Teringat Ribhi Awad Sang Buldozer dari Palestina


SAYA kembali teringat pada Ribhi Awad saat menemukan sebuah buku kecil yang ditulisnya, di antara buku-buku lain yang sedang berserakan di lantai rumah.

“Arafat & Saya: Sebuah Pengalaman Abadi”, itu judulnya. Pada cover yang didominasi warna hijau ada gambar wajah sang penulis, Ribhi Yusuf Awad, dan tokoh pembebasan Palestina, Yasser Arafat.

Buku ini diterbitkan bulan Juni 2006, hampir dua tahun setelah Yasser Arafat meninggal dunia pada November 2004.

Seperti judulnya, buku ini berkisah tentang persahabatan Ribhi Awad dan Yasser Arafat. Juga kisah-kisah kepahlawanan para pejuang Palestina lainnya. Dituliskan dengan sederhana, terkadang bernada satir, terkadang jenaka, beberapa terasa absurd.  

Saya baca-baca kembali buku itu. Sepintas.

Ribhi Awad mulai mengenal Yasser Arafat tahun 1963. Di masa-masa itu Yasser Arafat sering berkunjung ke rumah abang Ribhi Awad di pemukiman An Naqrah, Kuwait. Ribhi Awad yang sedang sekolah juga tinggal di tempat itu.

Abangnya adalah anggota gerakan bawah tanah kelompok Fatah yang mulai beroperasi klandestein sejak 1959.

Setelah enam tahun bergerak di bawah tanah, pada tahun 1965 Fatah diresmikan sebagai partai politik. Pusat kekuasaannya di Ramallah, Tepi Barat. Selain Yasser Arafat, tokoh Palestina lain yang dikenang sebagai pendirinya adalah Khaled Yashruti, Salah Khalaf, dan Khalil al Wazir.

Fatah berjuang untuk membangun nasionalisme Palestina, membangun sistem sosial-demokrasi, dan mendorong solusi dua negara di tanah yang disengketakan dengan Israel.

Yasser Arafat lahir di Kairo tahun 1929. Sementara Ribhi Awad lahir di Jerusalem tahun 1940. Walau usia mereka terpaut sebelas tahun, namun pada akhirnya Ribhi Awad bisa menjadi salah seorang kepercayaan Yasser Arafat.

Hubungan mereka mulai erat setelah Ribhi Awad pindah ke Kairo, Mesir, tahun 1967. Di kota itu ia menuntut ilmu di Universitas Kairo, sekaligus nyambi menjadi petugas komunikasi Fatah yang menggalang mahasiswa asal Palestina.

Ia dan Yasser Arafat pernah sama-sama ikut pendidikan militer di Damaskus, Suriah. Ribhi Awad juga pernah ditugaskan sebagai petugas komunikasi di Beirut, Lebanon. Di negara itu ia menjalin hubungan dengan kalangan media dan wartawan lokal.

Tahun 1968, Ribhi Awad hadir dalam pertemuan darurat Fatah di Beirut. Pertemuan digelar untuk menggagalkan upaya kelompok Mahmud Maswadah atau Abu Ubaidah yang ingin merebut Fatah.

Selain menyingkirkan kubu Abu Ubaidah, pertemuan darurat itu juga memperkuat posisi Yasser Arafat. Ia diberi amanat menjadi jurubicara Fatah.

Setahun kemudian Yasser Arafat menjadi pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang terdiri dari berbagai kelompok perjuangan.

Adapun Ribhi Awad menjadi diplomat andalan Yasser Arafat. Di bagian akhir bukunya Ribhi Awad menulis, dia pernah ditugaskan sebagai dutabesar di Aljazair selama satu tahun. Lalu di Finlandia, juga selama satu tahun. Kemudian di Mesir selama tujuh tahun, di Uni Emirat Arab selama lima tahun, di Kenya selama tiga tahun. Dan akhirnya di Indonesia selama 15 tahun.

Ia mulai bertugas di Indonesia pada 1992. Tiga tahun pertama, kenangnya di dalam buku itu, adalah masa-masa yang menantang. Di tahun ketiga Yasser Arafat mengumumkan PLO bangkrut, dan tidak dapat membiayai semua kantor perwakilan di negara-negara sahabat. Untuk mengurangi biaya, Yasser Arafat ingin menutup 26 kedutaan, termasuk di Indonesia.

Dalam sebuah pertemuan dengan putra Presiden Soeharto, Bambang Tihatmodjo, Ribhi Awad menyampaikan kabar itu.

“Keesokan harinya ia (Bambang Trihatmodjo) datang membawa pesan dari ayahnya (Pak Harto). Katanya kami (Kedubes Palestina) tidak perlu tutup karena kami akan dibantu,” tulis Ribhi Awad.

Saat itu, Kedubes Palestina berada di Jalan Pangeran Diponegoro No. 59, persis di pojok persimpangan Jalan Pegangsaan Barat, di depan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Beberapa tahun lalu Kedubes Palestina pindah, tidak jauh dari tempat pertama, di Jalan Ki Mangunsarkoro, di belakang DPP PPP.

Karier diplomatik Ribhi Awad berakhir setelah faksi Fatah yang didirikan Arafat kalah dalam pemilihan umum di bulan Januari 2006. Dalam pemilu, Fatah yang ketika itu dipimpin Farouk Kaddoumi mendapatkan 41 persen suara. Sementara Hamas yang dipimpin Ismail Haniyeh, walau gagal mendapatkan absolute majority, berhasil memperoleh 44 persen suara.

Setelah pemerintahan Hamas terbentuk, hal berikutnya yang mereka lakukan adalah merapikan perwakilan-perwakilan di negara sahabat.

Hamas memerintahkan staf Kedubes Palestina di Jakarta, Nasser Abdul Wahab, untuk mengambilalih operasional Kedubes dari tangan Ribhi Awad. Dia dibantu dua staf Kedubes lain, Taher Ibrahim Hamad dan Nail. Nama lengkap orang ketiga tidak diketahui pasti.

Tugas mengambil alih Kedubes tidak mudah. Mereka mesti berhadapan dengan Ribhi Awad yang oleh Yasser Arafat dijuluki buldozer.

Ribhi Awad jelas melakukan perlawanan. Ia bersikeras bertahan di Kedubes Palestina. Kepada media, Ribhi Awad mengaku dirinya sempat disandera selama satu minggu.

Adapun Nasser Abdul Wahab membantah kabar itu. Menurutnya, Ribhi Awad sempat menggertak mereka dengan menodongkan pistol.

Jejak digital dari drama di Kedubes Palestina ini masih bisa ditemukan di dunia maya.

Saya menemukan kawat diplomatik yang dikirimkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk Kementerian Luar Negeri AS di Washington DC tertanggal 19 April 2006. Selain ke Washington DC, kawat diplomatik itu juga dikirimkan ke beberapa kantor pemerintah lainnya.

Resminya, kawat diplomatik itu bersifat rahasia. Tapi, ia rupanya termasuk dalam ribuan dokumen resmi pemerintah AS yang dibocorkan WikiLeaks beberapa tahun lalu.

Judul kawat diplomatik itu: “Duta Besar Palestina yang Tidak Dapat Ditekan Tuduh Kelompok Abu Nidal Melakukan Kudeta Kedutaan.”

“Ordered by the new Hamas-led Palestinian Authority to leave his post after 14 years, Palestinian Ambassador to Indonesia Ribhi Awad is not going quietly and his ravings are providing mirth for the diplomatic corps and a protocol headache for the Indonesian government,” tulis Kedubes AS.

Kedubes AS melaporkan, Kemlu RI menerima dua surat dari Ribhi Awad. Di surat pertama Ribhi Awad menjelaskan upaya kudeta yang dilancarkan staf Kedubes Palestina, Nasser Abdul Wahab, yang sebelumnya adalah orang kepercayaan Ribhi Awad. Kudeta ini dapat dipatahkan.

Sementara dalam surat kedua yang ditulis tangan dan juga dikirimkan ke kantor-kantor perwakilan negara lain, Ribhi Awad mengatakan, Nasser Abdul Wahab sesungguhnya adalah agen dari kelompok teroris Abu Nidal.

Untuk melengkapi, saya tambahkan sedikit informasi mengenai kelompok Abu Nidal.

Abu Nidal tadinya adalah nama gerilya Sabri Khalil Al Bana yang juga ikut mendirikan Fatah. Di era 1970an, ia berbeda pendapat dengan Yasser Arafat, dan kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Organisasi Abu Nidal (ANO). Dia juga mengklaim ANO sebagai Dewan Revolusi Fatah.

Abu Nidal memilih jalan yang lebih ekstrem dari Fatah, dan diduga berada di balik sejumlah aksi teror yang menjadikan kelompok sipil sebagai target serangan di era 1970an dan 1980an.

Lahir di Jaffa pada 1937, Abu Nidal dikabarkan tewas di apartemennya di Baghdad pada Agustus 2002. Ada yang mengatakan dia dibunuh atas perintah Saddam Hussain yang khawatir akan menjadi target Abu Nidal. Ada juga yang mengatakan, Abu Nidal memilih bunuh diri ketika tentara Irak menyerbu tempat tinggalnya.  

Kembali ke kawat diplomatik Kedubes AS.

“Sebagai anggota organisasi Fatah, nasib Awad berubah setelah pemerintahan Otoritas Palestina yang dipimpin Hamas terpilih baru-baru ini, yang memerintahkan Awad untuk melepaskan tugasnya dan kembali ke tanah airnya,” tulis Kedubes AS lagi.

Kepada wartawan yang menemuinya di Kedutaan Palestina, Ribhi Awad minta tetap disebut sebagai Dubes Palestina sampai dia meninggalkan Indonesia.

Tadinya dia dijadwalkan meninggalkan Indonesia pada pertengahan Mei 2006. Namun karena masih menunggu penerbitan empat buku yang ditulisnya, jadwal kepergian Ribhi Awad diundur sampai akhir bulan itu.

Pertemuan Terakhir

Tetapi Ribhi Awad belum benar-benar meninggalkan Indonesia. Dia masih berada di Jakarta kira-kira sampai setahun kemudian.  

Di bulan April 2007, Ribhi Awad menghubungi saya. Katanya dia akan ke Mesir. Sebelum berangkat, dia mengajak saya bertemu.

Kami atur pertemuan di restoran es krim Haagen Dazs di lantai lobi Pondok Indah Mall 2. Tanggal 17 April 2007.

Itu adalah pertemuan yang emosional. Ribhi Awad sempat menangis, tidak sampai sesenggukan, saat menceritakan kembali perjalanan hidupnya di arena perjuangan, dari masa-masa perjuangan di Timur Tengah, sampai dia dipaksa keluar dari Kedubes Palestina di Jakarta.

Saya menyimpan beberapa rekaman video yang saya ambil dalam pertemuan itu. Barusan saya putar lagi.

“Saya ini pelayan rakyat. Mereka minta saya terjun ke politik, saya terjun ke politik. Kalau mereka minta saya  jadi bom bunuh diri, saya akan jadi bom bunuh diri. Karena saya pelayan rakyat,” ujarnya lagi.

“Selama 40 tahun saya melayani rakyat. Kemanapun saya pergi, saya melayani rakyat,” katanya lagi.

“Dan yang paling dramatik, tiga orang datang membunuh karakter saya,” sambungnya merujuk pada kudeta yang dilakukan Nasser, Taher, dan Nail, setahun sebelum itu.

Kami juga membahas hal-hal yang mungkin dialami Palestina di masa depan. Tetapi saya sudah lupa jawaban Ribhi Awad. Bagian ini tidak sempat saya rekam. Seingat saya tidak begitu optimisitik.

Saya kutipkan saja dari apa yang ditulisnya pada bagian akhir buku:

“Maafkan saya. Dengan amat menyesal saya mengatakan, dalam usia yang semakin lanjut, dan selama Amerika mendukung penuh Israel di satu sisi, dan di sisi lain Palestina, Arab, dan umat Muslim semakin lemah, saya khawatir tidak dapat melihat kemerdekaan Palestina.”

“Tetapi, apakah pantas saya mengubur harapan? Tentu saja tidak… Cita-cita itu tidak pernah mati. Namun (melihat) realitas saat ini, kami memerlukan mukjizat. Mukjizat yang mampu membuat Amerika berubah dan negara-negara Arab serta umat Muslim bersatu.”

Setelah pertemuan itu, saya tak pernah bertemu Ribhi Awad lagi. Saya tak mendengar informasi kapan persisnya Ribhi Awad dan keluarga meninggalkan Indonesia. Adapun saya berangkat ke Hawaii untuk melanjutkan sekolah di bulan Juni 2007.

Pertemuan Pertama

Tak ingat kapan persisnya. Saya bertemu Ribhi Awad pertama kali tak lama setelah serangan kelompok teroris yang menghancurkan menara kembar WTC di New York, 11 September 2001.

Hari itu saya beranikan diri, go show, tanpa janji, mendatangi Kedubes Palestina. Tidak sulit untuk meyakinkan penjaga di pintu gerbang.

Pintu utama dibuka. Tak lama duduk di ruang tengah, yang sekaligus merupakan ruang tunggu, saya dipersilakan masuk ke ruang kerja Dubes Ribhi Awad.

Samar-samar saya ingat, tumpukan dokumen memenuhi meja di ruang kerjanya yang tidak terang benderang.

Ribhi Awad mengenakan jas berwarna gelap. Keffiyeh menutup kepalanya.  

Tubuhnya besar, alis matanya tebal. Senyumnya kerap mengembang.  

Modal saya hanya ini: tape recorder dan buku catatan kecil plus pulpen.

Itu tahun 2001, saya hanya punya Nokia 5110. Juga tidak menenteng kamera. Belum lagi ini kunjungan yang tidak direncanakan.

Hanya kami berdua di ruangan kerja itu.

Ribhi Awad mempersilakan saya mengajukan pertanyaan. “Apapun yang ingin Anda tanyakan,” katanya.

Dia menjawab semua pertanyaan, dengan berapi-api. Begitu semangat. Mengecam, atau setidaknya mengkritik kebijakan luar negeri AS secara umum di banyak negara, termasuk di Palestina, yang menyebabkan kebencian terhadap negara itu tumbuh subur di mana-mana, termasuk di Palestina dan di kalangan rakyat Palestina.

Serangan terhadap WTC di New York itu pun, katanya buah dari kebijakan luar negeri AS.

(Blowback. Ini istilah yang digunakan Prof. Chalmers Johnson dalam buku “Blowback: the Cost and Consequences of American Empire” terbitan tahun 2000. Buku itu menggambarkan konsekuensi dari kebijakan luar negeri AS yang tidak terbayangkan baik oleh pemerintah maupun publik AS.)  

Wawancara selesai. Saya senangnya minta ampun. Saya kira, bagi seorang wartawan muda, dapat mewawancarai seorang dutabesar secara eksklusif sungguh luar biasa.

Sebelum saya meninggalkan ruangan, Ribhi Awad berkata lagi. Kira-kira:

“Saya tidak punya rekaman wawancara tadi. Saya mau rekam dulu untuk dokumen kami. Nanti Anda bisa ke sini lagi untuk mengambil kaset Anda.”

Katanya, dia butuh satu jam untuk meng-copy rekaman wawancara. Di kalangan wartawan ketika itu, ini yang disebut kloning.

Saya keluarkan kaset dari tape recorder dan memberikannya kepada Ribhi Awad.

Saya meninggalkan Kedubes Palestina, menuju kawasan di sekitar Kedubes AS di Silang Monas. Memantau siapa tahu sedang ada demonstrasi. Setelah peristiwa 9/11, Jakarta seperti era Reformasi lagi. Hampir setiap hari ada demonstrasi. Umumnya demonstran mengecam dua pihak: penyerang WTC dan pemerintahan George W. Bush.

Saya lupa apakah hari itu saya menemukan demonstrasi di Kedubes AS. Tetapi setelah satu jam berlalu, saya kembali ke Kedubes Palestina.

Ribhi Awad menyambut saya. Kali ini ia tampak memaksakan diri untuk tersenyum. Tanda-tanda tidak baik.

Benar saja. Sambil mengisap cerutunya, dia berkata, kira-kira, “Saya sudah dengarkan lagi wawancara ini. Saya kira terlalu banyak hal yang seharusnya tidak saya katakan. Saya minta maaf, tidak bisa mengembalikan kaset Anda.”

Saya kecewa. Saya katakan kepadanya, ini penugasan dari pimpinan.

Dia balik berkata, “Hubungkan saya dengan pimpinan Anda. Saya akan minta maaf padanya. Saya akan katakan Anda telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik. Tetapi ini sesuatu yang bisa jadi kurang baik bila tetap diterbitkan.”

Saya hubungi seorang senior di kantor, dan menyerahkan Nokia 5110 kesayangan saya pada Ribhi Awad.

Dia lalu berbicara dengan senior di ujung sana. Seperti janjinya, ia mengatakan saya telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik, namun belakangan disadari ada materi wawancara yang dirasa sangat sensitif.

Selesai berbicara dengan senior saya, Ribhi Awad kembali minta maaf.

Untuk mengobati rasa kecewa saya, dia berikan saya sehelai keffiyeh seperti yang dikenakannya itu.

Lumayan. Tiba di kantor sore hari, saya bisa pamerkan barang mewah itu. dilansir RMOL.ID.