Menyelisik Pusat Mafia Minyak Goreng

Ilustrasi minyak goreng curah/Net
Ilustrasi minyak goreng curah/Net

MENJELANG bulan suci Ramadhan,  para emak, alias kaum ibu rumah tangga, masih digelantungi persoalan ketersediaan dan harga minyak goreng. Janji Menteri Perdagangan Muhamamad Lutfi untuk menyediakan stok minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan pemerinah dalam jumlah memadai dan mencukupi, sekaligus tekad memberantas “mafia” minyak goreng, masih menjadi angan-angan, dan bahkan menjadi banyak bahan olok-olok di media sosial.

Apalagi, ketika pihak kepolisian menegaskan, instansinya belum menemukan adanya “mafia” minyak goreng, kegaduhan terdengar lebih seru.

Sebenarnya, sebelum Lutfi mengumumkan adanya HET, lalu lintas perdagangan minyak goreng relatif berlangsung “stabil dan normal.”  Tak ada gejolak. Tak ada kelangkaan masif terhadap minyak goreng curah, minyak goreng murah atau minyak goreng bersubsidi. Kalau pun ada kekurangan stok, hanyalah bersifat lokal dan situasional. Harganya kalau pun dijumpai adanya yang naik, cuma bagian dari pasang surut mekanisme pasar.

Sebaliknya, begitu Lutfi mengumandangkan ada HET minyak goreng produk-produk tertentu, yakni minyak goreng bersusidi dan dikatagorikan sebagai “minyak goreng murah,” justru terjadilah kekisruhan. Apalagi lantas setelah ada ketentuan, satu orang hanya boleh membeli satu plastik (ukuran dua liter) minyak goreng setiap harinya.

Kehebohan lebih besar tak dapat dihindar. Jenis minyak goreng itu menjadi langka, harganya ikut terbang, dan pemerintah cq Kementeriaan  Perdagangan seperti kehilangan “kendali” terhadap persoalan persediaan dan harga minyak goreng. Darisana lahirlah tudingan adanya “mafia minyak goreng.”

Kenapa hal itu dapat terjadi? Ada dua sifat alasan. Pertama, lantaran alasan prinsipil atau filosofis mekanisme pasar. Kedua, lantaran alasan teknis.

Alasan Filosofis

Alasan pertama, secara prinsipil atau filosofis sudah sejak awal tidak jelas mengapa kebijakan HET itu ditempuh, setidaknya bagi masyarakat umum. Apalagi ditambah kemudian satu orang hanya boleh beli satu plastik. Apakah kebijakan tersebut tujuannya benar-benar  untuk memberikan rakyat subsidi dan atau memberikan rakyat harga minyak goreng yang murah?

Kalau mau memberikan subsidi kepada rakyat, menjadi pertanyaaan awal, kenapa pembelian minyak goreng oleh rakyat dibatasi? Ini menciptakn citra, pemerintah memang kekurangan minyak goreng subsidi buat rakyat.

Pada tingkat penentuan harga, muncul pertanyaan, dari mana asal minyak goreng yang mau dijual subsidi itu? Siapakah produsen atau pabrik-pabrik dari minyak goreng bersubsidi? Siapakah vendor atau rekanan pabrik penghasil minyak goreng tersebut? Lantas berapa harga dari vendor-vendor pabrik itu, dan berapa selisih margin dengan HET yang berlaku di pasar? Kalau dari pabrik ke pasar ada distributor, berapa pula bagian dari distributor ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu selama ini tidak atau belum terungkap, apalagi menjadi jelas. Padahal rakyat perlu mengetahui persoalan ini secara terang benderang. Kita pastilah belum melupakan kasus paket sembako untuk rakyat dengan maksud mengentaskan kemiskinan yang didistribusikan melalui Kementerian Sosial.

Dari harga paket resmi, para penyaluran ternyata memperoleh bati atau cuan atau keuntungan. Itu pun dengan catatan, tiap paket masih dikutip lagi oleh pejabat yang bersangkutan. Walhasil, sebenarnya, harga paket yang disalurkan ke rakyat, bukanlah sebagaimana tertera atau diumumkan ke publik, tapi sudah disedot berbagai pihak.

Tanpa diiringi rasa curiga, tapi sekedar sikap skeptis, terkait kelangkaan dan harga minyak goreng, kita dapat bertanya, apakah HET minyak goreng itu sudah merupakan harga riel atau harga termurah untuk minyak goreng “subsidi,” ataukah juga sudah melalui berbagai kutipan dan punggutan-punggutan seperti paket sembago di Kementerian Sosial tempo hari?

Kalau tidak ada pelbagai biaya siluman, berapa sebenarnya keuntungan produsen atau pabrik minyak goreng dibanding dengan dari HET? Apakah HET itu sudah “normal” atau masih tetap dapat ditekan lebih rendah lagi, sehingga benar-benar harga yang meringankan rakyat? 

Apakah mungkin sesungguhnya HET itu sejatinya sudah termasuk berbagai kutipan dan potongan, termasuk kemungkinan yang dilakukan para pejabat kementerian terkait, sebagaimana pernah terjadi pada kementerian sosial?

Misal, sekali lagi misalnya lho, ada pejabat meminta komisi dari jatah yang diberikan kepada vendor pabrikan atau produsen minyak goreng, dan atau distributornya, karena produksi mereka pasti terbeli dan dibeli dengan harga oleh pemerintah melalui skema harga subsidi.

Ringkasnya, berapa pun yang dihasilkan pabrik minyak goreng atau produsen, tak usah repot-repot pasang iklan dan terlibat persaingan, pasti dibeli oleh pemerintah. Pasti dibayar pemerintah. Tinggal hitung saja, berapa produksinya dikalikan harga dasar dari pemerintah. Kemungkinan besar coannya berbilang triliunan. Dengan kata lain, pabrik memperoleh jaminan kepastin keuntungan. Ada subsidi dari negara yang jumlahnya kita pun belum faham.

Nah dari keuntungan inilah sebagian dapat dikutip sebagai fee.

Begitu juta distributor. Dari penjualan yang sudah pasti, mereka tinggal menghitung coannya. Nah terhadap penunjukan distributor juga boleh jadi ada “harganya,” termasuk potongan-potongan atau fee.

Kalau ini terjadi, tinggal hitung saja berapa jumlah yang ditanggok atawa diterima para pejabat yang terlibat dalam mekanisme subsidi minyak goreng. Pastilah geddeee bange.

Dari alasan prinsipil ini masih dapat diuraiakan beberapa pertanyaan mendasar lagi, namun satu persoalan prinsipil atau filosofis itu  saja yang segera perlu dijawab lebih dulu.

Alasan Teknis

Alasan kedua, alasan teknis. Para mahasiswa ekonomi tingkat awal juga sudah faham, pasar memikiki berbagai sifat atau karakter sendiri, seperti pasar elastis dan sebagainya. Masing-masing sifat atau karater pasar itu berbeda-beda dan memberikan dampak yang berbeda pula.

Misal, kalau ada jenis barang yang sama tetapi terdapat disparitas (perbedaan) harga barang dari satu tempat ke tempat lain, ada kecendrungan terjadi penyelundupan barang dari tempat yang harga  barang murah ke tempat yang harga barang lebih mahal. Begitu jug di tempat yang harga barangnya lebih mahal, dapat terjadi “monopoli” atau “oligopoli” harga pasar.      

Nah, manakala pasar sedang stabil, diguyur dan diumumkan secara terbuka adanya minyak  goreng murah bersubsidi, pasar tentu “bergoyang.” Apalagi setelah ada ketentuan satu orang hanya boleh membeli satu pack saja setiap harinya. Mau tidak mau, terjadi “serbuan mendadak” oleh konsumen, khsususnya ibu-ibu.

Sementara itu agen bakal menjaga stock barang (minyak goreng) sesuai perhitungan keuntungan mereka. Di lain pihak, pastilah ada pihak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari untung dengan mengubah kemasan minyak goreng subsidi menjadi minyak goreng merek lain, tentu dengan harga yang lebih mahal. Begitulah memang secara teoritis perilaku pasar.

Disinilah muncul sejumlah pertanyaan soal kelangkaaan dan harga minyak goreng secara teknis. Kenapa kalau mau benar-benar membantu rakyat, hak rakyat untuk membeli dibatasi. Pembatasan ini sudah pasti otomatis dari sifat dan karakter pasar bakal membuat pasar “bergoyang.” Psikologi konsumen seakan diarahkan untuk khawatir minyak goreng bakal menjadi langka dan akan mahal, sehingga berlomba-lombalah emak-enak memburu minyak goreng.  

Lain misalnya, kalau sebelumnya tegas dinyatakan “berapa pun minyak goreng (bersusidi) yang dibutukan oleh rakyat, akan tersedia.” Rakyat boleh membeli sesuai kebutuhan mereka. Sedangkan untuk segmen keluarga yang lebih mampu, juga tersedia melimpah minyak goreng yang berkualitas lebih tinggi, dan tentu harga lebih mahal. Masyarakat boleh memilih. Seperti bensin subsidi. Maka rakyat tak akan panik. Tidak akan ada psikologis ketakutan kehabisan  minyak goreng murah seperti kiwari.

Telah Diperhitungkan atau Belum?

Apakah histeria ketakutan kekurangan minyak goreng murah sudah diperhitungkan para pembuat kebijakan HET minyak goreng, atau belum? Harusnya secara elementer mereka sudah faham. Sudah harus katam dengan fenomena semacam ini. Pertanyaaanya: kenapa hal ini masih tetap dibiarkan terjadi?

Ada dua kemungkinan. Ketika kebijakan soal HET dan pembatasan pembelian minyak goreng hendak dilaksanakan, Kementerian Perdagangan tidak atau belum melaksanakan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan secara memadai. Kesannya, mereka  masih menganut ajaran pengambilan keputusan “top down” alias dari atas ke bawah. Dengan asumsi kementerian punya ototis dalam mengambil kebijakaan soal ini, semuanya bakal nurut.

Padahal, ini menyangkut kebutuhan pokok yang semsitif dan melibatkan banyak pihak. Tanpa sosialisasi yang benar-benar cukup, reaksi pasar, khsususnya emak-emak, pastilah muncul panik buying alias kepanikan untuk membeli minyak goreng seperti sekarang, dan reaksi itu sejatunya menjadi sesuai yang wajar terjadi.

Alasan kedua, semoga ini bukan alasan yang sesungguhnya: para pejabat pengambil keputusan sebenarnya sudah sangat mahfum reaksi ini pasti terjadi, dan justru inilah yang mereka harapkan.

Dengan begitu, mereka dapat lebih menyakinkan pabrik-pabrik atau produsen penghasil minyak goreng untuk lebih terikat dalam konspirasi pemberian jatah dan fee. Kepanikan membeli minyak goreng  menjadi bukti nyata para pengambil keputusan kepada para pabrik atau produsen minyak goreng.

Singkatnya, kebutuhan minyak goreng subsidi meninggkat, dan itu artinya jaminan bagi pabrik atau produsen adanya pembelian tetap besar-besaran, ada coan pasti yang tinggal menanggok. Para agen besar atau distributor juga demikian. Peningkatan jumlah minyak goreng yang didistribusikan akan semakin membengkak, dan itu pertanda pundi-pundi keuntungan semakin penuh.

Tak ada makan siang gratis. Jatah keuntunga besar pabrik tentu perlu dibagi-bagi. Pejabat yang menciptakan keuntungan itu perlu diberi jatah. Perlu dikasih komisi. Begitu juga aliran keuntungan untuk distributor atau agen besar perlu disalurkan ke pemberi jatah dalam bentuk fee atau potongan.

Manakala jelang Ramadhan histeria kepanikan kelangkaan dan harga minyak goreng  semakin besar, fenomena itu ditangkap sebagai kekuatan transaksional antara para pejabat dan pihak yang berkepentingan dengan penyediaan serta mengatur harga minyak goreng murah atau bersubsidi.

Penyelisikan dari Episentrum

Mana jawaban yang benar dari semua pertanyaan-pertanyaan soal kelanggkaan dan harga minyak goreng murah atau bersubsidi, tentu memerlukan penyelisikan mendalam lebih dahulu. Sebelum penyelisikan sampai ke hilir atau di lapangan, lebih efekti dan efisien jika penyelisikan dilakukan justru pada tingkat hulunya dulu, yakni ke lembaga yang punya otoritas membuat kebijakan soal harga dan jatah minyak goreng. Disinilah episentrum mula-mula digebahnya persoalan kelangkaan dan harga minyak goreng murah bersubsudi.

Jika keruwetan yang ada di episentrumnya sudah dapat dipetakan, penguraian persoalan ke bawahnya akan lebih terurut dan mudah. Kalau

perlu ini menjadi celah pintu masuk dari aparat hukum menentukan apakah ada “mafia minyak goreng” dan di mana keberadaan mafia tersebut.

Sesuai dengan namanya, pastilah mekanisme kerja “mafia” selain tertata rapi, pengalaman juga mengajarkan “mafia” melibatkan banyak pihak penting. 

*Penulis adalah wartawan senior