Warga Miskin Bakal Sulit Mendapat Bantuan Hukum

RMOLBengkulu. Pegiat bantuan hukum menyayangkan putusan Mahka­mah Agung (MA) tentang Pasal 11 dan Pasal 12 Permen­kumham No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal.


RMOLBengkulu. Pegiat bantuan hukum menyayangkan putusan Mahka­mah Agung (MA) tentang Pasal 11 dan Pasal 12 Permen­kumham No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal.

Putusan tersebut mengakibatkan hilangnya landasan hukum paralegal dalam menjalankan fungsi litigasi dan non litigasi untuk mendampingi para ad­vokat. Di tengah keterbatasan jumlah advokat pemberi bantuan hukum cuma-cuma atau pro bono, peran paralegal terbilang sangat signifikan.

Kepala bidang pengembangan organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Febi Yonesta menerangkan, sebelum adanya UU Bantuan Hukum dan Permenkumham tentang Paralegal, peranan dari paralegal dalam pemberian bantuan hu­kum sudah terbukti dengan kongkrit.

Dengan adanya putusan MA tersebut, kini akses paralegal memberikan bantuan hukum menjadi terhambat. "Masyarakat miskin membutuhkan jasa para­legal, apalagi advokat jarang mau berikan bantuan hukum cuma-cuma," katanya, di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta, kemarin.

Selama ini pemberian bantuan hukum terkendala oleh keter­batasan sumber daya manusia, khususnya advokat. Sementara kebutuhan masyarakat miskin akan bantuan hukum sangat tinggi. "Advokat juga punya kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma, tapi ini yang belum dipenuhi, jadi selama ini kekurangan sumber daya ma­nusia dalam pemberian bantuan hukum dipenuhi oleh paralegal," terangnya.

Tak hanya itu, sejumlah undang-undang memberikan kesempatan bagi saksi, korban, maupun tersangka untuk menda­patkan pendampingan selain dari advokat. Misalnya, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan pe­luang bagi relawan untuk men­dampingi korban. Demikian juga UU Perlindungan Anak yang mengamanatkan pendampingan bagi anak yang berhadapan den­gan hukum.

Febi Yonesta alias Mayong mencontohkan, LBH Jakarta memiliki 13 advokat dan 80 paralegal untuk wilayah Jabodetabek. Paralegal yang direkrut berasal dari komunitas masyarakat. "Mereka diberikan pengembangan kapasitas, rutin dilakukan monitoring dan evalu­asi, namun paralegal tidak serta merta mandiri, mereka tetap dibawah supervisi advokat," ungkapnya.

Pihaknya berharap pemerintah segera merevisi Permenkumham tentang Paralegal dengan mem­perjelas definisi, fungsi, dan cakupan kerja paralegal. Serta mendorong advokat menjalank­an kewajibannya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.

Koordinator advokasi LBH Masyarakat, M. Afif Abdul Qoyim menerangkan, dalam kerja-kerjanya paralegal ter­bukti mampu menjalankan pemberian bantuan hukum sebagaimana yang dilakukanadvokat. "Misalnya dalam ka­sus-kasus narkotika, paralegal justru lebih tau pola konsumsi narkotika hingga masalah reha­bilitasi ketimbang advokat yang mendapat pendidikan hukum," terangnya.

Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Siti Ma'zuma mengungkapkan, se­tiap tahun pihaknya menangani sekitar 400an kasus hukum. Sementara advokatnya hanya 5 orang. "Sekarang kita punya 80 paralegal di Jabodetabek, kebanyakan dari mereka adalah perempuan korban yang diber­dayakan," ujarnya.

LBH APIK memberikan pelatihan praktik litigasi dan non ligitasi kepada paralegalnya agar mereka mengetahui proses hukum proses di kepolisian dan pengadilan. "Kebanyakan para­legal kami mendampingi kasus-kasus KDRT dimana mereka membantu para korban di jalur mediasi," katanya. dikutip Kantor Berita Politik RMOL. [ogi]