Pengumpulan Batu Bara Di Sungai, Potret Krisis Sosial Ekologi

Hampir sepuluh tahun belakangan pengumpulan batu bara di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Air Bnegkulu terjadi, hingga ke pesisir dikerjakan oleh masyarakat. Kondisi ini tentunya memunculkan banyak pandangan dan pendapat, pro serta kontra bermunculan.


Hampir sepuluh tahun belakangan pengumpulan batu bara di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Air Bnegkulu terjadi, hingga ke pesisir dikerjakan oleh masyarakat. Kondisi ini tentunya memunculkan banyak pandangan dan pendapat, pro serta kontra bermunculan.

Meski pemerintah daerah telah mengeluarkan aturan serta larangan akan aktivitas pertambangan masyarakat di aliran sungai, namun hal ini tentunya bukan jawaban atas persoalan pengumpulan batu bara oleh masyarakat itu. Ekploitasi pertambangan batu bara du hulu DAS Air Bengkulu hampir 31 tahun tidak dianggap sebagai masalah besar yang harus diselesaikan oleh negara.

Aktivitas pengumpulan batu bara ini jelas merupakan potret krisis sosial ekologis, yang memiliki konteks sejarah. Kemunculannya tentu tidak dari ruang hampa, tetapi dipengaruhi oleh politik para penguasa.

Penerbitan izin kuasa pertambangan batu bara PT. Bukit Sunur pada Juni 1985 atau PT. Kusuma Raya Utama 1997 saat rezim Soeharto berkuasa menjadi awal praktik tali temali politik konglomerasi penguasa di Bengkulu. Berdasarkan data Indonesian Coal Book, 2016-2017 kedua perusahaan ini tergabung dalam satu grup yakni Wijaya Kusuma Jaya Group milik keluara Kusuma Lingga Widjaja.

Pungusaha besar di era Soeharto ini berhasil bermitra dengan Sudwikatmono, hal ini dibuktikan dengan kepemilikan saham di PT. Kusuma Raya Uatama sebesar 48 persen atas nama Agus Lasmono dan 45 persen di PT. Bukit Sunur. Hingga saat ini setidaknya ada delapan perusahaan pertambangan batu bara dengan IUP Operasi Produksi di wilayah DAS Air Bengkulu.

Kedelapan perusahaan tersebut adalah PT. Kusuma Raya Utama, PT. Danau Mas Hitam, PT. Inti Bara Perdana, PT. Bara Mega Quantum dan PT. Ratu Smaban Mining. Penerbitan izin perusahaan ini juga tidak lepas dari iklim politik.

Maka political will pemerintah untuk memulihkan DAS Air Bengkulu yang penting, sampai saat ini tidak pernah terlihat. Pertambangan memiliki sifat yang tidak akan pernah berubah, yaitu rakus dan merusak maka untuk memulihkan DAS Air Bengkulu pertama sekali adalah melakukan pencabutan izin terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut yang jelas-jelas sudah terbukti mencipta krisis ekologis terhadap kehidupan yang ada di wilayah DAS Air Bengkulu hingga ke hilirnya.

Political will itu tidak pernah terlihat, meski kondisi semakin krisis. Instrumen negara dalam memastikan keselamatan lingkungan dan rakyat seperti AMDAL, Proper atau bahkan mekanisme CnC juga tidak benar-benar ampuh. Hasil evaluasi kinerja penaatan proper oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 349 tahun 2013, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, nomor 180 tahun 2014, dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, nomor SK.557/Menlhk-setjen/2015 semisalnya, yang menyebutkan bahwa PT. Danau Mas Hitam, PT. Inti Bara Perdana, PT. Ratu Samban Mining mendapat raport merah, bahkan PT. Inti Bara Perdana mendapat raport hitam dan tidak ada tindakan tegas oleh pemerintah. Belum lagi persoalan lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi.

Rusaknya DAS Air Bengkulu terbukti nyata lewat aktivitas pengumpulan batu bara oleh masyarakat di sekitar wilayah DAS hingga muara. Berlaku hukum kausalitas dalam konteks ini. Pekerjaan mengumpulkan batu bara terjadi lantaran rakyat kehilangan tanah yang subur untuk bertani, sumber air untuk irigasi yang tidak mencukupi. Agresi pasar yang kian menghimpit, tidak adanya jaminan harga untuk komoditi masyarakat seperti karet.

Tata kelola pertambangan batu bara yang buruk menyebabkan material batu bara mereka dalam kuantitas yang tinggi tergerus, masuk ke sungai yang berada di dalam konsesi perusahaan kemudian hanyut saat hujan tiba. Batu bara yang hanyut disepanjang sungai ini lah yang kemudian dikumpulkan oleh masyarkat untuk kemudian dijual. Berbeda dengan beberapa desa lainnya, di desa Kota Niur masyarakat mengumpulkan batu bara hanya disaat hujan saja.

Melakoni kerja mengumpulkan batu bara merupakan siasat untuk bertahan disaat harga komoditi karet milik masyarakat jatuh harga atau saat menunggu panen kopi yang hanya satu tahun sekali. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari itu lah masyarakat akhirnya memilih pekerjaan dengan resiko besar kehilangan nyawa. Bagaimana tidak, jika hujan datang pada waktu tengah malam atau dini hari, saat itu mereka harus pergi ke sungai mengumpulkan batu bara yang hanyut.

Hasil riset Genesis Bengkulu di desa Kota Niur, Bengkulu Tengah  September 2017 mengungkap narasi-narasi perempuan pengumpul batu bara tersebut atas kondisi krisis yang mereka alami. Satu karung batu bara yang telah disortir dijual dengan harga Rp 13.000, keuntungan per-karungnya hanya Rp 8.000, karena mereka harus mambayarkan upah angkut batu bara per karung sebesar Rp 5.000. Nurbaiti mengatakan bahwa dalam seminggu rata-rata setiap keluarga dapat menghasilkan tidak lebih dari 30 karung batu bara. Dengan kata lain, mereka akan mendapatkan sekitar Rp 240.000 setiap minggunya.

"Hasil itu tidak cukup meski hanya untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga saja. Rata-rata setiap keluarga membutuhkan sekitar Rp 300.000 hanya untuk keperluan pangan keluarga," kata Nurbaiti pengumpul material batu bara di sungai Susup Desa Kota Niur Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah.

Mereka bahkan tidak mampu untuk bertanam subsisten, lantaran kondisi tanah yang tidak baik lagi. Sehingga semua kebutuhan pangan setiap keluarga di desa Kota Niur bergantung pada pasar.

"Kondisi ini berubah secara drastis, sejak adanya aktivitas pertambangan," keluhnya.

Perempuan adalah pihak yang paling mengalami dampak akibat krisis sosial ekologis. Krisis itu memporak-porandakan ruang-ruang produksi, konsumsi, serta reproduksi sosial keluarga mereka yang menjadi ruang keseharian perempuan. Meskipun sebenarnya penciptaan ruang tersebut menjadi ruang keseharian perempuan juga berangkat dari konstruksi budaya yang patriarki.

Pada dasarnya masyarakat menyadari kondisi krisis tersebut dan apa penyebabnya. Mereka menyadari bahwa bergantung pada pekerjaan mengumpulkan batu bara itu hanya sesaat, karena tidak selamanya batu bara itu ada. Tetapi tidak cukup hanya sebatas menyadari.

Negara dalam hal ini pemerintah harus memberikan ruang-ruang agar masyarakat bisa membebaskan dirinya dari kondisi krisis tersebut. Ruang pertama adalah berani mengambil sikap untuk menghentikan aktivitas pertambangan batu bara yang ada di wilayah DAS Air Bengkulu. 31 tahun tidak kah waktu yang sangat lama untuk menyadari bahwa pertambangan batu bara tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat?

Ruang kedua, pemerintah harus berani untuk menjamin bahwa rakyat yang bertani dapat bertani dengan tidak lagi memikirkan air yang semakin sulit, lahan yang semakin menyempit akibat perusahaan-perusahaan skala besar, atau nilai komoditi yang terus turun. Tanah yang diolah dengan baik dan "ramah" dengan kondisinya pasti akan memberikan hasil yang berkelanjutan. Mengeksploitasinya dengan cara menambang mempercepat turunnya daya kesuburan tanah. Tanah, sungai, dan bumi secara umum memiliki daya yang terbatas untuk memulihkan dirinya sendiri.

Dikatakan Manager Kampanye Geneseis Bengkulu Uli ArtaSiagian, memberikan larangan ataupun menindak aktivitas masyarakat dalam mengumpulkan batu bara di sungai bukan jawaban dari setiap persoalan DAS Air Bengkulu. Justru kesalahan ini terjadi dari pihak perusahaan yang telah merusa DAS Air Bengkulu dengan hanyutan material batu baranya. Political will pemerintah untuk memulihkan kondisi sosial ekologis yang sangat diperlukan saat ini.

"Pertambangan memiliki sifat yang tidak akan pernah berubah, yaitu rakus dan merusak, maka untuk memulihkan DAS Air Bengkulu serta kehidupan yang ada di dalamnya, pertama sekali adalah melakukan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut yang jelas-jelas sudah terbukti mencipta krisis ekologis seperti yang kita ketahui saat ini," tegas Uli.


Penulis Uli Arta Siagian Manager Kampanye Genesis Bengkulu