Tinjau Ulang Kasus Hiba Koni Rugikan Negara Rp 11 M, Peran Pejabat Pemprov Dipertanyakan

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Sekretaris Anti-Corruption Commission (ACC) Provinsi Bengkulu, Septo Adinara, SE mengatakan, perkara korupsi dana hibah KONI Provinsi Bengkulu harus ditinjau ulang agar kebocoran uang negara senilai RP 11 M itu bisa menjerat seluruh pihak yang ikut bertanggungjawab.


"Pertama perkara ini membobol uang negara hingga 11 M lebih. Angka itu sangat fantastis dan menjadi kerugian negara terbesar setelah kasus Agusrin. Kami menyakini tidak mungkin uang negara sebesar itu bisa dimaling tanpa ada sindikat kejahatan yang sistematis dan melibatkan banyak pihak” kata Septo, Kamis, (25/08/22)

Ia kemudian mempertanyakan, peran para pejabat daerah Provinsi Bengkulu yang ikut dalam proses pencairan dana hibah KONI hingga negara dirugikan Rp 11 M lebih. “Kami sudah mengumpulkan banyak keterangan dari banyak pihak, termasuk mempelajari seluruh dokumen dan yang berkaitan dengan perkara ini. Ada indikasi kelalaian pejabat negara dalam menjalankan tugas dan pelanggaran peraturan perundang-undangan sehingga negara bisa rugi belasan milyar,” ujar Septo. 

Dijelaskan Septo, menurut Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 35 Tahun 2011 berikut perubahannya tentang pengelolaan dana hibah, salah satu poin penting dalam proses pencairan dana hibah harus dilakukan monitoring dan avaluasi agar tidak bermasalah secara hukum dan efesiensi anggaran daerah. Tugas ini meliputi audi penggunaan dana dan lain-lain yang tugas tersebut dilakukan pejabat negara. 

“Kami ingin memulai dugaan kejanggalan dari pergub yang mengamanahkan tugas-tugas monitoring dan evaluasi itu kepada pejabat daerah antara lain BPKAD, Inspektorat, dan Sekretaris Daerah selaku Pengguna Anggaran” kata Septo. 

Lanjut Septo, alokasi dana hibah untuk KONI Provinsi Bengkulu Tahun 2020 dan secara teknis berdasarkan NPHD yang mana dalam beberapa poinya menyatakan, proses pencairan dana hibah tahap per tahap harus didahuli dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan. Salah satu dokumen yang harus terlampir dalam dokumen LPJ penggunaan hibah adalah hasil audit dari akuntan publik atau Inspektorat Provinsi Bengkulu.

“Dalam nota NPHD yang pertama maupun NPHD Adendum, hibah KONI menerapkan sistem dua kali pencairan. Rincianya itu tahap satu dicairkan 9,8 M dan tahap dua sebesar 5,2 M, totalnya 15 M lebih. Kalau merujuk pada NPHD termasuk Pergub, pencairan tahap kedua hanya bisa dilakukan apabila dokumen LPJ tahap pertama sudah clear, salah satunya hasil audit. Pada proses ini kami melihat ada kejanggalan, ada banyak pihak yang harusnya ikut terjerat” kata Septo. 

Lanjut Septo, pada proses pencairan tahap 2, KONI Provinsi Bengkulu diduga kuat tidak memiliki dokumen LPJ penggunaan dana pencairan tahap 1 yang sesuai dengan pengajuan proposal. Ada dana pencairan tahap 1 yang belum bisa dipertanggugjawabkan namun pihak Pemprov Bengkulu justru mencairkan dana tahap kedua. 

“Yang kami temukan hanya hasil verifikasi Inspektorat atas LPJ yang disampaikan KONI bukan hasil audit. Berbeda antara audit dengan hasil verifikasi dan ini berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum. Indikasi kuat dari hasil analisa kami, ada syarat yang sebenarnya belum terpenuhi untuk pencairan tahap kedua namun tetap dicairkan. Pertanyaanya siapa yang bertangungjawab atas proses itu? tentu Pengguna Anggaran berikut pejabat di bawahnya” jelas Septo

Ia menduga kuat ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan para pihak terkait pencairan dana hibah KONI sehingga uang negara hilang Rp 11 M lebih. “Apabila pejabat pemprov teliti dan merujuk pada peraturan yang ada seharusnya uang negara yang bobol hanya 9,8 M karena tahap kedua kembali cair negara akhirnya rugi Rp 11 M lebih. Kesimpulan kami, proses perkara ini harus kembali dibuka agar pihak-pihak yang diduga terkait ikut bertanggungjawab dan kami akan mengawal proses ini” tutup Septo. 

Diketahui kasus Korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Bengkulu telah mempidanakan 2 orang pengurus KONI; Mufran Imron selaku ketua dan Hirwan Fuaddy selaku Bendahara. Mufran divonis dengan hukuman penjara 11 tahun dan pidana denda Rp 750 juta dan Hirwan Fuaddy divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Keduanya saat ini tengah mendekam di jeruji besi. 

Perkara ini sempat menyita perhatian publik lantaran kerugian negara  mencapai Rp 11 M lebih dan tercatat sebagai 2 kasus kerugian negara terbesar sepanjang sejarah perkara korupsi di Bengkulu. Diantara yang turut menjadi perhatian publik adalah proses hukum yang hanya menjerat pihak KONI sedangkan dana yang dikorupsi bersumber dari APBD Provinsi Bengkulu. [***]