Tolak Wabah Covid-19 Dan Tambang, Suku Rejang Gelar Tradisi Kedurei

RMOLBengkulu. Kondisi kampung yang terancam akan wabah Covid-19, serta aktifitas pertambangan membuat warga yang bermukim di Desa Lubuk Kembang Kecamatan Curup Utara, Kabupaten Rejang Lebong, khawatir.


RMOLBengkulu. Kondisi kampung yang terancam akan wabah Covid-19, serta aktifitas pertambangan membuat warga yang bermukim di Desa Lubuk Kembang Kecamatan Curup Utara, Kabupaten Rejang Lebong, khawatir.

Karena tak ingin bencana serupa terjadi, mereka menggelar selamatan tolak bala. Ketua Kutei (ketua adat) Suku Rejang menaburkan serpihan kemenyan di atas bara api.

Ritual cukup sederhana dihadiri oleh sekitar 40 orang, di tengah sawah yang belum ditanami.

Lapat-lapat doa ditujukan pada Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap sejumlah leluhur, serta terdengar pula sejumlah aduan terhadap kondisi kampung tersebut.


Suku Rejang menyebut aktifitas itu sebagai Kedurei, Kedurei adalah salah satu ritual adat Suku Rejang yang sakral. Tujuannya, untuk mewujudkan rasa syukur atas karunia yang Maha Kuasa, juga memohon permintaan (doa) dari ancaman dan wabah.

Orang-orang tersebut dipimpin oleh ketua kutei duduk setengah melingkar di atas terpal warna biru. Di hadapan mereka terdapat ayam panggang, nasi kuning, air putih dan bubur tiga warna. Bubur warna putih, hitam dan kuning.

"Pada Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan doa, pada para leluhur juga kami sampaikan saat ini kampung kita dalam ancaman, terdapat semacam wabah mengerikan menyerang Indonesia yakni Covid-19, peyakit ini menular serta mematikan. Selain itu terdapat pula ancaman yakni tambang galian C yang akan merusak ratusan sawah dan fasilitas umum, kami berjuang untuk menolak dan melawan restui dan bantu kami," ujar Adinsyah dalam Bahasa Rejang, kemarin (17/3).

Sementara itu, pada kesempatan itu warga juga mendengarkan pidato Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi yang disampaikan secara perwakilan terkait kekuatan masyarakat adat dalam melawan covid-19.

Bahkan, pidato akan disampaikan dalam Rakernas dan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan Ulang Tahun AMAN ke 21 pada 17 Maret 2020 di NTT, Ende, namun dibatalkan karena wabah covid-19.

"Penyebaran COVID-19 yang sangat cepat telah direspon oleh pemerintah di berbagai tingkatan untuk membatasi aktivitas-aktivitas terutama yang melibatkan banyak orang. Hal tersebut tentu akan berdampak pada terbatasnya akses pada kebutuhan pangan, obat-obatan dan kebutuhan-kebutuhan mendasar lainnya. Dalam situasi ini, ketersediaan pangan di wilayah-wilayah adat yang merupakan lumbung pangan dan obat-obatan menjadi kunci bagi masyarakat adat untuk bertahan," tulis Rukka dalam pesannya pada masyarakat adat.

Melawan Tambang

Sunarta salah seorang masyarakat adat Desa Lubuk Kembang menyebutkan Kedurei itu dilakukan atas kecemasan warga akan covid-19 dan ancaman tambang di kampung mereka. Terdapat tambang galian C beroperasi di perbatasan desa sekitar 2 bulan terakhir yang.

"Tambang memang tidak beroperasi di desa kami, tapi dampak tambang mengancam ratusan hektare sawah, dan sejumlah fasilitas umum seperti sekolah. Ini menjadi kekhawatiran," sebut Sunarta.

Kemudian, Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Bengkulu, Deff Tri, menambahkan, aktifitas pertambangan galian C itu mengangkangi kedaulatan wilayah adat setempat.

Bukan tanpa dasar, pernyataan itu mengacu Perda Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Rejang Lebong.

"Saat ini terdapat satu tambang galian C di perbatasan Desa Lubuk Kembang beraktifitas yang mengancam rusaknya ratusan hektare sawah dan sejumlah fasilitas umum desa," jelas Deff Tri.

Sejauh ini pertambangan sudah beroperasi sementara Komunitas Adat Kutei Lubuk Kembang pemilik sah wilayah tersebut mengaku, tidak mendapatkan sosialisasi menolak atau menerima tambang tersebut.

Dalam Perda menegaskan, salah satu komunitas adat Kutei Lubuk Kembang adalah bagian dari Perda tersebut.

"Perda tersebut menegaskan apapun aktifitas di sebuah wilayah adat harus mendapatkan izin dan restu dari komunitas masyarakat adat setempat. Sementara Komunitas Adat Kutei Lubuk Kembang telah ditetapkan dalam SK Bupati Nomor 180.65.I tahun 2020, artinya sah secara hukum keberadaan mereka harus dilindungi," tegas Deff.

Menurutnya, dengan ditetapkan SK tersebut artinya Masyarakat Adat Kutei Lubuk Kembang memiliki hak penuh atas wilayah adatnya. Termasuk aktifitas pertambangan yang berdampak pada ancaman rusaknya sejumlah fasilitas desa dan sawah milik masyarakat adat.

Evaluasi Perizinan

Deff Tri meminta pada Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, untuk segera mengevaluasi izin tambang galian C di wilayah adat Kutei Lubuk Kembang. Meminta kepada Kapolda Bengkulu untuk menghentikan laporan terhadap perangkat Desa Lubuk Kembang yang dilaporkan oleh pemilik tambang dengan ancaman perbuatan tidak menyenangkan dan menghalang-halangi aktifitas pertambangan galian C.

"Bila laporan ditindaklanjuti polisi maka berpotensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat Kutei Lubuk Kembang," ujarnya.

Deff Tri justru meminta pada Kapolda Bengkulu untuk memastikan hak-hak terhadap masyarakat adat yang diatur dalam tata perundangan negara dipenuhi secara baik, adil dan transparan.

Kedurei sudah dilangsungkan, doa telah dipanjatkan pada Tuhan, pesan juga telah diberikan secara simbolik pada leluhur. Tak banyak harapan masyarakat. Mereka inginkan kampung bersih dari wabah penyakit dan tambang menghormati, mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat adat yang diakui secara hukum dalam NKRI. [rls]