Pasca OTT di Lebong, Penyidik Diminta Melebar

Kriminolog Universitas Bengkulu, Dr. (c) Yagie Sagita Putra/Ist
Kriminolog Universitas Bengkulu, Dr. (c) Yagie Sagita Putra/Ist

Kriminolog Universitas Bengkulu, Dr. (c) Yagie Sagita Putra, angkat bicara operasi tangkap tangan (OTT) pria berinisial, AM (37) warga Kelurahan Tes, dan SP (47) warga Kelurahan Taba Anyar terhadap PT Surya Mataram Sakti (SMS), subcon PT Ketahun Hidro Energi (KHE).


Sebab, ia menduga ada korban lain dalam modus yang sama di instansi lain. "Dalam pekara ini saya mengusulkan kepada penyidik tidak hanya fokus pada pelaku perorangan. Tapi ke lembaga lain," ujarnya.

Dalam hal ini, pemerasan dalam terminologi hukum pidana merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan guna memberikan keuntungan pribadi bagi diri seseorang atau orang lain dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum.

Terlebih lagi dilakukan dengan pemaksaan disertai ancaman kekerasan kepada orang yang dituju dengan tujuan agar orang yang dipaksa tersebut memberikan barang kepunyaannya yang dimiliki atau kepunyaan orang lain ataupun agar membuat utang atau menghapuskan piutang dengan cara memeras.

Pemerasan (Belanda: afpersing; Inggris: blackmail), adalah satu jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia.

Spesifik tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP, dalam struktur KUHP tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab (Bab XXIII) bersama tindak pidana pengancaman, karena itu kata afpersing sering digabung dengan kata afdreiging yang diatur pasal 369 KUHP.

Hal tersebut dimaksudkan agar penyidik dapat melakukan pembuktian dengan mekanisme berjenjang sehingga dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Dalam perkembangannya para kriminolog melihat pemerasan sudah mulai berkembang tidak hanya orang perorangan yang menjadi subjek kejahatan namun Corporate juga telah menjadi target pelaku. 

Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengembalikan kembali peran lembaga sebagai pilar civil society yang dapat dilakukan melalui reposisi internal dan eksternal.

"Dari hasil beberapa penelitian, kriminolog mengungkapkan bahwa distorsi peran lembaga terjadi karena beberapa faktor yaitu: adanya motif mencari keuntungan, ketiadaan sumber dana dan rendahnya profesionalisme, latar belakang profesi aktivis yang beraneka ragam, konsep idelogi yang tidak jelas serta regulasi yang terlalu longgar (tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas terhadap peran dan tugas lembaga)," pungkasnya.