Negara Yang Tak Berdaulat Di Udara Jadi Negara Terbuka Bagi Agressor

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Pemerintah wajib mengelola wilayah udara nasional karena Air Power merupakan salah satu elemen penting dari kekuatan pertahanan negara.


Demikian disampaikan Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn) Cheppy Hakim, saat menjadi pembicara webinar bertajuk "Air Power And Nastional Resiliense" yang diselenggarakan kerjasama antara Prodi Ketahanan Nasional UGM dengan Pusat Studi Air Power Indonesia, secara virtual, Sabtu malam (12/6).

"Negara yang tidak berdaulat di udara akan menjadi negara yang terbuka bagi para aggressor (penyerang)," kata Cheppy dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Chappy mengurai, Air Power tidak hanya merubah secara drastis dalam hal penggunaan senjata bagi keperluan militer, akan tetapi juga besar sekali pengaruhnya dalam merubah tatanan politik, ekonomi dan struktur sosial dunia.

"Sebuah bangsa harus tetap memelihara kemampuannya untuk dapat terbang bebas diwilayah udara kedaulatannya, tidak ada dan tidak tersedia pilihan lain," ujarnya.

Ia menuturkan, ketika perang hanya berlangsung di daratan dan perairan saja font pertempuran hanya mengenal  istilah garis depan dan garis belakang.Dua istilah itu kemudian lenyap saat  wilayah udara sudah berkembang menjadi panggung perang juga, yang ada adalah perang total.

Cheppy kembali mengingatkan bahwa pemerintah memiliki pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan yakni memastikan kedaulatan seluruh wilayah udara Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar 1945.

Dan merebut FIR (Flight Information Region (FIR) yang mencakup Kepulauan Riau, Tanjungpinang, Natuna, Serawak dan Semenanjung Malaka dari tangan Singapura. FIR merupakan wilayah ruang udara dalam sebuah negara yang menyediakan layanan informasi penerbangan sekaligus layanan peringatan.

"Wilayah udara kita masih bersinggungan atau di bawah kedaulatan Singapura," demikian Cheppy.