Demokrat Lakukan Penguatan Poros Baru

RMOL. Dengan alasan petahana Presiden Joko Widodo gagal menjalankan program kerakyatan. Partai Demokrat tengah melakukan penguatan untuk membentuk poros baru di Pilpres 2019.


RMOL. Dengan alasan petahana Presiden Joko Widodo gagal menjalankan program kerakyatan. Partai Demokrat tengah melakukan penguatan untuk membentuk poros baru di Pilpres 2019.

"Yang paling dirasakan masyarakat bawah saat ini adalah gejolak harga kebutuhan pokok yang merugikan konsumen dan masyarakat Indonesia. Sepanjang tiga tahun pemerintahan saat ini, bahan pangan merupakan komoditas yang harganya paling bergejolak. Ini sangat menyengsarakan rakyat. Saat petani panen, harga pangan jatuh. Di saat yang lain, harga naik tak terkendali," tutur Sekretaris Departemen Dalam Negeri DPP Partai Demokrat, Abdullah Rasyid, Rabu (25/4).

Menurut politisi nasional asal Sumut ini, para spekulan pangan khususnya para importir adalah pihak yang paling diuntungkan. Sementara, petani dan konsumen sangat dirugikan.

Lebih jauh, tokoh muda yang punya andil menggerakkan reformasi ini mengurai, kenaikan harga atau inflasi tidak sebanding dengan kenaikan upah dan pendapatan. Mengutip rilis data Bank Dunia, dia menyebut ekonomi Indonesia dihadapkan pada kondisi paradoks: inflasi tinggi, daya beli masyarakat rendah.

"Kondisi inilah yang menyebabkan ekonomi Indonesia sangat sulit mengalami pemulihan, mengingat selama ini pertumbuhan ekonomi lebih digerakkan oleh sektor konsumsi, khususnya konsumsi masyarakat," terang Rasyid.

Selain itu, dia menilai pemerintahan Jokowi gagal menjaga stabilitas harga kebutuhan dasar masyarakat, seperti bahan-bakar minyak (BBM), listrik dan transportasi, yang menjadi penyumbang utama tingginya inflasi. Di era ini harga BBM dan gas dipermainkan seperti yoyo.

"Terobosan awal pemerintahan ini adalah mencabut subsidi BBM yang sontak menyebabkan harga melambung tinggi. Rakyat menjerit, namun pemerintahan Jokowi tidak peduli. Dalam era pemerintahan ini, tarif listrik naik hampir setiap bulan," cetusnya, sembari menambahkan bahwa harga listrik yang setinggi-tingginya merupakan jualan pemerintahan Jokowi dalam menarik investor masuk dalam mega proyek ambisius 35.000 MW.

Kondisi memprihatinkan masyarakat, lanjut Rasyid, makin diperparah dengan dicabutnya berbagai proteksi dan subsidi. Pemerintahan Jokowi secara terbuka menunjukkan diri sebagai pemerintahan yang anti subsidi dan proteksi.

"Pemerintah tanpa ragu menghapus subsidi BBM. Sepanjang pemerintahan Jokowi ini pula kita tidak menemukan kebijakan subsidi harga kepada petani. Sebagai kelompok terbesar dalam masyarakat, petani lah yang paling menderita lantaran penurunan pendapatan," pungkasnya, sembari menekankan kondisi ini semestinya menjadi acuan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan di Pilkada Serentak 2018. Sebab, bagaimana pun pilkada kali ini bertalian erat dengan Pemilu 2019.

Paparan Rasyid ini kian mengonfirmasi sinyal yang dilontarkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berada di Jawa Barat, Minggu (22/4). Di hadapan santri dan ulama Cilegon, Presiden keenam RI itu mengatakan akan melahirkan pasangan capres-cawapres yang sesuai dengan keinginan rakyat.

"Saya akan pasangkan nanti, capres-cawapres yang mengerti keinginan rakyat," kata SBY, sembari menegaskan janji akan melahirkan seorang pemimpin baru.

Meski dalam pidato tersebut dia tidak menyebutkan nama calon pemimpin dimaksud, namun secara eksplisit dapat ditangkap bahwa itu menjauhkan Demokrat dari Jokowi.

"InsyaAllah nanti ada pemimpin baru yang amanah, cerdas dan memikirkan rakyat banyak," imbuh SBY dihimpun Kantor Berita Politik RMOL. [nat]