Perlu Komitmen Nyata untuk Perlindungan Jurnalis

RMOLBengkulu. Kebebasan pers adalah satu elemen penting dalam negara demokrasi. Namun ada sejumlah faktor yang membuat kebebasan pers itu terancam. Salah satunya adalah adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis.


RMOLBengkulu. Kebebasan pers adalah satu elemen penting dalam negara demokrasi. Namun ada sejumlah faktor yang membuat kebebasan pers itu terancam. Salah satunya adalah adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Perlu ada ada komitemn nyata untuk memberikan perlindungan bagi jurnalis di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menyusun rencana aksi untuk keselamatan jurnalis.

Sejumlah pandangan dan Ide itu disampaikan dalam diskusi memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional bertema HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia.

Kegiatan berlangsung di Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda, Jakarta, Selasa, (10/12) kemarin.

Kegiatan ini merupakan kolaborasi MediaLink, Lembaga Pers Dr. Soetomo, Sejuk, Tempo Institute, AJI Indonesia, dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda, Kedutaan Besar Inggris, dan International Media Support (IMS).

Dalam acara ini, Duta Besar Kerajaan Belanda, Lambert Grijn memaparkan, kebebasan pers adalah satu elemen penting dalam negara demokrasi. Media juga merefleksikan realitas masyarakat. Dengan adanya debat dan diskusi, demokrasi bertumbuh. Ketika ada perbedaan pendapat, ada kebenaran yang dapat kita temukan. Untuk itu, media dan jurnalis memegang peran kunci.

"Media memegang peran kunci dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia terutama sejak 20 tahun terakhir. Undang-Undang Pers tahun 1999 memberikan wadah perlindungan bagi jurnalis dan awak media dan melindungi hak-hak jurnalis,” kata Lambert.

Owen Jenkins, Duta Besar Kerajaan Inggris menyampaikan, perlunya ada komitmen nyata untuk memberikan perlindungan bagi jurnalis di Indonesia. Lembaga pemeringkat dunia Freedom House menilai pers Indonesia tidak sepenuhnya bebas karena adanya laporan-laporan tentang kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, serta konsentrasi kepemilikan media.

"AJI mencatat ada sekitar 40-50 kasus kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya. Karena itu, Saya ingin ada rencana aksi nasional untuk keselamatan jurnalis di Indonesia. Ini membutuhkan komitmen semua pihak dan kami ingin kegiatan hari ini mengarah pada komitmen nyata untuk bertindak,” kata Owen Jenkins.

Ranga Kalansooriya dari International Media Support (IMS) menyampaikan, perlunya ada satu rencana aksi untuk keselamatan jurnalis di Indonesia. Upaya untuk mewujudkan rencana aksi keselamatan jurnalis ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari lembaga pemerintah, non pemerintah, akademisi, organisasi pers serta organisasi masyarakat sipil.

Menurut Ranga, Filipina telah berhasil menyusun satu rencana aksi untuk keselamatan jurnalis yang telah dipersiapkan selama dua tahun, setelah berdialog intensif dengan berbagai stakeholder. Rencana aksi lain sedang disiapkan di Myanmar yang pembahasannya mulai Januari 2020.

"Indonesia adalah negara yang yang memiliki sumber daya jurnalis yang sangat besar. Saya berharap kita bisa bersama menyusun rencana aksi ini, sehingga jika ada serangan terhadap jurnalis, telah ada panduan langkah untuk menanganinya,” kata Ranga.

Ketua AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan, salah satu bentuk upaya untuk melindungi jurnalis adalah dengan dengan terus menerus menagih komitmen pemerintah untuk memproses hukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis. "Pembiaran suatu kasus kekerasan terhadap jurnalis bisa menjadi preseden buruk di masa-masa mendatang,” ujarnya.

Abdul Manan menambahkan, hak asasi manusia merupakan salah satu tema penting dan sepatutnya mendapatkan perhatian jurnalis dan media. Salah satu upaya AJI untuk meningkatkan kepedulian jurnalis terhadap tema ini adalah dengan memberikan pelatihan dan apresiasi kepada jurnalis. Ahmad Faisol, Direktur MediaLInk menilai, peliputan media terhadap isu HAM sudah banyak.

"Namun peliputan yang ada belum cukup menggerakkan publik untuk melaporkan kasus pelanggaran ke aparat hukum. Ini pekerjaan rumah bagi kita semua,” kata dia.

Dalam acara ini, AJI Indonesia bekerjasama Kedutaan Belanda memberikan apresiasi karya liputan terbaik isu HAM. Penghargaan terbaik pertama diberikan kepada jurnalis BBC Indonesia, Callistalisa Wijaya dan Dwiki Marta untuk reportase berjudul Dituding PKI, 'ditelanjangi untuk cari cap Gerwani': Kisah penyintas Tragedi 65”.

Penghargaan terbaik kedua diberikan kepada Irwan Syambudi dari Tirto.id, lewat karya jurnalistik Upacara Doa di Bantul Dihentikan, Utiek Suprapti: 'Saya Hindu'. Penghargaan terbaik ketiga diraih oleh Abdul Jalil dari Solopos.com dengan karya jurnalistik berjudul Kisah Anak Terpidana Mati: Menjaga Harapan Hidup Sang Ibu. [tmc/rls]