Lima Tahapan Pilkada Yang Kuras Kantong Calon

Sudah jadi rahasia umum bahwa peserta pemilu harus menyiapkan dana tak sedikit untuk maju jadi kepala daerah, anggota legislatif, ataupun presiden.


 Sudah jadi rahasia umum bahwa peserta pemilu harus menyiapkan dana tak sedikit untuk maju jadi kepala daerah, anggota legislatif, ataupun presiden.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan, calon bupati atau walikota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi pesta demokrasi lima tahunan itu. Contoh, Pilgub DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo-Nachrawi Ramli mengeluarkan dana kampanye Rp 62,6 miliar.

Sementara, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar. Angka itu naik siginifikan pada Pilgub DKI 2017. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebe­sar Rp 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar.

Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjrafina mengatakan, tahapan kam­panye paling menguras dana peserta pemilu. "Walau su­dah diberi subsidi APBD, tapi laporan kampanye kandidat ke KPU ternyata tidak memberi dampak. Dana kampanye tetap mahal," jelas Almas, kemarin.

Setidaknya, ada lima tahapan pemilu dianggap membutuhkan modal besar. Pertama, untuk menarik perhatian publik, par­tai atau bakal calon yang akan berlaga dalam pemilu mem­buat baliho hingga melakukan survei. Kedua, calon harus me­narik perhatian partai politik dengan menyerahkan mahar. Partai politik mematok harga masing-masing.

Almas mencontohkan, pengalaman Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti. Nyalla mengakudiminta menyerahkan uang sebesar Rp 40 miliar. "Ini menandakan parpol tidak men­jadikan pilkada sebagai ajang memajukan kadernya tapi jus­tru cari pendanaan," jelasnya.

Ketiga, saat kampanye merupakan tahapan termahal. Dalam Pasal 74 ayat 5 Undang-undang Pilkada, disebutkan, sumbangan dana kampanye perseorangan paling banyak Rp 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta.

Meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp 25.000. "Ini mem­buat kandidat berlomba-lomba mengumpulkan dana kam­panye tinggi." Tahapan yang juga menguras kantong adalah pendanaan saksi saat pemun­gutan suara. Di Jawa Barat, lanjut Almas, ada calon butuh dana Rp 20 miliar hanya untuk dana saksi.

Terakhir, persiapan dan pengawalan sengketa. Kasus menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi contoh sempurna ba­gaimana pada tahapan ini para kandidat rela mengeluarkan banyak uang.

Dengan banyaknya perkiraan dana harus dikeluarkan, parakepala daerah tentunya mengembalikan modal politik. Sementara, gaji dan tunjangan kepala daerah, diyakini tidak akan menutupi jumlah itu.

"Ini jadi celah penyimpangandan korupsi," katanya. Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan,mahar politik bukan jadi sesuatu tabu, tetapi sulit dibuktikan. dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Yunarto mengatakan, beberapa calon kepala daerah mengaku ada sejumlah dana cukup besar diminta partai agar bisa meminang calon tersebut. "Saat itu bargaining position partai sangat tinggi. Konsekuensiny,a siapa yang bisa dapatkan tiket adalah yang bisa sepakat jumlah uang sama dan punya kepentingan sama," beber Yunarto.

Biasanya, kata Yunarto, mahar diberikan dalam ben­tuk tunai agar tidak terlacak. Supaya bentuk fisiknya tidak mencolok, kerap diberikan dalam bentuk mata uang as­ing. Bahkan, ia menganggap jumlah mahar bisa lebih besar dari dana kampanye.

Untuk Pilkada 2018, dengan 171 daerah yang akan mengge­lar pemilihan serentak, Yunarto menyebutkan, mahar politik naik berlipat.

"Saya merasakandan apa yang saya dengar jumlah ma­har 2018 bukan hanya paling besar, tapi ada kenaikan berka­li-kali lipat. Itu saya dengar, ya,"  ungkap Yunarto. [ogi]