Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menempatkan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masuk menjadi syarat jual beli tanah, menuai kritik.
- Ternyata Stok Vaksin Corona Tersisa 22 Juta Dosis, Jatah Sebulan?
- Harta Rampasan Koruptor Diduga Diperjualbelikan KPK saat Dipimpin Abraham Samad
- Kemenkumham Raih Penghargaan Germas Award Tahun 2023
Baca Juga
Kebijakan lewat Surat Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN Nomor HR.02/153-400/II/2022 itu dinilai aneh dan menyimpang.
Selain menyimpang dari UU Agraria dan Tata Ruang, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie juga menilai kebijakan itu sudah lari dari konteks.
“BPJS ini jaminan sosial dan erat hubungan dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja tak ada sangkut pautnya dengan Kementerian Agraria,” tegas Jerry Massie kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (20/2).
Menurutnya, kebijakan ini telah ngawur dan tanpa pertimbangan yang matang. Selain itu, dia menilai bahwa yang seharusnya lebih penting diurus Kementerian Agraria dan Pertanahan adalah mafia tanah dan penerbitan hak milik.
“Pemerintah harus mengkaji penyerobotan lahan tanpa membayar atau yang tak sesuai pembicaraan dan perjanjian. Contoh di Sumut, tanah yang dijadikan jalan tol seusai perjanjian dibayar Rp 1 juta per meter, tapi buntuthya hanya Rp 78 ribu per meter,” sambungnya.
Jerry Massie menilai banyak kebijakan yang tidak jelas arahnya saat pandemi. Pemerintah mulai kehilangan kebijakan rasional dan mengedepankan akal sehat.
“Kelihatannya kebijakan kita sejak pandemi Covid-19 mulai oleng, tak jelas arah dan tujuannya,” demikian Jerry Massie. dilansir RMOL.ID. [ogi]
- Rakor BPSDM, Penyampaian Rekomendasi & Langkah Strategis Kebijakan Pengembangan SDM Kemenkumham
- Rupiah Terus Melemah, Presiden Jokowi Harus Dengar Saran Rizal Ramli
- Gubernur Rohidin Minta Segera Realisasikan Anggaran Penanganan Covid-19