Lembaga Survei dan Quick Count Jangan Jadi Benalu

Sejumlah lembaga sur­vei dan penyelenggaraQuick Countdi Indonesia dinilai hanya jadi perpanjangan kaki tangan para pemain politik, yang malah melegitimasi dan melanggengkan demokrasi yang bengkok dan korup.


Sejumlah lembaga sur­vei dan penyelenggara Quick Count di Indonesia dinilai hanya jadi perpanjangan kaki tangan para pemain politik, yang malah melegitimasi dan melanggengkan demokrasi yang bengkok dan korup.

Demikian disampaikan Koordinator Gerakan IndoneisiaBersih (GIB) Adhie M Massardi.

Menurut mantan jurubicara Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini, di Indonesia, lembaga-lembaga survei yang digawangi ka­langan akademisi yang bukan intelektual, justru menjadi benalu demokrasi.

"Bekerja hanya demi perut mereka, seraya menyesatkan opini masyarakat," tuturnya.

Karena itu, lanjut Adhie, dia menyarankan semua kalangan intelektual Indonesia yang jumlahnya terus menyusut itu sebaiknya menggalang kekua­tan, guna melawan jalan sesat kalangan akademisi di lemba­ga-lembaga survei Indonesia.

"Agar produk-produk survei mereka yang absurd, tidak menjadi virus nasional yang bisa mengabsurdkan kese­jahteraan dan masa depan bangsa," cetusnya.

Dia menyampaikan, Indonesia sudah sangat mendesak dip­impin orang-orang yang cer­das, berintegritas dan berkuali­tas. "Saat ini, orang sekaliber itu niscaya akan digerus remuk oleh lembaga-lembaga survei yang absurd," ingat Adhie.

Dia mencontohkan, me­nyoal absurditas hasil survei sebuah lembaga survei baru-baru ini (Indo Barometer-Red) membuatnya teringat dengan EDSA.

EDSA adalah akronim dari Epifanio de los Santos Avenue, gerakan rakyat (People Power) yang ingin me­neguhkan suara rakyat "Suara Tuhan" di Metro Manila (22-25 Februari 1986) pimpinan duet Cory Aquino-Kardinal Sin yang kemudian menum­bangkan diktator Filipina, Ferdinand Marcos.

People Power yang terkenal itu dipicu oleh Namfrel (National Chairperson) gerakan masyarakat sipil untuk pemilu bersih yang diinisiasi Jose S Conception Jr, Bapak Quick Count Dunia.

Dijelaskan Adhie, dengan metode quick count Namfrel berhasil membongkar hasil pemilu Filipina yang diselnggarakan Comelec (Commission of Election), KPU-nya Filipina.

Operasi quick count ini kemu­dian menjadi tren di negara-negara di dunia yang menye­lenggarakan pemilu, termasuk di Indonesia.

"Kalau di Indonesia seka­rang, rasanya pahit bak em­pedu, membuat hati menjadi ngilu," ujarnya.

Di Filipina, terangnya, pa­ra akademisi dan relawan yang membantu operasional Namfrel adalah kaum intelek­tual, yang mengolah hasil pe­mikirannya dengan hati, bukan dengan perutnya.

Karena itu, lanjut Adhie, bila di Filipina survei dan operation quick count itu dipakai untuk meluruskan Jalan Demokrasi yang dibengkokkan Comelec (KPU), di negeri Indonesia kebanyakan lembaga survei dan penyeleng­gara quick count justru bekerja melegitimasi jalan demokrasi yang bengkok dan korup.

"Lembaga-lembaga survei kita yang digawangi kalangan akademisi yang bukan intelektual, justru menjadi benalu demokrasi, yang bekerja hanya demi perut mereka, seraya menyesatkan opini masyarakat," pungkas Adi seperti dilansir Koran Harian Rakyat Merdeka. [nat]