Rugikan Negara Rp 46 Miliar, KPK Tahan Dirut PT Amarta Karya Catur Prabowo

Dirut PT Amarta Karya (AK), Catur Prabowo kenakan rompi oranye khas tahanan KPK/RMOL
Dirut PT Amarta Karya (AK), Catur Prabowo kenakan rompi oranye khas tahanan KPK/RMOL

Diduga merugikan keuangan negara mencapai Rp 46 miliar, Direktur Utama (Dirut) PT Amarta Karya (AK), Catur Prabowo (CP) ditahan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT AK (Persero) tahun 2018-2020.


Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam perkara tersebut, yakni Catur Prabowo dan Trisna Sutisna (TS) selaku Direktur Keuangan PT AK.

Untuk tersangka Trisna kata Alex, sebelumnya telah dilakukan upaya paksa penahanan pada Kamis (11/5). Dan saat ini, giliran tersangka Catur yang dilakukan upaya paksa penahanan.

"Dalam rangka kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka tersangka CP untuk 20 hari pertama terhitung 17 Mei 2023 sampai dengan 5 Juni 2023 di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih," ujar Alex kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (17/5).

Alex selanjutnya membeberkan konstruksi perkara ini. Di mana, berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN pada Oktober 2020, Catur diangkat sebagai Direktur Utama PT AK dan Trisna juga diangkat sebagai Direktur Keuangan PT AK Persero.

Selanjutnya sekitar 2017, Catur memerintahkan Trisna dan pejabat di bagian akuntansi PT AK mempersiapkan sejumlah uang yang diperuntukkan bagi kebutuhan pribadi Catur.

"Untuk merealisasikan perintah tersebut, nantinya sumber uang diambil dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT AK Persero," kata Alex.

Kemudian, Catur bersama dengan beberapa staf di PT AK kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang digunakan untuk menerima pembayaran subkontraktor dari PT AK tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya atau fiktif.

Kemudian pada 2018, dibentuk beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT AK, dan hal itu sepenuhnya atas sepengetahuan Catur dan Trisna.

Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor kata Alex, Catur selalu memberikan disposisi “lanjutkan” dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani Trisna.

"Buku rekening bank, kartu ATM dan bongol cek dari badan usaha CV fiktif dipegang oleh staf bagian akuntansi PT AK Persero yang menjadi orang kepercayaan dari tersangka CP dan tersangka TS agar memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP," jelas Alex.

KPK menduga, ada sekitar 60 proyek pengadaan PT AK yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur dan Trisna, yaitu pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun Pulo Jahe, Jakarta Timur; pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta (UNJ); dan pembangunan laboratorium Bio Safety Level 3 Universitas Padjadjaran (Unpad).

"Uang yang diterima tersangka CP dan tersangka TS kemudian diduga antara lain digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf dan juga pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya," terang Alex.

Selain itu kata Alex, ada kebijakan sepihak dari Catur untuk menunjuk salah satu perusahaan asuransi sebagai penyedia layanan Asuransi bagi para karyawan PT AK dengan sumber uangnya dari pembayaran subkontraktor fiktif dan keuangan PT AK.

Bahkan, KPK menduga, istri tersangka Catur sebagai salah satu agen dari perusahaan asuransi tersebut bertindak sebagai supervisor dan mendapatkan fee setiap bulan atas pembayaran premi dari PT AK yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah.

Perbuatan Catur dan Trisna kata Alex, melanggar ketentuan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara; Peraturan Menteri BUMN PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN; dan prosedur PT AK tentang pengadaan barang dan jasa dilingkungan internal PT AK.

Saat ini tim penyidik masih terus menelusuri adanya penerimaan uang maupun aliran sejumlah uang ke berbagai pihak terkait lainnya

"Akibat perbuatan kedua tersangka tersebut, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 46 miliar," pungkas Alex.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.