Pepsi dan Coca Cola Terancam Kekurangan Pasokan Bahan Baku Akibat Konflik

Getah arab pada pohon akasia di kota El-Nahud di Sudan barat/Net
Getah arab pada pohon akasia di kota El-Nahud di Sudan barat/Net

Konflik di Sudan membuat perusahaan minuman bersoda seperti Coca-Cola dan Pepsi, ketar-ketir. Pasalnya, konflik berminggu-minggu itu berimbas pasokan salah satu bahan pokok dalam produksi mereka, yaitu gum.


Sudan adalah produsen gum atau permen karet arab terbesar di dunia, bahan utama dalam segala hal mulai dari minuman bersoda, permen, kosmetik, dan juga digunakan dalam industri farmasi.

Sekitar 70 persen pasokan gum berasal dari pohon akasia di wilayah Sahel, yang melintasi negara terbesar ketiga di Afrika, yang terbelah oleh pertempuran antara tentara dan pasukan paramiliter.

Dua belas eksportir, pemasok, dan distributor, mengatakan bahwa perdagangan gum telah dihentikan menyusul konflik berminggu-minggu di Sudan.

Konsumen asing telah berebut untuk mengisi kembali pasokan gum, salah satu barang yang paling dicari di negara itu.

Waspada terhadap ketidakamanan Sudan yang terus-menerus, perusahaan yang bergantung pada permen karet arab seperti Coca Cola dan Pepsico, telah lama menimbun persediaan, bahkan beberapa di antaranya menyimpan antara tiga hingga enam bulan untuk menghindari kekurangan.

Manajer pengadaan di Kerry Group, Richard Finnegan, pemasok permen karet arab untuk sebagian besar perusahaan makanan dan minuman, mengatakan akan sulit mendapatkan barang-barang di rak toko jika konflik di Sudan belum mereda.

Finnegan memperkirakan stok saat ini akan habis dalam lima hingga enam bulan, pandangan yang digaungkan oleh Martijn Bergkamp, mitra pemasok Belanda FOGA Gum yang memperkirakan antara tiga hingga enam bulan.

Sementara Mohamad Alnoor, yang mengelola Gum Arabic USA, mengatakan, "tidak mungkin" untuk mendapatkan tambahan gum arab dari bagian pedesaan Sudan untuk saat ini, karena kekacauan dan penutupan jalan.

Kerusuhan di Sudan terjadi setelah dua jenderal berselisih karena kesepakatan baru-baru ini yang ditengahi secara internasional dengan para aktivis demokrasi, yang dimaksudkan untuk menggabungkan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter ke dalam militer dan akhirnya mengarah pada pemerintahan sipil.

Pada 2019, otokrat Islam Omar al Bashir digulingkan dalam pemberontakan rakyat. Tentara dan RSF kemudian bersama-sama melakukan kudeta militer tahun 2021.

Pada 15 April, terjadi aksi penembakan antara dua kubu yang kemudian menjadi pemicu konflik Sudan hingga saat ini.