Refleksi HUT RI Ke-77, Memerdekakan Perempuan Indonesia

Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd
Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd

Bagi kita rakyat Indonesia, Hari Kemerdekaan ke-77 Indonesia ini merefleksikan bagaimana nilai-nilai dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika untuk mempersatukan kita dalam menghadapi tantangan yang ada dan menuntun untuk bersama pulih lebih cepat agar siap menghadapi tantangan global dan bangkit lebih kuat untuk siap membawa Indonesia maju.

Merdeka sejatinya adalah kebebasan untuk menikmati hak dan menjalankan kewajiban, dan sebagai warga negara juga dapat dimaknai dengan membangun, bukan untuk pribadi atau golongan, tetapi membangun untuk kepentingan orang banyak, untuk ummat dan bangsa, sehingga adil dan makmur tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang. 

Pun juga dengan penegakan hukum, berlaku untuk semua kalangan, siapapun dan apapun status sosialnya. Merdeka bukanlah dimaknai bebas tanpa aturan. Merdeka juga bukan berarti semena-mena berkuasa. Tetapi merdeka berarti membangun dengan kekuatan persatuan.

Apa lagi yang harus diperjuangkan saat ini? Cukupkah hanya mengucap syukur karena tidak turut mempertaruhkan nyawa untuk merebut kemerdekaan, atau cukupkah dengan bersyukur karena hidup di negara yang merdeka? Atau, cukupkah hanya berterima kasih dan selalu mendoakan para pahlawan, itupun hanya di doakan saat upacara bendera, atau hanya saat peringatan hari kemerdekaan dan hari Pahlawan.

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, tentu jawaban kita adalah tidak sesederhana itu, sebab kita memahami bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang universal dan hakiki maka perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan harus dihargai dengan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, supaya kemerdekaan itu tetap dimiliki dalam setiap sendi kehidupan.

Sebagai refleksi pada Hari Kemerdekaan RI ke-77 ini, setidaknya menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang masih menjadi perjuangan intensif kita bangsa Indonesia guna mewujudkan bangsa yang berkarakter dan mampu bersaing ditengah persaingan global saat ini. Perjuangan tersebut meliputi penguatan ekonomi rakyat, Pendidikan, Kesehatan dan supremasi hukum.

Selain itu, pada isu-isu social, yang perlu juga menjadi perhatian adalah kekerasan pada perempuan dan anak, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), angka laporan kasus kekerasan terhadap anak tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021. 

Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Sementara itu, angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021.

Bila diperinci, laporan kekerasan terhadap anak terdiri dari kasus kekerasan seksual (45 persen), kekerasan psikis (19 persen), dan kekerasan fisik (18 persen). Adapun perincian kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari kekerasan fisik (39 persen), kekerasan psikis (30 persen), dan kekerasan seksual (12 persen).

Fakta dan data ini tentu membuat kita menyedihkan serta miris, bahwa di era kemerdekaan ini masih ditemukan tindak kekerasan tersebut, kesadaran akan kesetaraan dan perlindungan kepada perempuan ternyata belum sepenuhnya merdeka dari segala penindasan.

Sementara kita mengetahui bahwa dalam perjalanan panjang untuk mencapai Kemerdekaan Indonesia, tidak terlepas dari peran penting perempuan-perempuan Indonesia, yang berjuang mempersembahkan jiwa dan raganya, baik di garis depan maupun garis belakang pertempuran, dan beberhasilan pembangunan manusia dinilai dari terciptanya ruang dan kesempatan yang setara baik perempuan maupun laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan.

Oleh sebab itu, perlu kiranya cara-cara sederhana yang dapat dilakukan bagi penguatan aspek kesetaraan ini, setidaknya pelibatan pendapat perempuan di dalam pembuatan keputusan di dalam rumah tangga, lingkungan bermasyarakat, organisasi, pemerintahan terkecil seperti kepala desa, maupun tempat kerja, jika hal ini dilakukan bersama-sama dan terus menerus, dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat sehingga terbentuk konstruksi sosial yang akan berpihak pada kaum perempuan, tentunya hal ini juga dapat mendegradasi kekerasan pada perempuan.

Meskipun demikian, kita patut apresiasi pada saat ini dalam beberapa bidang telah menunjukkan capaian yang diamanatkan undang-undang bagi peran perempuan, akan tetapi problematika perempuan masih menjadi pekerjaan rumah untuk mencapai tujuan sesuai pembukaan UUD. 

Setidaknya menurut hemat pemulis terbagi pada empat komponen utama, yaitu; Pertama, pemberian perlindungan bagi seluruh bangsa, atas dasar kasus kekerasan perempuan yang kerap kali terjadi, menandakan implementasi terhadap Pasal 28I UUD yang menyatakan hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun belumlah terwujud. 

Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Indikasi ini dapat dilihat dari beberapa indicator, terutama Indeks Pembangunan Manusia (IPM), baik pada bidang kesehatan maupun pendidikan. Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan masih nyata. Potret kemiskinan sangat lekat dengan perempuan. Bahkan kemiskinan yang dialami keluarga dengan kepala keluarga perempuan kondisinya lebih buruk dibandingkan kepala keluarga laki-laki. 

Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tingginya angka putus sekolah perempuan memperlihatkan capaian ini masih menyimpan sejumlah catatan. Angka putus sekolah adalah perbandingan antara jumlah pelajar yang putus sekolah dan total pelajar pada tingkat yang sama di tahun sebelumnya. Ini pula yang menjadi salah satu penyebab tingginya kasus pernikahan di bawah umur yanag semakin marak terjadi. 

Keempat, melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kondisi keamanan dunia masih menjadi tantangan. Hingga kini, Indonesia masih berupaya untuk memiliki kontribusi dalam perdamaian dunia. Minimnya perempuan untuk terlibat dan fokus pada pembicaraan damai menimbulkan kerentanan dalam aksi bom bunuh diri serta terorisme.

Empat hal tersebut menunjukkan bahwa ternyata perempuan belumlah benar-benar merdeka. Kini, sudah saatnya perempuan melakukan pergerakan lebih massif sampai dengan akar rumput (grass root) dalam segala hal agar lebih berdaya dan punya daya saing yang tinggi. 

Penulis : Kepala Bidang Data dan PUG Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Provinsi Bengkulu.