Menakar Effect Amicus Curiae Pada Putus PHPU Pilpres 2024 

Abdusy Syakur, Penggiat pada Komunitas Marginal, Relawan LBH ND dan Ridwan Mukti Institute, anggota KAI Bengkulu.
Abdusy Syakur, Penggiat pada Komunitas Marginal, Relawan LBH ND dan Ridwan Mukti Institute, anggota KAI Bengkulu.

“Hanya butuh 1 orang yang bersyahwat pada kekuasaan untuk merusak demokrasi di negeri ini. Cukup 1 orang dengan janji manis dengan dukungan APBN untuk meninabobokan jutaan rakyat Indonesia untuk tidak memperjuangkan haknya atas demokrasi. Dan tatkala gelombang kerusakan mulai menyebar, ternyata seruan nelangsa dari ratusan akademisi tak cukup untuk menghentikannya.Ketika rakyat terlena; ketika akademisi tak didengar, lantas siapakah corong nurani yang bisa menghentikan rusaknya demokrasi bangsa ini ?

@ Todung Mulya Lubis, Petitum perkara No.02/PHPU.Pres-XXII/2024. 

PENDAHULUAN

Hari ini, para hakim konstitusi telah usai melakukan pemeriksaan atas 2 (dua) sengketa PHPU pilpres 2024, proses persidangan yang awali dengan registrasi perkara pada 25 Maret 2024 lalu dan akan berakhir pada tanggal 22 April 2024 dengan agenda pembacaan putusan. 

Adapun 2 (dua) permohonan PHPU Pilpres diajukan oleh Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden No Urut 1, Anies Rasyid Baswedan - Muhaimin Iskandar dengan Nomor Register 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan permohonan Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Ganjar Pranowo – Mahfud MD. Tentu semua rakyat Indonesia tengah menunggu dan berharap para hakim konstitusi yang merupakan negarawan dapat memberikan putusan yang tepat, bijak dan memenuhi rasa keadilan sebagai intisari dari hukum dengan pertimbangan - pertimbangan yang bernas serta berkualitas demi menjaga tumbuh kembangnya demokrasi. 

DINAMIKA SENGKETA PHPU PILPRES 2024

Pasca KPU RI mengumumkan hasil perolehan suara secara nasional baik pemilihan legislatif maupun Pemilihan Presiden yang dituangkan dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara Nasional dalam pemilu tahun 2023 tanggal 20 Maret 2024, secara perlahan eskalasi politik tanah air mulai meningkat. 

Hal ini didasari atas adanya ketidakpuasan terhadap proses pemilu khususnya pemilu pilpres yang dianggap oleh sebagian kelompok masyarakat tidak berlangsung sesuai prinsip pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Salah satu indikatornya antara lain muncul diskursus penggunaan hak angket terkait dugaan kecurangan dan pelanggaran pemilu pilpres yang dilontarkan pertama kali oleh Capres No Urut 3, Ganjar Pranowo dan menjadi perdebatan sesaat publik, faktanya hari ini wacana penggunaan hak angket tersebut sama sekali tidak terwujud. 

Meskipun beberapa partai politik antara lain PKB, Nasdem dan PKS sempat menggelar pertemuan untuk mendukung hak angket dan ditindaklanjuti pada rapat paripurna pasca gelaran pemilu 2024 yang diusulkan oleh 3 orang anggota DPR yakni Aus Hidayat Nur (PKS), Lulu Nur Hamidah (PKB) dan Aria Bima (PDIP).     

Disisi lain implementasi ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilu tersebut secara konstitusional prosedural telah diwujudkan dengan permohonan sengketa PHPU Pilpres oleh 2 pasangan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi RI. Menilik dari dokumen permohonan yang diajukan kedua pasangan calon tersebut secara materi lebih menitikberatkan pada isi-isu yang bersifat substantif bukan perselisihan angka yang bersifat kuantitatif dan menjadi domain MK antara lain pelanggaran TSM berupa nepotisme yang dilakukan oleh Presiden jokowi yang melahirkan Abuse Of Power guna memenangkan pasanagn Calon No. Urut 02 dalam 1 putaran dan pelangggaran procedur pemilihan umum. 

Dinamika lain yang terjadi yakni semakin banyaknya keterlibatan berbagai pihak untuk ikut menjadi bagian dari proses PHPU Pilpres dengan mengajukan diri sebagai Amicus Curiae, antara lain mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri yang menitikberatkan pada isu-isu etika, moral dan integritas, pengajuan sebagai Amicus Curiae diwakili oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang didampingi oleh Djarot Saiful Hidayat dan Todung Mulya Lubis pada selasa 16 Maret 2023 melalui kesekretariatan MK.

EFFECT AMICUS CURIAE TERHADAP PUTUSAN PHPU PILPRES 

Terminologi Amicus Curiae masih terasa asing dan tidak familiar, kondisi ini tidak hanya pada dirasakan oleh kaum awam namun dikalangan penggiat hukum termasuk praktisi belum begitu banyak yang mengenal. Tentu bukan sesuatu yang aneh karena terminologi Amicus Curiae tidak dan belum diatur secara jelas dalam ketentuan peraturan khazanah hukum di Indonesia, meskipun secara tidak sadar penggunaan Amicus Curiae dalam dunia hukum dan prakteknya diIndonesia diakui dan dipandang sebagai terobosan baru yang mengisi raung-ruang kosong bagi para pencari keadilan. 

Setidaknya praktek Amicus Curiae dari literature yang ada pertama kali digunakan dalam kasus Peninjauan Kembali Gugatan Perdata mantan Presiden Soeharto VS majalah Times pada tahun 2008, yang ini dikemudian berkembang dan menjadi pintu pembuka bagi penggunaan Amicus Curiae dalam praktek peradilan khususnya hukum pidana di Indonesia. 

Lantas pertanyaannya, apakah Amicus Curiae hanya dapat digunakan dalam praktek peradilan pidana saja ? tentu tidak. Dalam konteks PHPU Pilpres 2024 trend penggunaan Amicus Curiae menjadi pilihan bagi berbagai kalangan yang merasa terpanggil dan secara moral ikut bertanggungjawab menjaga demokrasi dan menyelamatkan konstitusi. 

Mengutip dari salah satu media online ternama di Indonesia, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengakui bahwa Amicus Curiae pada PHPU Pilpres 2024 ini adalah yang terbanyak dibanding beberapa Pilpres sebelumnya. 

Dari catatan yang ada, per 17 April 2024, ada lebih kurang 22 individu/tokoh, kelompok, organisasi yang mengajukan diri sebagai Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan dan jumlah ini tentu sangat mungkin bertambah setidaknya sampai sebelum pembacaan putusan atau Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) digelar, diantaranya yakni :

1. Barisan Kebenaran Untuk Demokrasi (Brawijaya).

2. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).

3. Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil.

4. Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad dll.

5. Organisasi Mahasiswa UGM, Unpad, Undip, Unair.

6. Megawati Soekarno Putri (mantan Presiden RI).

7. Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI)

8. Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN). 

9. Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI). 10. 10. Amicus Stefanus Hendriyanto. 

11. Indonesian American Lawters Association (IALA)

12. Reza Indragiri Amriel.

13. Panji R Hadinoto.

14. Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-JURDIL).

15. TOP GUN.

16. Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Center For Law and Social Justice) LSJ Fakultas Hukum UGM.

17. Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia.

18. Gerakan Rakyat Penyelamat Indonesia dengan Perubahan.

19. Burhan Saidi Chaniago (Mahasiswa STIH GPL Jakarta). 

20. Gerakan Rakyat Menggugat.

21. Tuan Guru Deri Sulthanul Qulub. 

22. Habib Rizieq Shihab, Din Syamsudin, Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Martak, dan Munarman.

Terlepas dari apapun motivasi yang melatarbelakangi berbagai elemen masyarakat untuk menjadi Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan, point penting yang harus dicatat adalah ada banyak dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi sehingga mengakibatkan proses transisi demokrasi electoral menjadi “cacat” baik dari sisi proses hingga bermuara pada hasil selain itu pengujian atas dugaan tersebut menjadi sangat penting untuk memberikan political education dan political awareness bagi kita semua demi menjaga terawatnya demokrasi dan konstitusi.

Mendekati putusan pada tanggal 22 April 2024 yang akan datang, ada banyak pertanyaan serta prediksi yang menyeruak sejauh mana effect dari Amicus Curiae terhadap putusan PHPU pilpres baik pada perkara nomor 1 maupun nomor 2 ? sebelumnya mesti dipahami bahwa keberadaan Amicus Curiae tidaklah serta merta menjadi pedoman dan mengikat bagi hakim konstitusi karena secara umum Amicus Curiae bukanlah para pihak dalam sengketa PHPU Pilpres disamping itu secara konteks pembuktian bukan merupakan alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 38 PMK No.4 tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya ada beberapa kemungkinan putusan yang akan terjadi dengan menggunakan pendekatan normatif berupa batu uji yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.4 tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Merujuk Pasal 53 ayat (1) setidaknya ada beberapa bentuk amar putusan yakni :

Pertama, Mahkamah membuat amar putusan “Menyatakan Permohonan tidak dapat diterima” jika Permohonan dan/atau Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 5, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 8; 

Kedua, Mahkamah membuat amar putusan, “Menyatakan menolak Permohonan Pemohon” dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum. 

Ketiga, Mahkamah membuat amar putusan yang berbunyi : 

- “Menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon”;  -“Membatalkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Termohon dan menetapkan hasil penghitungan Wakil Presiden oleh Termohon dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar”, dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum.

Namun demikian terhadap amar putusan sebagaimana telah ditentukan secara limitatif sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 ayat (1) diatas, Mahkamah juga diberi kewenangan untuk menyimpangi atau menambahkan amar putusan lain sepanjang hal ini dianggap penting atau urgen khususnya dalam menegakkan keadilan substantif dalam istilah hukum disebut dengan ultra petita dengan merujuk pada ketentuan ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dalam konteks PHPU Pilpres 2024 yang sedang diperiksa dan akan diputus apakah ini terjadi ? wallahu a’lam bishawab.

ANALISA PUTUSAN PHPU PILPRES 2024 

Terhadap kira-kira seperti apakah putusan yang akan diketuk oleh mahkamah nantinya, tidak seorangpun yang dapat memberikan sebuah kepastian selain hanya menunggu pada 22 April nanti, namun sebagai satu analisis dan prediksi dengan segala keterbatasan pengetahuan tentu tak salah jika penulis berkeinginan memberikan sumbang analisis serta prediksi putusan atas sengketa PHPU Pilpres 2024.

Menyambung bunyi ketentuan Pasal 53 PMK No.4 tahun 2023 ayat (1) diatas, Lantas bagaimana bentuk amar putusan tambahan yang mungkin akan menjadi amar putusan Mahkamah nantinya jika Mahkamah bersepakat mengambil choice pada ayat (2) ? menurut penulis, melihat realitas hari ini dan dikorelasikan dengan begitu besarnya animo elemen masyarakat serta kapasitas pihak (individu) yang mengajukan diri menjadi Amicus Curiae setidaknya ada beberapa hal yang mungkin menjadi ultra petita dengan segala dampak positif dan negatifnya, antara lain :

Pertama, dimungkinkan adanya diskualifikasi terhadap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau hanya calon Wakil Presiden saja, dengan pertimbangan bahwa proses menjadi Wakil Presiden dianggap cacat hukum, cacat administrasi dan cacat etik dengan mendasarkan pada putusan MKMK dan DKPP terhadap Penyelenggara KPU. Point ini tentu akan menjadi problematika tersendiri khususnya berkenaan regulasi yang mengatur ketentuan pergantian pasangan calon dimaksud disamping dampak sosial dan politis yang mungkin terjadi.

Kedua, dimungkinkan adanya pemungutan suara ulang apakah pada wilayah-wilayah tertentu sebagaimana dalil Pemohon ataukah diseluruh wilayah Indonesia. Terhadap pilihan ini tentu akan dihadapkan dengan berbagai factor pendukung antara lain kesiapan anggaran, penyelenggara, termasuk factor kondusifitas pasca putusan, hal ini penting karena pada saat yang sama penyelenggara pemilu dihadapkan dengan pelaksanaan pilkada yang akan dimulai tahapan pada April 2024.

Ketiga, dimungkinkan pemungutan suara ulang apakah diikuti oleh pasangan Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 dan nomor urut 1 sebagai pasangan pasangan Presiden dan Wakil Presiden perolehan terbanyak pertama dan kedua atau hanya pasangan Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 dan 3 dengan asumsi bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 telah didiskualifikasi.

Keempat, dimungkinkan terhadap dalil-dalil permohonan baik pasangan Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 dan nomor urut 3 seluruhnya ditolak namun Mahkamah memberikan beberapa catatan terhadap proses pilpres 2024 sebagai bahan perbaikan pada pilpres berikutnya termasuk terhadap peran Presiden dan penyelenggara lainnya untuk menjaga netralitas dan independensi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan terhadap dalil-dalil yang diajukan dianggap terbukti dan tidak dapat disangkal kebenarannya.

Kelima, dimungkinkan adanya dissenting opinion dalam putusan mahkamah sehingga putusan tidak bulat disatu sisi menolak permohonan dan disisi lain menerima permohonan dengan berbagai pertimbangan.

Terhadap pilihan-pilihan diatas tentu akan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh hakim konstitusi dan kualitas dari dokumen Amicus Curiae itu sendiri, sikap kenegarawanan dan integritas, panggilan nurani serta moral hakim konstitusi menjadi pertaruhan sekaligus ujian serta catatan sejarah yang sangat berharga dalam memberikan kontribusi terhadap tumbuh kembangnya demokrasi dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. 

Para hakim konstitusi hari ini dihadapkan pada pilihan apakah akan menjadi Mahkamah Kalkulator dengan menerapkan keadilan procedural atau menjadi The Guardians Of Constitution atau Penjaga Konstitusi dengan menggunakan pendekatan keadilan substansif dalam memeriksa dan memutuskan sengketa PHPU Pilpres, ditengah semakin beringas dan semena-menanya Penguasa demi melanggengkan praktek Politik Dinasti, disudut lain sebagai rakyat kita hanya mampu berdoa serta berharap kiranya palu hakim konstitusi nantinya adalah palu keadilan bukanlah palu godam yang akan mencederai rasa keadilan. 

PENUTUP 

Amicus Curiae setidaknya menjadi media bagi para penggiat demokrasi dan konstitusi untuk terus melantunkan syair-syair perlawanan bagi Penguasa dan siapa saja yang berlaku dzalim serta sewenang-wenang, meskipun belum menjadi pijakan yang kuat dalam praktek peradilan di Indonesia khususnya di Mahkamah Konstitusi. jikapun tidak mengikat dan menjadi para pihak dalam sengketa PHPU Pilpres, setidaknya upaya para Amici diharapkan mampu mengetuk hati dan memberikan cakrawala baru bagi para hakim konstitusi dalam memberikan putusan yang seadil-adilnya sebagaimana irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA yang selalu termuat pada awal setiap putusan mahkamah…..Semoga.

Penggiat pada Komunitas Marginal, Relawan LBH ND dan Ridwan Mukti Institute, anggota KAI Bengkulu.