Suparji Ahmad: Tuntutan Hukuman Mati terhadap Heru Hidayat Jalan Indonesia Bebas Korupsi

Terdakwa Heru Hidayat dituntut hukuman mati karena diduga korupsi di PT Asabri dengan kerugian negara lebih dari Rp 22 triliun/Net
Terdakwa Heru Hidayat dituntut hukuman mati karena diduga korupsi di PT Asabri dengan kerugian negara lebih dari Rp 22 triliun/Net

Tuntutan mati terhadap terdakwa koruptor PT Asabri Heru Hidayat diapresiasi. Sebab, tuntutan itu membuktikan pernyataan hukuman mati yang kerap disampaikan Jaksa Agng ST Burhanudin benar-benar direalisasikan.


Menurut pakar hukum pidana Suparji Ahmad, hukuman yang diberikan pada para koruptor selama ini belum memberikan efek jera. Tuntutan hukuman mati, kata Suparji bisa menjadi harapan agar perilaku koruptif di Indonesia bisa ditekan.

"Harapannya adalah perilaku koruptif menjadi banyak berkurang dan menjadi jalan Indonesia yang bebas dari korupsi," kata Suparji kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat malam (11/12).

Ia berpendapat, tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat sudah tepat karena jumlah yang dikorupsi hampir Rp 16 triliun dan terdakwa menikmati lebih dari Rp 12 triliun.

Apalagi, Kejahatan korupsinya dilakukan dalam jangka waktu yang panjang dan berulang-ulang.

"Terlebih terdakwa tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah. Bahkan dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah," paparnya.

Suparji menilai, tuntutan hukuman mati tersebut juga mengisyaratkan bahwa Jaksa Agung tidak mempunyai kepentingan apapun dalam menangani tindak pidana korupsi selain penegakan hukum yang tegas dan mempunyai arah yang jelas. Yaitu rasa keadilan masyarakat dan kesejahteraan negara.

Ia mengatakan, tuntutan tersebut sudah tepat terlepas dari pro dan kontra mengenai hukuman mati, khususnya terhadap koruptor akibat multitafsir dari Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU 20/2001.

Yakni yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.

"Yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi," jelasnya.

Ia menekankan, tuntutan hukuman mati adalah merupakan tuntutan yang tepat baik dari segi yuridis.

Dari segi sosiologis, tambah Suparji,  jelas hal ini adalah memenuhi rasa keadilan di masyarakat yang mendambakan kehidupan yang bersih dari Korupsi.

"Yang terakhir dari segi filosofis menjawab pertanyaan untuk apa hukum dan penegakan hukum khususnya terhadap perkara korupsi, yaitu untuk menimbulkan efek jera dan negara terlindungi dari perilaku koruptif untuk menciptakan kesejahteraan rakya," pungkas Suparji.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, sebelumnya telah mendakwa tujuh terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri telah merugikan keuangan negara sebesar Rp22,78 triliun.

Heru disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dia juga disangkakan melanggar Pasal 3 UU RI 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Saat ini Heru Hidayat merupakan terpidana kasus korupsi PT Jiwasraya. Ia terbukti melakukan korupsi dengan kerugian negara Rp 16 triliun. [ogi]