Duh, Koruptor Makin Bertambah

Sepanjang 2017, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, kasus korupsi dan pelakunya yang terungkap terus naik dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, pejabat pemerintah daerah dan DPRD makin sering ditangkap karena korupsi. Nilai kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2017 pun mencapai Rp 6,5 triliun.


Sepanjang 2017, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, kasus korupsi dan pelakunya yang terungkap terus naik dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, pejabat pemerintah daerah dan DPRD makin sering ditangkap karena korupsi. Nilai kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2017 pun mencapai Rp 6,5 triliun.

Peneliti ICW, Wana Alamsyah memaparkan, sepanjang 2017 ada 576 kasus korupsi dengan 1.298 tersangka, dimana nilai kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan nilai suap men­capai Rp 211 miliar.

"Nilai kerugian negara ini melonjak tajam dibanding 2016, yakni dari Rp 1,45 triliun ke Rp 6,5 triliun," katanya dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta,. dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Kasus korupsi terbesar pada 2017 adalah korupsi pembe­rian kredit kapal oleh PT PANN yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 1,4 triliun. Pada tahun tersebut, terdapat sejumlah pengembangan kasus korupsi. Mulai dari pengem­bangan kasus korupsi proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyeret sejumlah anggota DPR, kasus korupsi pengadaan Al Quran, hingga kasus korupsi e-KTP yang menyeret Ketua DPR, Setya Novanto.

Sementara modus korupsi yang sering digunakan antara lain, pe­nyalahgunaan anggaran, mark up atau penggelembungan harga, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, laporan fiktif, peng­gelapan, suap, pemotongan ang­garan, dan pemerasan. Anggaran yang paling banyak dikorupsi adalah anggaran desa, APBD/APBN, anggaran pendidikan, anggaran transportasi, dan ang­garan sosial kemasyarakatan.

Lembaga yang paling banyak terkait kasus korupsi antara lain, pemerintah kabupaten, pemer­intah desa, pemerintah kota, BUMN, dan kementerian. Aktor yang paling banyak menjadi tersangka korupsi yaitu, aparatur sipil negara, swasta, kepala desa, masyarakat umum, dan dirut/karyawan BUMN.

"Pada 2017, terdapat 30 kepala daerah dari 29 daerah yang men­jadi tersangka korupsi, mereka meliputi gubernur, walikota/wakil walikota, serta bupati/wakil bupati," sebut Wana. Dari 29 daerah tersebut, 12 daerah akan melaksanakan Pilkada pada 2018 ini.

Mengenai kinerja aparat pen­egak hukum, pihaknya menilai kepolisian dan kejaksaan belum maksimal dalam menangani ka­sus korupsi. Tercatat pada 2017, kepolisian menangani 216 kasus korupsi dengan 436 tersangka, dimana kerugian negara men­capai Rp 1,6 triliun. Kejaksaan menangani 315 kasus korupsi dengan 730 tersangka, dimana kerugian negara mencapai Rp 4,4 triliun. Sementara KPK menangani 44 kasus dengan 128 tersangka, dimana keru­gian negara mencapai Rp 209,7 miliar.

Koord divisi investigasi ICW, Febri Hendri, menambahkan dari kasus korupsi yang ditan­gani kepolisian dan kejaksaan ternyata tidak ada anggota DPR yang dijadikan tersangka. "Ini tentu jadi pertanyaan, kenapa KPK saja yang berhasil menjerat anggota DPR," katanya.

Dari sekian banyak kasus korupsi, pihaknya menduga terjadi korupsi dalam hal penerimaan daerah, baik itu retribusi dan pajak daerah. Apalagi banyakcelah kongkalikong antara kepala daerah dan wajib pajak di daerahnya. Selain itu, korupsi di BUMD juga belum banyak tersentuh.

"Padahal kepala daerah berpo­tensi mengintervensi BUMD un­tuk menguntungkan pihak-pihak tertentu seperti kasus korupsi Bank Jabar (BJB) Syariah yang merugikan negara senilai Rp 628 miliar,"  terangnya.

Jelang Pilkada Serentak 2018 ini, ICW mengingatkan adanya kondisi rawan korupsi.Penyebabnya, kewenangan kepala daerah yang sangat banyak belum diimbangi dengan tran­paransi, akuntabilitas, dan par­tipasi masyarakat.

"Padahal kunci pemberantasan korupsi adalah pemerintahan yang bersih, kepala daerah yang bersih, makanya para pemilih harus bijak, cermat dan kritis un­tuk memilih kepala daerahnya,"  tandasnya. [ogi]