UU MD3 Harus Segera Dibawa Ke MK

Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang baru saja disahkan revisinya harus segera di gugat di Mahkamah Konstitusi (MK).


Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang baru saja disahkan revisinya harus segera di gugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang menegaskan sejumlah pasal yang ada dalam UU MD3 dinilai berbahaya dan mengancam kehidupan berdemokrasi.

Pasal yang di maksud seperti pasal penambahan kursi pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI, pasal 73 yang mewajibkan Polri menjemput paksa seseorang atau lembaga pemerintah yang dipanggil DPR, Pasal 245 tentang mewajibkan aparat penegak hukum untuk meminta pendapat MKD jika ingin memanggil anggota DPR terkait pidana, pasal 122 huruf K tentang penghinaan terhadap anggota DPR.

"Upaya seperti ini, menurut saya tidak akan membuat DPR itu menjadi mulia. Langkah ini tak akan membuat DPR menjadi terlindungi, justru menurut saya justru membuat kehormatan mereka rusak di mata masyarakat. Jadi mereka tidak akan bisa selamat dari itu karena itu," katanya dalam diskusi bertajuk  ‘DPR Takut Kritik?’ di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2). dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Sebastian menambahkan, Pasal penambahan satu kursi Wakil Ketua DPR, tiga kursi Wakil Ketua MPR RI, dan satu kursi Wakil Ketua DPD RI sengaja dibuat hanya untuk membagi-bagi kekuasaan. Pasal ini, sangat aneh sebeb di negara lain sedang gencar mengumandangkan efektivitas dan efisiensi karena kondisi ekonomi dunia yang semakin sulit.

Penambahan kursi pimpinan ketiga lembaga tinggi negara itu, sudah pasti berimbas pada peningkatan anggaran operasional pimpinan yang sangat besar.

"Dimana-mana sekarang, diberbagai negara itu sudah bicara soal efektivitas dan efisiensi. Tapi di Indonesia itu justru sebaliknya. Kita berusaha untuk kalau bisa sebanyak-banyaknya anggaran negara dipergunakan untuk melayani kepentingan para pejabatnya," sesalnya.

Kemudian terkait pasal 73, Sebastian menilai Pasal tersebut merupakan salah satu pasal karet, karena tak hanya untuk penggunaan hak angket, panggil paksa sebenarnya juga bisa dilakukan oleh anggota DPR RI dan semua badan di DPR RI kepada pihak yang ingin mereka panggil.

Dikhawatirkan Pasal ini disalahgunakan oleh oknum anggota DPR untuk memeras pihak tertentu. Mereka secara arogan bisa mengancam siapa saja.

"Jadi nanti eksekutif itu akan semakin mudah diancam oleh anggota DPR dan publik, juga pihak swasta. Maka lebih jauh dari itu maka pasal ini bisa menjadi pasal yang mendorong anggota DPR itu melakukan pemerasan. Ini akan sangat berbahaya. Saya sudah membayangkan akses dari pasal ini kalau diberlakukan," ujarnya.

Selanjutanya mengenai Pasal 245, Sebastian menjelaskan pasal ini merupakan upaya DPR RI untuk melindungi anggota dari proses hukum. Di sisi lain keberadaan pasal tersebut sudah bolak-balik ditolak oleh MK, namun DPR masih saja bersikeras memasukan aturan tersebut.

Bahkan sekarang ini MKD harus memberikan pertimbangan sebelum ditindaklanjuti ke presiden.

"Jadi kalau MKD tidak mau memberikan pertimbangan, maka hampir pasti itu tidak akan dilanjutkan ke Presiden. Jadi presiden tidak akan memberikan izin. Artinya memang dengan sadar DPR berusaha untuk melindungi dirinya dari proses penegakan hukum atau mempersenjatai diri agar tidak mudah disentuh oleh penegak hukum. Ini berbahaya. Kan DPR harus memberi contoh, memberi teladan bagi proses penegakan hukum yang adil di republik ini," demikian Sabastian. [ogi]