Milenial dan Gen Z Menagih Tanggung Jawab Generasi X (1998)

Penulis adalah Ketua Umum Korps Muda Kerakyatan (KOMRA), Arvindo Noviar/Net
Penulis adalah Ketua Umum Korps Muda Kerakyatan (KOMRA), Arvindo Noviar/Net

MENYIMAK percakapan publik mengenai pilpres 2024 yang jumud, saya sebagai pemuda yang memimpikan suatu hari Indonesia menjadi salah satu dari empat negara adidaya dan adikuasa menjadi kian geram. Yang utamanya disebabkan oleh pola kaderisasi kepemimpinan yang mandek.

Para generasi baby boomers tak puas-puasnya memonopoli percaturan politik Indonesia. Padahal kita ketahui bersama Indonesia pernah mengalami proses transisi dari rezim otoriter ke demokrasi. Kendati pada perjalanannya demokrasi tergelincir menjadi kian liberal, tetapi fakta bahwa revolusi 1998 yang baru separuh itu dipelopori oleh generasi X tidak bisa ditolak. Ya, generasi X, bukan boomers!

Kompleksitas akut bangsa di hari ini menjadi tanggung jawab para pemuda 1998 (generasi X), mereka yang berjibaku merevolusi rezim otoriter Soeharto, walau sayangnya revolusi itu tidak dilakukan secara komprehenesif dan holistik. Pemuda progresif revolusioner itu terjebak euforia semu sehingga tanpa sadar energi revolusi yang meledak-ledak itu dibajak oleh para bablasan orde baru yang kemudian memplesetkan gerakan progresif revolusioner itu menjadi reformasi.

Ya, reformis-reformis gadungan bablasan orde baru itulah yang kian memperosokan Indonesia ke bibir jurang kehancuran dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002 yang secara derivatif melahirkan ratusan UU yang mengarahkan republik ini ke dalam jebakan mekanisme pasar bebas.

Padahal melarung Indonesia ke lautan neo-liberalisme adalah sikap yang sangat diharamkan oleh para founding fathers kita.

Entahlah, sampai hari ini saya masih tidak bisa menerka-nerka dengan akurat mengapa para pejuang progresif revolusioner itu membiarkan Indonesia dikuasai oleh para reformis.

Padahal jika kita membaca sekali lagi pidato Bung Karno yang berjudul: Penemuan Kembali Revolusi Kita (1959), kita akan sadar bahwa reformasi berdiri diametral dengan revolusi; kontra-revolusioner.

“….di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan golongan-golongan yang non-revolusioner: golongan-golongan blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif, golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan cucunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan jiwa revolusi ini, meninggalkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai alat-perjoangan!”, Bung Karno dalam pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (1959).

Pidato itu menyiratkan pesan yang begitu dramatis. Reformasi adalah jalan sesat. Hari ini tata kelola negara makin menjauh dari cita-cita proklamasi. Demokrasi menjelma menjadi plutokrasi. Kepemimpinan nasional hari ini diisi oleh para pedagang. Oligarki yang dahulu hanya bersembunyi dibalik layar kini secara terang-terangan terjun langsung menjadi para pelaku politik guna menyandera kekuasaan.

Bukankah dominasi ekonomi yang bersatu dengan dominasi kekuasan akan melahirkan tirani tanpa batas? 

Tetapi kita tidak boleh hanya menggerutu sepanjang hidup. Mengkoversi keluh kesah menjadi perjuangan adalah sikap seorang ksatria. Sebab saya melihat dari ruang-ruang gelap ada beberapa nama yang masih bisa kita tagih pertanggung-jawabannya. Sebut saja Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, Anas Urbaningrum dan beberapa nama lagi.

Saya bersama para milenial dan gen Z akan secara serius menuntut pemuda-pemuda era 1998 untuk menuntaskan perjuangan mereka. Kami generasi milenial dan generasi Z akan mewakafkan diri kami kepada siapapun tokoh pemuda 1998 yang berani melangkahkan kaki ke istana. Karena kompleksitas akut negara ini hanya bisa diurai melalui manajemen puncak. 

Wahai Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, Anas Urbaningrum atau siapapun generasi X yang ikut menggulirkan 1998, jika ternyata hari ini api perjuangan kalian telah redup karena tergerus usia sehingga terninabobokan zaman dan berubah menjadi manusia-manusia kompromis-reformis.

Maka, jika pada saatnya kekuasaan jatuh pada kami kaum milenial dan Gen Z kelak, jangan salahkan kami jika kami akan kembali mengaktifkan pulau buru dan mengantarkan kalian serta para reformis bablasan orde baru ke sana sebagai destinasi wisata terakhir kalian. 

Tabik.

Penulis adalah Ketua Umum Korps Muda Kerakyatan (KOMRA)