Bukan Main Licinnya Kejahatan Kerah Putih

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka gratifikasi/Net
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka gratifikasi/Net

GRATIFIKASI adalah istilah halusnya. Bahasa terangnya adalah suap. Per definisi KPK, yang salah adalah bukan hanya si penerima suap (gratifikasi) itu, tapi juga si pemberi suap.  

Sekarang salah seorang penerima suap yang bernama Rafael Alun Trisambodo sudah disproses hukum lewat KPK. Lalu Siapa saja para pemberi suapnya? Menunggu proses lebih lanjut, kita harap-harap cemas juga nih.

Kalau sifatnya konspirasi tentu melibatkan sekelompok orang. Siapa saja mereka?

Pintu investigasi terusannya mulai terbuka. Mau dibuka selebar-lebarnya, atau ada pihak-pihak tertentu yang malahan sedang menahan kuat-kuat dari belakang pintu?

Memang kejahatan kerah putih seperti ini liciknya bukan main. 

Dia bikin perusahaan “konsultasi pajak”. Tentu pakai nama orang lain. Bukan untuk bagaimana menghitung dan menyetor pajak dengan benar, tapi untuk sebaliknya, menyiasati pajak bersama-sama dengan aparat pajak. Patgulipat. 

Contoh saja (angka-angka fiktif), perusahaan “konsultasi pajak” itu menghitungkan jumlah pajak yang mesti disetor ke negara, katakanlah sejumlah Rp10 miliar, tapi dia bilang ke “klien” supaya akui saja Rp5 miliar, lalu Rp2 miliar kasih ke “oknum” dan Rp250 juta sebagai fee ke perusahaan “konsultan pajak” berdasarkan tagihan.

Total si klien “cuma” keluar duit Rp7,25 miliar, dari yang semestinya Rp10 miliar. Jadi si klien masih “untung” sekitar 2,75 miliar. Bahasa si klien dia “menghemat” Rp2,75 miliar. 

Seolah-olah semua “untung”, negara dapat Rp5 miliar, si “oknum” dapat Rp2 miliar, si “konsultan pajak” dapat fee Rp250 juta. Everybody happy. Kepala kantor pajaknya dianggap “berprestasi”, dapat penghargaan lagi. 

Kalau mau mendekati riil, tinggal tambahkan nolnya saja, dan angka di depannya diganti jadi dua atau tiga atau empat. 

Itu baru dari satu perusahaan klien, lha kalau kliennya ada belasan atau dua puluhan? 

Kan bisa beli lagi beberapa tas bermerek, plus arloji Rolex.  Koleksi mobil di garasi bisa tambah Rubicon. Tidak perlu atas nama sendiri, cukup atas nama sopir, atau atas nama siapalah. Kalau nanti diperiksa tinggal bilang mobil pinjaman, kan beres. 

Beli pesawat Cessna? Kecil itu.

Kabarnya perusahaan “konsultan pajak” model beginian bukan cuma “miliknya” Rafael Alun Trisambodo. Tapi ada pejabat dan mantan pejabat lain yang beroperasi dengan modus-operandi serupa. 

Patgulipat para pejabat, bukan hanya di Dirjen Pajak atau Kementerian Keuangan saja, tapi di kementerian dan lembaga lainnya juga ada.

Belum lagi kita bicara di pemerintahan daerah. Gubernur dan Bupati/Wali Kota kita berapa saja yang sudah pakai rompi oranye.

Dan, yang belum pakai rompi oranye bukan berarti dia bersih lho, cuma belum tertangkap lalu heboh (atau dipesan untuk ditangkap dan dibikin heboh) saja. 

Pendapatan pajak kita katanya melebihi target. Tapi sebetulnya berapa sih potensinya?

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta