Petani Terancam Gagal Panen Disinyalir Akibat Belerang

RMOL. Sedikitnya tercatat 300 hektar area (Ha) sawah milik masyarakat di Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong, dikhawatirkan terancam gagal panen pada musim tanam mendatang. Sebab, air belerang yang berasal dari Hulu DAS Air Kotok, kini di klaim telah masuk ke sawah milik masyarakat di wilayah tersebut.


RMOL. Sedikitnya tercatat 300 hektar area (Ha) sawah milik masyarakat di Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong, dikhawatirkan terancam gagal panen pada musim tanam mendatang. Sebab, air belerang yang berasal dari Hulu DAS Air Kotok, kini di klaim telah masuk ke sawah milik masyarakat di wilayah tersebut.

Kepala Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, Yuswan Edi, kepada RMOL Bengkulu, Minggu (10/12/2017) membenarkan, diduga hal itu dampak sisa- sisa longsor berasal dari Klaster A PT PGE Proyek Hulu Lais pada 2016 lalu dan hingga sampai sekarang belum dilakukan normalisasi oleh perusahaan.

"Tidak hanya sawah, kalau tidak percaya, bisa di kroscek sendiri di lapangan, saat ini banyak masyarakat tidak bisa membuka usaha kolam ikan, karena banyak ikan yang mati kena belerang," ujar Yuswan Edi.

Selanjutnya, tambah Edi, pasca banjir yang melanda Lebong pada tanggal 23 November lalu. Satu diantara Dua DAM (Pematang) sebagai penahan DAS Air Kotok yang diandalkan para petani di wilayah Kecamatan Bingin Kuning, kini malah jebol.

"Perlu di ketahui, DAM ini berfungsi untuk menahan debit air yang menghubungkan beberapa muara sungai kecil di empat kecamatan lainnya, sebagai aliran irigasi persawahan masyarakat. Kalau hanya tinggal satu DAM lagi, tidak menutup kemungkinan dampaknya bakal lebih besar lagi,” tambah Edi.

Tak hanya itu, kekecewaannya kembali tertuju kepada aktivitas pengeboran PT PGE Proyek Hulu Lais. Menurutnya, air belerang tersebut diduga berasal dari aktifitas pengeboran panas bumi.

"Boro- boro untuk melakukan normalisasi, ganti rugi gagal panen dulu saja hanya di kasih sekitar 50 sampai 100 ribu saja. Harapan kita kedepannya, pihak perusahaan punya solusi untuk melakukan normalisai dan membangun DAM  baru,” tutup Edi.

Terpisah, Pimpinan Proyek (Pimpro) PT PGE Proyek Hulu Lais, Hasan Basri membantah kehadiran PGE berdampak terhadap aktifitas masyarakat. Bahkan, dirinya sendiri mengungkapkan, sejak 20 November lalu PGE telah menggandeng Badan Pengawas Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Provinsi Bengkulu, untuk melakukan reboisasi di sekitar Wilayah Kerja Perusahaan (WKP) PGE maupun disepanjang DAS Air Kotok dengan target mencapai 113 hektar.

"Memang benar telah kita laksanakan reboisasi dan saat ini sedang berlangsung. Semua lokasi sudah di tentukan oleh BPDAS Bengkulu. Tak hanya di Lebong, reboisasi juga kita lakukan di luar daerah, seperti Sumatera Selatan dan Lampung,” singkat Hasan.

Bertolak belakang dengan Kordinator Daerah (Korda) Komunitas  Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Bengkulu, Nurkholis Sastro. Dirinya sendiri malah mempertanyakan bukti fisik maupun lokasi titik- titik reboisasi yang tengah dikerjakan oleh PGE sejak 20 November 2017 lalu.

"Satu pohon saja setidaknya butuh waktu 25 menit untuk mencangkul hingga nanamnya.  Kalau pun 1 orang yang nanam 25 pohon, artinya mereka  membutuhkan waktu 8 jam untuk menyelesaikannya. Dengan catatan, tidak menanam asal- asalan. Makanya saya tanyakan, mana bukti fisik yang mereka telah tanam tersebut. Apalagi, butuh bertahun- tahun menunggu pohon itu tumbuh,” tegas Sastro.

Meskipun demikian, kata Sastro, tidak akan menghambat niatnya untuk segera menyurati Pemprov Bengkulu, terkait perlakuan lingkungan oleh PGE belakangan ini di tengah masyarakat.

"Sampai saat ini kita telah menyusun semua data kerugian masyarakat. Kalau tidak ada kendala, dalam waktu dekat akan kita sampaikan dengan Pemprov maupun Pemkab Lebong," tutup Sastro. [nat]