperjuangkan petani sawit terus dilakukan, terbukti dalam Rapat Paripurna DPRD Benteng digelar Jumat (7/12) di ruang Gunung Bungkuk anggota Komisi II, Ir.Sucipto, yang juga ketua Pansus inisiator ini telah menyampaikan nota penjelasan Raperda Inisiatif Pedoman Kemitraan dan Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.


RMOLBengkulu. Keseriusan DPRD Bengkulu Tengah (Benteng) dalam memperjuangkan petani sawit terus dilakukan, terbukti dalam Rapat Paripurna DPRD Benteng digelar Jumat (7/12) di ruang Gunung Bungkuk anggota Komisi II, Ir.Sucipto, yang juga ketua Pansus inisiator ini telah menyampaikan nota penjelasan Raperda Inisiatif Pedoman Kemitraan dan Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.

"Tidak bisa dipungkiri perkembangan perkebunan sawit di Benteng ini cukup pesat baik dari petani maupun para pengusaha. sehingga menimbulkan persaingan harga maupun tata niaga yang kurang sehat, dan menurunnya harga CPO sekarang ditingkat tradisional, itu menyebabkan harga TBS pihak petani menjadi turun, tetapi kalau kita lihat bahwa menurunnya harga ditingkat petani itu sendiri bukan karena semata-mata harga internasional tetapi ada faktor-faktor yang didaerah itu harus dibenahi, misalnya peta niaga," kata Sucipto kepada RMOLBengkulu.

Menurutnya peta niaga TBS dibenteng belum dijalankan sebagaimana mestinya kewajiban kemitraan sebagaimana diamanahkan UU no 39 tahun 2014 tentang perkebunan dan permentan 98 tahun 2013 tentang pedoman perizinan perkebunan itu mengamalkan semua komoditi sawit, tebu dan teh harus bermitra antara petani dan pabrik pengolahan, termasuk juga CPO.

"Pabrik yang didirikan tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Permentan 98 tahun 2013 kenyataannya tidak ada, itu menurut saya ilegal, dan begitulah kepentingan perda ini," ujarnya

Atau memang seolah olah ada perjanjian kerjasama antara petani dengan pabrik tapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga apa yang terjadi ketika kondisi produksi dipetani meningkat terjadi antrian panjang. Karena pabrik ini mengambil produksi-produksi dari luar daerah, terjadi antrian panjang berakibat dengan menurunnya kualitas produksi CPO menjadi semakin asam, rendahnya keasamaan dan biaya antri ini akhirnya dibebankan juga kepada petani.

Kemudian lanjutnya, permasalahan didaerah ini juga ketetapan harga yang telah disepakati oleh TIM penentuan harga TBS di provinsi yang sudah pertimbangkan harga internasional itu yang ditandatangani oleh gubernur setiap bulan atau dua kali sebulan itu tidak dilaksanakan oleh sebagian besar pabrik. inilah yang dikatakan ketidakadilan, petani dengan keterbatasan yang ada akhirnya mengalah terus.

"Disinilah peran dari pada pemerintah daerah bagaimana dia sebagai pembina petani maupun pabrik ini harus turun tangan harus hadir mengatasi masalah seperti ini, termasuk juga dengan perda ini, sehinggga diperda ini ada pasal bagi pabrik yang melanggar harus diberikan teguran tertulis kemudian kita panggil dan seterusnya, kemudian kalau tidak juga diindahkan akan dicabut izinnya," tutupnya. [nat]