RMOLBengkulu.Pemerintah perlu merevisi Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Alasannya, karena tidak sejalan dengan amanat UU 41 tahun 1999 sebagai pengganti UU 5 tahun 1967.
- Kamenag Kota Bengkulu Tinjau Pelaksanaan AM MAN 2
- BaBe Maman Buka Pelayanan Tukar Uang
- Lion Air Menangkan Lelang Transport CJH Bengkulu
Baca Juga
RMOLBengkulu. Pemerintah perlu merevisi Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Alasannya, karena tidak sejalan dengan amanat UU 41 tahun 1999 sebagai pengganti UU 5 tahun 1967.
Demikian ditegaskan Pengamat Kehutanan, Sudarsono Soedomo. Kata dia, keputusan MK No. 45/PUU-IX/2011, telah mengubah UU 41 tahun 1999 menjadi kawasan hutan sebagai wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahÂankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
"Herannya, hingga kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih seenaknya melakukan penunjukan kawasan hutan. Seharusnya, Presiden perlu mengingatkan Menteri LHK, bahwa klaim sepihak merupakan tindakan ilegal yang mempunyai dampak besar bagi ekonomi kerÂakyatan," kata Pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Dia mengingatkan, dalam penÂgukuhan kawasan hutan, ada empat tahapan yang harus dijalankan. Yaitu penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan batas kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan.
"Pertanyaan besarnya, apakah Menteri LHK menjalankan seluÂruh tahapan tersebut. Dalam peÂnataan batas kawasan saja, seharÂusnya melibatkan masyarakat di sana. Namun hal itu tidak dilakuÂkan. Karena hingga kini konflik dengan masyarakat tidak pernah tuntas," kata Sudarsono.
Dia juga menilai, penunjukkan kawasan oleh Menteri LHK, menimbulkan persoalan baru terÂhadap rencana tata ruang wilayah. "Jika mengikuti UU, seharusnya pengukuhan satu kawasan hutan dilakukan dengan tetap memÂperhatikan rencana tata ruang wilayah," kata Sudarsono.
Menurutnya, dengan klaim sepihak penetapan satu kawasan hutan tanpa berkoordinasi denÂgan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bisa dikatakan, hampir seluruh kawasan hutan yang ditetapkan Menteri LHK itu illegal. Karena merusak taÂtanan tata ruang yang telah ada sebelumnya.
Sementara Wakil Sekjen Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Rino Afrino mengatakan, pihaknya telah mengirim surat keberatan keÂpada Presiden terkait Perpres 88/ 2017. "Sudah ada jawaban dari Setneg. Yaitu melimpahkan persoalan tersebut kepada Ditjen terkait di Kementerian LHK. Tapi belum ada tindak lanjut apapun dari LHK," kata Rino.
Secara terpisah, pengamat Hukum Kehutanan, Sadino mengatakan, pemerintah perlu menÂinjau ulang substansi Perpres 88/2017. Karena mempersulit penyelesaian perkebunan sawit masyarakat (swadaya) yang teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan.
Dia mengatakan, salah satu subtansi isi yang perlu ditinjau ulang menyangkut pengecualian perkebunan sawit masyarakat dalam konteks lahan garapan yang bisa disertifikasi. Soalnya, pasal 5 Perpres itu menyebutkan lahan garapan hanya berupa sawah, ladang kebun campuran tambak.
"Akibatnya, ketika pejabat di daerah menemukan perkebunan sawit masyarakat teridentifikasi masuk kawasan hutan, mereka tidak berani menyelesaikan perÂsoalan tersebut dengan mengÂgunakan perpres 88/2017," kata Sadino.
Kebijakan yang tidak pro keadilan itu telah mengakibatÂkan kegiatan replanting sawit serta sertifikasi ISPO yang menÂjadi program pemerintah Jokowi terhambat. Pasalnya, Badan Pertananan Nasional (BPN) mesyaratkan, program replantÂing sawit swadaya hanya bisa dilakukan pada perkebunan yang telah disertipikasi. dikutip Kantor Berita Politik RMOL. [ogi]
- BUMN Mesti Jadi Mesin Percepatan Ekonomi Nasional
- Kelapa Sawit Bengkulu Utara Murah, Diduga Permainan Oknum Pengepul
- DAK Pendidikan Lebong Naik Rp 9,5 Miliar