Impor Beras Bukti Kegagalan Jokowi

RMOL. Wakil Ketua DPR RI Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Koorkesra), Fahri Hamzah, mengatakan kenaikan harga beras menjadi awal buruk bagi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di awal tahun 2018 yang disebut tahun politik.


RMOL. Wakil Ketua DPR RI Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Koorkesra), Fahri Hamzah, mengatakan kenaikan harga beras menjadi awal buruk bagi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di awal tahun 2018 yang disebut tahun politik.

Padahal belum hilang dalam ingatan kalau Pemerintah berjanji tidak akan terjadi gejolak harga.

"Tapi, mana janjinya sekarang? Selama ini kita dininabobokan dengan keberadaan data perberasan, sampai-sampai Pemerintah selalu mengklaim stok beras cukup untuk beberapa bulan kedepan, namun faktanya harga beras naik. Siapa yang mau ambil tanggung jawab?" kata Fahri lewat akun Twitter-nya @Fahrihamzahyang dipost-nya, Sabtu (13/1). dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Sekarang, lanjut Fahri, semuanya baru menyadari bahwa ada data yang tidak sinkron dengan kenyataan. Mestinya, Pemerintah harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kenaikan harga beras awal Januari tahun 2018 ini, bukan semata karena faktor supply dan demand atau faktor cuaca, tapi mal praktik kebijakan.

"Katanya ada mafia impor tapi kok mafia lagi? Mafia impor katanya sudah dihabisi. Kok ada lagi? Kasian petani. Inikah catatan kenaikan?" ucap politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu sambil manegaskan bahwa klaim swasembada dan sukses kelola pangan sudah selesai.

Menurut Fahri, jika memang produksi besar tidak mencukupi harus diakui, dan lalu evaluasi dan perbaiki faktor-faktor produksi beras yang selama selama ini terabaikan. Sebab, dalam teori faktor produksi, output beras nasional sangat ditentukan oleh faktor modal (lahan), tenaga kerja, teknologi.

"Hal ini untuk melakukan penetrasi pasar cepat dan membangun loyalitas dan kepercayaan konsumen. Sehingga kedua kebijakan tersebut diharapkan mampu mengontrol pasokan dan harga. Untuk merealisaikannya butuh koordinasi yang kuat diantara Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan," katanya.

Dia menambahkan, seharusnya pemerintah hadir memberi insentif, subsidi ditambah, bukan cuma otak atik subsidi saja dengan dalih tak tepat sasaran dan lain-lain.

Nah, terkait rencana Pemerintah melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam, Fahri justru mempertanyakan apakah dengan impor, harga beras akan turun seketika. Justru yang ia khawatir, kebijakan tersebut akan menimbulkan panic buying seperti operasi pasar yang besar maupun kebijakan impor.

"Atau ada pesanan? Padahal Pemerintah juga sudah membentuk Satgas Pangan. Kemana mereka? Kenapa kebijakan seperti ini berulang sepanjang masa, menjelang pemilu? Jika masalah di sisi distribusi, yang mengakibatkan cadangan besar kita tidak cukup, Bulog juga harus dievaluasi. Tugas Bulog adalah menyerap beras hasil petani, tugas ini lebih kompleks dibanding impor," tegasnya.

Bukan itu saja, Fahri juga meminta kepada pihak-pihak yang tidak menjalankan tupoksinya dalam mengamankan produksi beras, salah menata distribusi beras dan salah menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), mesti bertangguangjawab. Kurang berperannya HET dalam mengontrol harga dan menjamin pasokan harus dievaluasi.

"Kejadian ini menjadi momentum bagi DPR dan Pemerintah untuk menata kembali kebijakan yang harus diakui keliru. Karena ada nasib jutaan petani, nasib pangan utama seluruh rakyat yang dipertaruhkan," tegasnya.

Menurutnya, negara ini basis ekonominya jelas berideologi kerakyatan. Makanya tidak usah sok liberal dengan mengutak atik dan mencabut subsidi untuk petani. Petani harus diberdayakan.

"Petani harus dimodernisasi alat-alat produksinya," kata anggota DPR dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu. [ogi]