Zero Sum Game, Ganjar Vs Puan

JAYANTO ARUS ADI
JAYANTO ARUS ADI

Dinamika politik tiba tiba melejit, dan bereskalasi dalam turbulensi yang terjal. Dua cluster besar menjadi pemantik memanasnya tensi ini. Pertama, langkah kuda Partai Nasdem, tak luput membawa sekondan koalisi, meski belum akad resmi, yakni PKS dan Partai Demokrat. Keputusan mereka mendeklarasikan Anies Baswedan menjadi Capres merupakan manuver spekulatif yang memicu tsunami dan menebarkan hawa panas.

Keputusan itu memang sengaja dipilih Nasdem tentu dengan berbagai kalkulasi berikut konsekuensi dan implikasinya. Nasdem, saya sebut berspekulasi,  karena matematika sederhana, dengan target ideal menangi Pilpres masih jauh api dari panggang. Tetapi langkah ini sebagai target strategis,  dampaknya ke depan akan sangat luar biasa. Artinya,  sebagai representasi partai modern Nasdem menawarkan pembelajaran politik yang sangat elok.

Dalam konteks ini, Nasdem memeragakan jurus Trisula politik. Satu langkah tiga mata trisulanya bekerja. Pertama,  adalah endorsement untuk mendapat simpati publik, yakni membuka ruang dialog,  sekaligus memberi kesempatan putra terbaik bangsa, yang bukan orang partai dapat menjadi pemimpin. Kedua, Nasdem menawarkan sekaligus membangun citra bukan representasi partai yang feodal dengan mengandalkan politik dinasti. Merit  system diberlakukan menjadi bagian dari proses kaderisasi. Inilah investasi besar yang sedang didayung Nasdem sebagai laboratorium politik, sekaligus kawah candradimuka.

Trisula ketiga adalah langkah out of the box, atau mungkin jump of the box, sebagai manifestasi konkret menjawab tantangan masa depan. Nasdem cerdik dan cerdas membaca atau melakukan identifikasi di era transisi ini. Maaf,  ketika Parpol lain masih berkutat dengan persoalan klasik, seperti konsolidasi internal, Nasdem mampu menjadi pioner dan tegas menahbiskan diri sebagai partai modern. 

Ganjar, Anis dan Kang Emil

Sebelum Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres, manuver politik telah dilakukan sejumlah Parpol. Keputusan koalisi Gerinda dan PKB dapat dibaca muaranya adalah pencapresan. Andai Prabowo langsung menerima Cak Imin sebagai Cawapres koalisi ini bisa jadi sudah lebih dulu melakukan deklarasi. Yang menjadi persoalan, koalisi secara kepartaian, tindak lanjut membuat keputusan bersama duet yang akan diusung pada suksesi 2024 tidak dengan mudah disepakati. 

Gerindra pasti memiliki pertimbangan khusus, memutuskan siapa pendamping sang Ketum. Sebab pertarungan ini adalah kali kesekian Prabowo maju sebagai Capres. Artinya,  momentum yang ada sekarang harus dimanfaatkan dengan target maksimal, target ideal, yakni jadi.

Faktor di atas menjadi kisi kisi rasional mengapa koalisi Gerindra - PKB belum dapat menetapkan siapa cawapres yang mendampingi sang Menhan Jokowi tersebut. Penentuan cawapres koalisi Gerindra - PKB mencuatkan sisi pelik, berbeda dengan koalisi Nasdem-Demokrat-PKS. 

Anies Baswedan figur yang diusung mendapatkan obligasi besar, yakni menentukan cawapresnya. Sementara Prabowo tidak bisa melakukan itu tanpa mendapatkan legacy mitra kaolisinya.

Konstruksi ini dialami juga PDI Perjuangan. Dilema pelik dihadapi partai moncong putih ini. Karena meski tak perlu berkoalisi, PDI Perjuangan mengantongi presidential threshold, yakni 20 persen Parlemen, namun tak mudah bagi Megawati memilih ‘petugas partai’ untuk berlaga di kurusetra Pilpres.

Kalkulasi ini berbeda ketika 2014 saat terjadi Jokowi effect. Ketika itu Mega pemilik hak prerogatif piawai membuat golden decision menunjuk Jokowi. Dan eloknya konstelasi koalisi belum terkotak kotak seperti sekarang. Nasdem bahkan gigih menjadi pendukung Jokowi atau berkoalisi dengan partai Banteng.

Jadi,  tak sulit bagi Mega menetapkan putusan dan memosisikan diri sebagai queen maker. Andai Megawati tak menugaskan Jokowi, bisa jadi hasilnya berbeda. Dua kali kontestasi yang menghadapkan Jokowi vs Prabowo, meski unggul namun raihan suaranya tak spektakuker.

Kalkulasi sekarang berbeda, jika 2024 salah menentukan figur tepat untuk pencapresan hasilnya akan blunder. Pendulum tidak tidak lagi memosisikan PDI Perjuangan sebagai pilarnya, tapi diambil partai lain. Artinya hegemoni sebagai ruling partai akan lepas. Begitunpun capres yang diusung tidak mampu menapaki sukses. 

Kecenderungan ini perlu mendapat telaah mendalam, kritis dan bening agar bumerang tidak terjadi. Alih alih ingin melakukan hattric tetapi simalakama yang diraih. 

Transisi dua mata pedang

PDI Perjuangan perlu mengendapkan, kontemplasi khusus, juga harus membuka ruang dialog lebih membumi. Penentuan siapa yang akan diusung menjadi Capres dan Cawapres sangat mempengaruhi perjalanan PDI Perjuangan ke depan. Langkah yang tepat akan mampu mengukuhkan hegemoni politik sekaligus hattrick. Namun salah langkah keputusan itu akan menjadi pedang pencabut nyawa. PDI Perjuangan tidak lagi menjadi partai pemenang, ataupun rulling party,  namun berada di luar.

Hegemoni Sang Ketum yang begitu kuat di satu sisi, dan di sisi lain kebutuhan kaderisasi atau estafet yang harus dilakukan menjawab tantangan zaman,  menjadi realitas yang tidak bisa ditawar. PDI Perjuangan perlu memaknai fenomena transisi ini secara utuh, kukuh dan tetap menjaga azas demokrasi. Fenomena atas realitas itulah yang dimaknai sebagai transisi mata pedang.

Meritokrasi yang saat ini menjadi energi PDI Perjuangan perlu ditransformasikan melalui mekanisme yang bermartabat agar marwah partai tetap terjaga. Keputusan Megawati tidak memaksakan diri maju menjadi Capres 2024 adalah kearifan dan keteladanan yang luar biasa. 

Nah saat ini putri sang fajar, Megawati Soekarno Putri dituntut dapat membuat keputusan serupa. Kearifan, jernih dan bening titah Mega akan menentukan masa depan partai yang dipimpinya. Tidak mudah membuat keputusan tersebut. Komplikasi  persoalan yang menggayuti telah berkembang begitu kompleks. Kondisi ini berbeda ketika Megawati memutuskan tidak maju dan menugaskan Joko Widodo menjadi Capres pada 2014. 

Identifikasi primer yang dapat menjadi kaca benggala membaca tanda tanda zaman, di antaranya langkah kuda atau zig zah Politik Surya Paloh dengan Partai Nasdemnya. Manuver itu secara kalkukatif membawa efek bola salju yang tidak sederhana. Nasdem ibaratnya adalah anak ajaib di jagad politik Indonesia.

Kini partai besutan bos Media Group itu mantap menempatkan posisinya sebagai The Big Five. Nasdem bahkan mampu menggeser partai partai yang sudah memiliki sejarah panjang, juga ideologi kuat, sebut PKB, PAN, PKS dan Partai Demokrat. Dengan posisioning seperti itu pantaslah Nasdem mempunyai percaya diri mendeklarasikan Anies Baswesn sebagai Capres. 

Kiat, strategi atau jurus apa yang membuat Nasdem mampu melejit seperti itu? Salah satu keunggulan yang dimiliki Suryo Paloh sebagai mastermind Partai Nasdem adalah back up media. Dengan dukungan yang tidak terbatas Media Group, yakni melalu Metro TV dan juga Media Indonesia Nasdem memiliki artikukasi yang lebih nyaring. Jargon siapa menguasai informasi, mereka yang akan memenangkan peperangan. 

Pilihan Surya ke Anies Baswedan tak luput dari strategi media yang ingin dikapitalisasi. Tidak mudah mengalahkan Anies, apalagi kompetitor yang muncul tokoh tokoh old crack, sebut Prabowo Subiyanto. Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil tak masuk hitungan menghadapi Anies Baswedan. Efek Anise inilah yang akan dikayuh Nasdem dan mitra koalisinya.

Artinya apa, sekali lagi PDI Perjuangan harus hard working, hard thinking menentukan Capres dan Cawapresnya. Puan dan Ganjar bukan pilihan yang tepat untuk menandingi Anies. Rapor Ganjar tak terlalu kinclong ketika memimpin Jateng. Sepuluh tahun menjadi lurahnya wong Jateng nyaris tidak ada karya monumental. 

Keunggulan Ganjar, dia piawai membangun komunikasi dengan strategi media guna mendulang citranya. Pemimpin kosmetik, pejabat salon adalah tipologi Gubernur Jawa Tengah ini. Indikator riil yang jadi representasi prestasi, di era Ganjar prestasi PON Jateng paling bobrok. Catatan berikut angka kemiskinan yang masih tinggi, BPS bahkan sempat merilis data yang memicu kontroversi publik, Jateng merupakan Provinsi termiskin di Jawa. Terakhir kasus kekeringan di Jateng, tepatnya Wonogiri, dua periode Ganjar memimpin tidak tersentuh atau teratasi.

Luput Ganjar lalu siapa layak mendapat tugas partai untuk diusung Partai Moncong Putih ini. Puan Maharani sebagai darah biru Soekarno belum mampu menandingi juga. Putra Megawati dari mendiang Surendro, yakni Muhamad Prananda Prabowo memiliki kearifan juga kompetensi sebagai calon pemimpin. Sayang Nanan, panggilan Prananda lebih banyak berada di belakang layar.

Kuatnya hegemoni sang patron, yakni Megawati PDI Perjuangan seperti terlena melakukan alih generasi di tubuh partai. Puan sebagai putri mahkota dan memiliki darah biru masih perlu memacu speed dan jam terbang lebih banyak lagi. Assesment publik atas portofolio Puan dinilai belum cukup. Artinya kalau Puan yang diberi mandat untuk maju melawan Anies spekulasi ini masih terlalu berisiko. 

Dua aspek yang perlu didalami terkait eksistensi Puan meski memiliki darah biru Soekarno, pertama adalah portofolio Puan secara personal, dari sisi akademis, kemudian leadership, dan networking ranknya berada di bawah Anies Baswedan. Berikutnya adalah faktor pemimpin perempuan bagaimana pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

Karena itu, PDI Perjuangan sungguh harus mengambil ekstra ordinary policy terkait penentuan Capres ini. Salah salah impian hatrick justru memicu dinamika yang tak kondusif pasca 2024. Kuatnya hegemoni Ketua Umum sebagai patron tunggal membawa implikasi tidak ada kader yang dapat menggantikan. Kecenderungan ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan dan masa depan partai. PDI Perjuangan mestinya jauh jauh hari sudah mempersiapkan estafet itu untuk menjaga alih generasi secara sistemik, kultural dan strategis. 

Demokrat dan kontroversi AHY

Parpol parpol lain telah melakukan itu, Partai Demokrat menjadi  representasi terdepan terkait alih generasi di lingkup partai. Tampilnya Agus Harimurti Yudhoyono- AHY lepas dari keputusan kontroversial, yakni keluar dari karier militer langkah ini patut diapresiasi, menjadi pembelajaran sejarah. 

Demokrat yang tren popularitasnya mengalami penurunan bisa jadi akan kembali terkerek. Saat ini AHY menjadi nomine yang banyak digadang publik mendampingi Anies.

Kembali pada sikap dan keputusan PDI Perjuangan, satu hal yang perlu disadari pola yang lazim dilakukan dengan memanfaatkan injury time perlu dikaji secara mendalam.

Momentum, tantangan dan kondisi aktual jauh berbeda ketika 2015, dan 2019. Aspek politis, konstelasi global, kondisi secara riil internal partai masing masing juga sudah jauh berbeda. Artinya inilah ujian nyata yang harus dituntaskan PDI Perjuangan. Ganjar dan Puan adalah zero sum game. Ambisi hatrick dan sukses Pilpres bukan seperti membalik telapak tangan.

Langkah kuda Nasdem dengan jurus Trisula adalah tengara transisi peradaban yang nyata. Nasdem memiliki kekuatan Media yang menjadi manifestasi proxy war. Siapa yang menguasai informasi, merekalah yang akan memenangkan peperangan. Adagium inilah yang sekarang menjadi keunggulan Parta Nasdem. 

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institute,  Staf pengajar FBS Unnes, dan mahasiswa Program Doktoral Manajemen Kependidikan (MK) Unnes.

Tulisan atau opini ini merupakan pendapat dan pemikiran pribadi, tidak merepresentasikan lembaga atau pun institusi di atas.