Menakar Sistem Pemilu Ideal Di Tengah Tahapan

Abdusy Syakir/RMOLBengkulu
Abdusy Syakir/RMOLBengkulu

(Catatan atas uji materi sistem pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi)

Abdusy Syakir

“Democracy thrive on the active participation of its citizens and the robust competition of idea, demokrasi tumbuh subur karena adanya partisipasi aktif dari warga negara dan adanya persaingan ide yang kuat”@Richard Pildes

PENDAHULUAN

Mengutip Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 tahun 2022 sebagai acuan tahapan pelaksanaan Pemilu tahun 2024, saat ini telah memasuki tahapan penetapan peserta pemilu, baik Partai Politik dan Calon Perseorangan dan penetapan jumlah kursi serta daerah pemilihan (dapil). Dalam konteks penetapan peserta pemilu yakni Partai Politik berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor 551 tahun 2022 telah menetapkan setidaknya ada 24 Partai Politik yang akan menjadi peserta pemilu 2024, dimana ini merupakan perubahan atas keputusan KPU Nomor 518 tahun 2022 yang menjadi landasan yuridis masuknya Partai Ummat sebagai peserta pemilu 2024 setelah dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU RI atas dasar putusan Bawaslu RI dalam sengketa sebelumnya. 

PERMASALAHAN

Beberapa waktu lalu di media massa baik cetak atau elektronik, salah seorang Hakim Konstitusi yakni Arif Hidayat menyampaikan pandangannya terkait sistem pemilu yang berkemungkinan berubah dari system sebelumnya dengan menggunakan sistem hybrid, hal ini didasarkan dengan argument pada perkembangannya penerapan pemilu dengan cara memilih partai dan berubah menjadi memilih calon anggota DPR dan DPRD dipandang ada baik dan buruknya, dalam bahasa beliau dikatakan “artinya, meninggalkan yang buruk di terbuka dan meninggalkan buruk yang tertutup, kita gunakan dua-duanya, kita padu padankan menjadi sistem khas asli Indonesia” jelasnya. Secara sederhana pandangan terkait system pemilu dimaksud yakni menggunakan system proporsional terbuka untuk calon pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan terhadap pemilihan anggota DPR/DPRD menggunakan sistem pemilihan tertutup yang diajukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut.

Hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh Ketua KPU RI, pada kata sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI di Kantor KPU, Menteng Jakarta Pusat, Kamis 29 Desember 2022 secara substansi menyatakan “ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke system proporsional daftar calon tertutup”, yang kemudian pernyataan ini berujung adanya laporan ke DKPP dengan Nomor 14-PKE-DKPP/II/2023 dengan Pengadu atas nama Muhammad Fauzan Irvan dan Teradu, Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari. Pernyataan yang disampaikan kedua tokoh diatas tentu mengundang pertanyaan publik serta memiliki makna tersendiri karena hal ini bertepatan dengan momentum pelaksanaan pemilu apalagi mereka pihak yang sangat kompeten serta memiliki kapasitas dalam konteks pemilu, setidaknya bagi sebagian kalangan dibaca sebagai sinyal bahwa akan ada perubahan system pemilu pada 2024. Tak hanya itu, pernyataan tersebut juga memicu pertanyaan lanjutan yakni, apakah dimungkinkan adanya perubahan system pemilu ditengah tahapan yang sedang berproses, apakah system pemilu hybrid yang dimaksud oleh Arif Hidayat cocok diterapkan dan dikenal dalam khasanah kepemiluan kita, apakah ada pihak yang dengan sengaja bermaksud untuk memaksakan perubahan system pemilu, atau apakah ini sebagai upaya/skenario kelompok tertentu yang bermaksud menunda pemilu 2024 serta banyak lagi pertanyaan lanjutan.

PEMBAHASAN

Jika menggunakan pola kategorisasi berdasarkan waktu, setidaknya pemilu di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 kategorisasi, yakni :

a. Pemilu pada Orde lama

Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama kali yang dilaksanakan 2 kali untuk memilih anggota DPR pada 29 September dan anggota konstituante pada 25 Desember 1955.

b.  Pemilu pada Orde Baru

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik dan 1 ormas, dimana Golkar sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak, Pemilu 1982, Pemilu 1989, Pemilu 1992, Pemilu 1997

c. Pemilu pada Orde Reformasi

Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019

Merujuk pelaksanaan pemilu diatas, setidaknya hingga saat ini kita pernah melaksanakan  11 kali pemilu yang tentu saja terdapat perubahan-perubahan pada setiap pemilu baik dari sisi regulasi, sistem, peserta pemilu termasuk pelaksana pemilu sendiri. Hal ini tentu harus dimaknai sebagai bagian dari kompromi politik yang diperankan oleh para aktor politik serta respon terhadap dinamika yang berkembang saat itu.

Hari ini dinamika dan akselerasi politik itu seakan kembali muncul ditengah kegamangan serta perdebatan apakah pemilu 2024 dapat terlaksana sesuai tahapan yang telah disepakati bersama oleh para stakeholders ataukah akan terjadi penundaan pemilu yang pada akhirnya akan bermuara pada problematika konstitusional ketatanegaraan terkait legitimasi pemerintahan saat ini. Manusiawi jika kemudian hal itu muncul setidaknya gejala dimaksud dapat di tracking dari beberapa aspek yang secara kasat mata terjadi akhir-akhir ini, antara lain adanya putusan peradilan umum (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) yang mengabulkan gugatan partai calon peserta pemilu (Partai Prima) khususnya tentang petitum penundaan pemilu 2024 (meskipun pada tingkat banding ditolak dengan dasar kompetensi), terdapat fenomena partai-partai yang tidak lolos pada tahapan verifikasi mengajukan gugatan serupa pada peradilan umum, adanya gugatan atau uji materi di MKRI terkait dengan sistem pemilu.

Perkara No.114/PUU-XX/2022 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Pemohon atas nama Demas Brian Wicaksono dkk saat ini tengah diuji dan memasuki tahapan pemeriksaan ahli para pihak, dimana ada beberapa Pasal yang uji karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 antara lain Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf b, Pasal 386 ayat 2 huruf b, Pasal 420 huruf c, dan d. Pasal 422, Pasal 424 ayat 2, Pasal 426 ayat 3, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan uji materi oleh Pemohon jika dilihat dari gugatannya secara susbtansi uji materi tersebut menghendaki agar sistem pemilu yang saat ini berupa sistem proporsional dengan daftar calon terbuka berubah menjadi sistem proporsional dengan daftar calon tertutup atau dengan kata lain kembali lagi ke sistem pemilihan tahun 1999.

Wacana perubahan sistem pemilu yang kemudian diimplementasi dengan adanya gugatan Perkara No.114/PUU-XX/2022 setidaknya mendapat respon dari partai politik peserta pemilu, dimana di Parlemen setidaknya dari 9 fraksi di DPR RI, 8 fraksi (fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demikrat, PKS, PAN dan PPP) menyatakan menolak perubahan sistem pemilu dan hanya 1 fraksi yakni fraksi PDI-P yang setuju atas perubahan sistem pemilu sebagaimana disampaikan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang dikutip kompas.com tanggal 31 Desember 2022 dengan pertimbangan antara lain:

1. Sistem proporsional terbuka membawa dampak liberalisasi politik

2. Kongres V PDIP memutuskan pemilu dengan sistem proporsional tertutup sesuai amanat konstitusi

3. Mendorong proses kaderisasi diinternal parpol dan meminimalisir kecurangan pemilu

4. Dapat menekan berbagai bentuk kecurangan karena pileg dan pilpres dilaksanakan serentak 5. Sistem proporsioanal tertutup dapat mengurangi biaya pemilu secara signifikan.

Lantas menyikapi dinamika politik saat ini apalagi tahapan pemilu 2024 telah dan sedang berjalan, muncul pertanyaan apa sistem pemilu yang ideal untuk kondisi saat ini, sistem proporsional terbuka atau tertutup, sistem distrik atau dapat juga menggunakan sistem campuran ??  tentu dari semua sistem pemilu terdapat kelebihan dan kekurangannya tergantung pilihan konstitusional serta komitmen kita saat ini. Untuk memberikan gambaran terhadap konstitusional choice atas sistem pemilu, setidaknya dapat dilihat perbandingan dalam bentuk matrik baik kelebihan ataupun kekurangannya serta ciri-ciri dari masing-masing sistem pemilu:

1. SISTEM (CIRI-CIRI)

PROPORSIONAL

- Negara dibagi-bagi menjadi dapil

- Satu dapil memilih lebih dari satu orang wakil

- Memilih nama partai dan atau nama kandidat

- Proporsi perolehan suara tercermin dalam proporsi perolehan kursi

DISTRIK

- Negara dibagi menjadi beberapa dapil yang jumlahnya sama dengan jumlah wakil rakyat yang akan dipilih dalam sebuah lembaga perwakilan

- Satu distrik akan menghasilkan satu wakil rakyat

- Kandidat yang memperoleh suara terbanyak di suatu distrik menjadi wakil rakyat terpilih

- Kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit, suaranya tidak diperhitungkan atau dianggap hilang 

CAMPURAN

- Kombinasi antara ciri positif sistem distrik dan proporsional

- Terdapat dua sistem pemilu yang jalan beriringan

- Suara diberikan oleh pemilih yang sama dan dikontirbusikanpada pemilihan wakil rakyat dibawah kedua system tersebut

- Mengkonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada diantara proporsionalitas dengan mayoritarian

2. KELEBIHAN

- Setiap suara terkonversi menjadi kursi

- Membuka kesempatan kelompok minoritas untuk terwakili

- Lebih besar kesempatan bagi perempuan untuk terpilih

- Partai dan kelompok minoritas dapat berkembang

DISTRIK

- Wilayahnya relatif kecil sehingga pemilih mengenal lebih baik kandidat yang akan dipilih

- Mendorong kearah integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan setiap dapil hanya 1 wakil

- Mendorong kearah penyederhaan partai secara alamiah

Lebih sederhana, mudah diselenggarakan, biaya murah dan waktu lebih singkat

- Berkurangnya parpol memudahkan terbentuknya pemerintahan yang lebih stabil

CAMPURAN

- Hasil sistem paralel berada diantara mayoritas-pluralitas dan sistem  proporsional

- Memberikan pada pemilih baik pilihan distrik atau berdasarkan partai secara nasionalkarena sistem ini memerlukan dua kertas suara

- Bila ada kursi proporsioanl yang cukup, partai2 kecil yang tidak mendapatkan kursi melalui mayoritas pluralitas masih dapat memperoleh kursi dalam alokasi kursi berdasarkan sistem proporsional

-Dapat mengurangi penggolongan sistem partai menjadi lebih kecil disbanding system proporsional murni

3. KEKURANGAN

- Sistem lebih rumit dibandingkan system mayoritas

- Hubungan wakil rakyat dan konstituen kurang dekat

- Kemungkinan stagnasi kebijakan dalam pemerintahan yang terbentuk

DISTRIK

- Kepentingan partai kecil dan golongan minoritas kurang diperhatikan

- Kurang refresentatif, dimana partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang mendukungnya - Kurang efektif dalam masyarakat plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, dan tribal

- Kemungkinan wakil rakyat lebih mementingkan distrik daripada kepentingan nasional

CAMPURAN

- Adanya dua jenis anggota parlemen Tidak dapat menjamin proporsionalitas secara keseluruhan

- Relative kompleks dan dapat membingungkan pemilih dalam hal hakikat dan cara kerja sistemnya

- Menghasilkan kinerja yang mengecewakan karena adanya efek-efek interaksi diantara komponen2 PR dan majoritarian didalam sistem pemilunya

- Para wakil rakyat yang terlibat dalam voting behavior yang tidak sesuai dengan jenis kursi yang didapatnya atau sistem campuran yang highly majoritarian kemungkinan gagal untuk mengurangi fragmentasi di lembaga perwakilan.

Dikutip dari makalah Gebril Daulai, Tenaga Ahli KPU

PANDANGAN PIHAK TERKAIT

Uji materi dalam perkara No.114/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Pemohon atas Undang-Undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga mengakomodir pihak terkait baik dalam posisi sepakat dengan sistem pemilu proporsional terbuka ataupun yang tidak setuju, antara lain yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dimana Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra mengajukan diri sebagai pihak terkait yang pada pokoknya menghendaki adanya perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Hal ini disampaikan pada sidang uji materi dengan agenda keterangan pihak terkait, Yusril mewakili PBB sebagai terkait berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena hal ini melemahkan, mereduksi fungsipartai politik dan menurunkan kualitas pemilu, terutama ketentuan Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf b, Pasal 386 ayat 2 huruf b, Pasal 420 huruf c, dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat 2, Pasal 426 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.

Namun demikian dalam persfektif berbeda, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)  yang juga mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara aquo diwakili oleh Fadli Ramadhanil menyatakan bahwa jika Mahkamah Konstitusi memutuskan sistem proporsioanl tertutup adalah sistem yang konstitusional, maka evaluasi terhadap sistem pemilu akan hilang dan ini berdampak pada bangunan sistem penyelenggaraan pemilu. Lebih lanjut dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membuat batasan-batasan dalam menentukan sistem pemilu model apa yang dipilih oleh pembentuk undang-undang, dimana batasan atau aspek dimaksud dapat dipertimbangkan untuk memastikan pemilu berjalan secara adil dan demokratis. Batasan dimaksud yakni partai politik harus secara demokratis menentukan calon anggota legislatif yang akan diusung dan mengutamakan kader yang sudah mengabdi di internak partai dalam kurun waktu tertentu, jika itu terjadi maka problem yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara aquo dapat terselesaikan tanpa harus mengubah sistem pemilu.

PENUTUP

Dipenghujung tulisan ini biarlah kiranya kegamangan sistem pemilu menjadi perdebatan konstitusional pada ruang Mahkamah Konstitusi dan menjadi sebuah dialektika tersendiri dalam khasanah demokrasi kepemiluan. Karena pada dasarnya sebaik dan seideal apapun sistem pemilu yang ada tentu akan menjadi sia-sia ketika ruang partisipasi warga Negara/pemilih tidak terbuka lebar, ritual pemilu yang sejatinya mengkonversi suara menjadi kursi sebagai bagian transisi kepemimpinan akan terasa gersang tak bermakna saat realitas politik uang lebih dominan dibandingkan persaingan ide-ide cerdas dan brilian, hingga pada akhirnya harapan mewujudkan pemilu yang jujur serta adil terasa jauh panggang dari api.

Relawan pada Ridwan Mukti Law Institute