Perempuan Taliban Dilarang Kuliah, 60 Persen Profesor Pengajar Kampus Kompak Mengundurkan Diri

Foto/Repro
Foto/Repro

Aparat Taliban nampak berjaga-jaga di pintu masuk sebuah universitas di Kabul, menghalangi langkah beberapa mahasiswi yang datang pagi itu.


Semenjak pemerintah Taliban menetapkan larangan sekolah bagi mahasiswa perempuan, penjagaan di jalan-jalan dan di pintu masuk kampus nampak semakin intens. Seorang mahasiswi mengaku terkejut. Dia tahu soal larangan itu, tetapi tidak mengira bahwa itu akan benar-benar terjadi, dan hari itu dia tidak bisa menginjakkan lagi kakinya di kampus, tempat ia menempuh cita-citanya.

Wajahnya pucat, sedih, dan hampir menangis.

Pada Jumat (23/12), mahasiswi mulai mengosongkan asramanya. Aparat Taliban mulai mengawasi asrama, memastikan bahwa semua mahasiswi telah pergi.

Sehari sebelumnya, jalan-jalan di kota Kabul diramaikan dengan aksi pengunjuk rasa dalam jumlah kecil yang memprotes larangan pendidikan bagi mahasiswa perempuan. Bahkan, puluhan mahasiswa laki-laki dan beberapa pengajar ikut meninggalkan kelas untuk bergaung dalam aksi protes.

Mereka menunjukkan solidarisnya terhadap penderitaan mahasiswi yang dipaksa meninggalkan pendidikannya.

Obaidullah Wardak, seorang profesor di Universitas Kabul menyatakan ia akan berhenti mengajar sebagai bentuk protesnya. Menurutnya, larangan pendidikan perempuan “tidak adil dan tidak bermoral.”

"Saya tidak ingin terus bekerja di suatu tempat di mana ada diskriminasi terorganisir terhadap gadis-gadis lugu dan berbakat di negara ini oleh mereka yang berkuasa," katanya dengan marah.

Yang mengejutkan baginya adalah pernyataan Menteri Pendidikan Taliban  yang menyatakan bahwa saat ini banyak mahasiswi yang pergike kampus dengan tidak mengenakan jilbab dengan benar. Mahasiswi banyak yang mengejar mata pelajaran sains yang tidak sesuai dengan “ budaya Afghanistan ”, katanya.

"Kami mengatakan kepada gadis-gadis untuk memiliki jilbab yang tepat tetapi mereka tidak melakukannya dan mereka mengenakan gaun seperti mereka akan pergi ke upacara pernikahan," kata Menteri Pendidikan Nida Mohammad Nadim, seperti dikutip dari Independent.

Menurut Nadim, anak-anak perempuan boleh saja belajar pertanian dan teknik, tapi ternyata itu tidak sesuai dengan budaya Afghanistan. Anak perempuan harus belajar, tetapi tidak di daerah yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afghanistan. Pemahaman utama para pemberontak tentang Islam adalah aliran Deobandi, yang dikenal sebagai varian dari Islam Hanafi yang didirikan pada pertengahan abad ke-19.

Larang perempuan dari perguruan tinggi akan ditelaah kembali, tetapi saat ini larangan itu berlaku sampai ada keputusan final.

Saat ini, sekitar 60 profesor yang bekerja di berbagai universitas telah mengundurkan diri dari pekerjaan mereka sebagai pengajar. Mereka menyatakan tidak ingin mendukung ketidakadilan  bagi perempuan di negara itu.

Sampai saat ini, Jumat (23/12), tentara Taliban terlihat terus mengawasi di sekitar universitas dan tidak mengizinkan orang-orang  berkumpul untuk mencegah keributan.