Ratibul Haddad, Ritual Tolak Wabah Corona Ala Desa Sungai Gerong

Tampak warga memegang suluh atau obor mengelilingi Desa Sungai Gerong/RMOLBengkulu
Tampak warga memegang suluh atau obor mengelilingi Desa Sungai Gerong/RMOLBengkulu

Sekitar 150 orang berkumpul bakda Isya di Desa Sungai Gerong, Kecamatan Amen, Kabupaten Lebong, Sabtu (24/7) malam. Sebuah hajatan Ratibul Haddad sedang disiapkan, ritual tolak bala wabah virus corona atau Covid-19.


Lelaki tua dan muda serta anak-anak membentuk barisan. Beberapa memegang suluh atau obor, kertas doa dibagikan untuk melafazkan kalimat "Ia ilaha illallah".

Imam Masjid, Haji Halidi (70) memberi petunjuk dari pengeras suara. “Sambil berjalan keliling kampung, tetap menjaga jarak, jangan berdekatan,” katanya, tadi malam Sabtu (24/7).

Tak lama kemudian, seorang tetua memimpin di depan. Perlahan para peserta laiknya pawai berjalan perlahan untuk keliling kampung, lumayan berdekatan dan sebagian menjaga jarak di belakang. Doa-doa dilantunkan, sesekali rombongan berhenti dan muazin tampil mengumandangkan kalimat "Ia ilaha illallah".

Berjalan keliling sekitar 2,5 kilometer, mereka kembali lagi ke Masjid. Haji Halidi memberi tausiah.

Kades Sungai Gerong, Hesdianto Eko Mareja, mengatakan, Ratibul Haddad merupakan amalan yang berisi doa dan dzikir yang disusun oleh pemukau agama desa setempat.

Menurutnya, semua wabah dan penyakit yang muncul adalah kehendak Allah dan ada saham manusia di dalamnya. Oleh karena itu sudah sepatutnya, manusia meminta ampunan dan pertolongan hanya kepada-Nya.

"Sebelum keliling, ada 19 amalan yang dibacakan di masjid, dan lanjut dzikir," jelas Magister Pertanian asal Universitas Bengkulu tersebut.

Persiapan ritual telah dilakukan dua hari sebelumnya melalui rapat perangkat desa, tokoh agama, dan tokoh adat. Seluruh masyarakat diimbau berpartisipasi, seluruh warung dan kedai diminta tutup selama ritual berlangsung.

Setiap warga juga diminta mengelar tradisi bakar daun yang terdiri dari Daun Rimput Belanda, daun Sungkai dan Daun Serai. Ketiga daun itu dibakar setelah salat Azhar hingga Maghrib. Masyarakat percaya sebagai cara tolak bala, agar terhindar dari virus corona lewat udara.

Data Pemdes Sungai Gerong, tidak ada satupun warganya meninggal karena corona. Namun, ritual ini sudah menjadi tradisi sejak ratusan tahun di Lebong, jika ada wabah penyakit maupun marabahaya lainnya. 

"Kalau warga kita tidak ada (meninggal) karena corona. Tapi, kita do'akan jangan sampai terjadi," ungkapnya.

Meski tak sepenuhnya dapat dibuktikan dengan logika, namun Eko memilih ikut melestarikan tradisi turun-temurun itu. Sebab, gerakan sederhana tersebut merupakan bentuk kearifan lokal dan mengingat kepada sang pencipta.

“Ini bagian dari ikhtiar bathin sebagai peringatan kesiapsiagaan untuk mencegah wabah apapun termasuk corona,” katanya lagi.

Sementara itu, salah seorang warga Sungai Gerong, Aan sapei (42), mengakui pada tahun 90-an, hal serupa pernah dipraktikkan di sana.

“Dulu ada wabah seperti cacar yang setiap hari memakan korban, warga juga menggelar ritual ini,” singkatnya.