Menimbang Ulang Wacana Kampanye di Kampus

M. Noor Harisudin/Net
M. Noor Harisudin/Net

TIDAK lama lagi, rakyat Indonesia akan menghadapi Pemilu  yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2024 nanti. Pemilu adalah pesta rakyat yang menjadi media perpindahan kekuasaan pemerintahan berlangsung secara demokratis.

Sebagaimana maklum, Pemilu dua tahun lagi ini akan membutuhkan tenaga ekstra dan persiapan yang lebih matang agar menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Diantara persiapan yang urgen adalah peningkatan tingkat partisipasi publik dalam pemilu sebagai bentuk pengawalan demokrasi yang berkualitas.

Salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi publik dalam Pemilu adalah dengan melakukan sosialisasi secara masif. Termasuk sosialisasi yang selama ini dianggap tabu dan dilarang, yaitu sosialisasi atau kampanye di kampus atau perguruan tinggi. Wacana kampanye di kampus dikemukakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy`ari.  Ketua KPU asal Kudus ini mengusulkan agar perguruan tinggi dapat menjadi salah satu medan kampanye para peserta pemilihan umum.

Menurut Hasyim, kampanye di kampus sesungguhnya diperbolehkan, sebagaimana penjelasan Pasal 280 ayat 1 point H Undang-undang Pemilu Tahun 2017.

“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan ”.

Penjelasan ini penting dibuka sebagai syarah atas Pasal 280 ayat 1 Undang-undang Pemilu Tahun 2017. Dalam pasal tersebut dijelaskan: “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.

Larangan dalam Pasal 280 ayat 1 ini seharusnya dibaca kembali dengan penjelasannya sekaligus agar kita tidak salah memahami larangan kampanye di kampus. Sebaliknya, –jika melihat pasal 280  ayat 1 dan penjelasannya—, kampanye di kampus diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana berikut:

Pertama, kampanye di perguruan tinggi diperbolehkan jika para peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Kampus dalam hal ini harus bersifat netral dan tidak partisan. Oleh karena itu, persyaratan ‘tanpa atribut kampanye’ menjadi sangat penting disini.

Kedua, kampanye di kampus juga diperbolehkan jika dilakukan atas undangan penanggung jawab fasilitas tempat pendidikan, dalam hal ini, undangan dari pihak perguruan tinggi. Peserta Pemilu tidak bisa langsung ‘nylonong’ masuk kampus tanpa undangan pihak kampus.

Tentu, apa yang disebut kampanye adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan atau citra diri Peserta Pemilu (Ketentuan Umum PKPU No. 23 Tahun 2018). Selain itu, apa yang dilakukan di kampus disebut kampanye sejak penetapan peserta Pemilu oleh penyelenggara.

Wacana kampanye di kampus merupakan gagasan progresif untuk melakukan sosialisasi Pemilu pada mahasiswa. Jika kita menengok sejarah, baik sebelum, pada masa dan sesudah kemerdekaan RI, mahasiswa memiliki peran yang besar dalam memajukan Indonesia dengan keterlibatan di ranah politik.

Hanya saja, pada masa Orde Baru (1978), Menteri Pendidikan Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan kampus dan  Badan  Koordinasi Kemahasiswaa (NKK/BKK) yang menyapih mahasiswa dari perannya di ranah politik. Mahasiswa yang terlibat dalam politik praktis diancam akan dicabut status kemahasiswaannya.

Gagasan kampanye di kampus sesungguhnya sudah pernah diusulkan pasca reformasi tahun 1998 sebagai anti tesa atas kebijakan NKK/BKK di kampus, hanya

saja wacana ini lalu tenggelam, Padahal, dalam hemat saya, kebijakan ini sudah tidak relevan lagi apalagi masa reformasi yang memberi ruang pada seluruh segenap anak bangsa untuk terlibat dalam kehidupan politik.  

Saya setuju untuk memberikan ruang kampanye di kampus atau perguruan tinggi dengan beberapa alasan berikut:

Pertama,  pihak perguruan tinggi berhak mendengar langsung kampanye dari peserta Pemilu sebagaimana masyarakat Indonesia yang lain. Dalam konteks ini, tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga kampus –sebagai bagian warga Negara Indonesia—dengan tidak memberi ruang pada mereka dalam sosialisasi Pemilu.

Kedua, kampanye di kampus merupakan ajang adu gagasan yang menarik antara para kontestan pemilu dengan pemilih cerdas kalangan terdidik. Sehingga para kontestan harus sungguh-sungguh  untuk mensosialisasikan ‘citra diri’ dan partainya dengan program-program yang populis dan rasional.

Ketiga, kampanye di kampus akan banyak memberikan hal yang positif, utamanya dalam meningkatkan kompetensi kontestan Pemilu serta mendorong partisipasi kalangan kampus dalam meningkat kualitas demokrasi di Negara kita.  

Keempat, pihak perguruan tinggi adalah masyarakat terdidik yang dapat membantu sosialisasi partai atau peserta pemilu. Artinya, dengan kampanye di kampus, para akademisi dapat menularkannya pada masyarakat luas. Pencerahan dari kalangan kampus dipandang juga akan lebih mendidik rakyat.      

Sejatinya, pelaksanaan kampanye di perguruan tinggi telah jamak dilakukan di luar negeri. Seperti halnya di Amerika Serikat, dan banyak negara lain yang menjadikan kampus sebagai tempat debat para peserta pemilihan umum.

Oleh karena itu, gagasan untuk menjadikan kampus sebagai tempat kampanye adalah gagasan ideal untuk meningkatkan partisipasi publik dalam Pemilu, khususnya di kalangan civitas akademika kampus.  

Hanya saja, regulasi tentang kampanye Pemilu di kampus agar diteruskan oleh KPU dengan memuat peraturan yang lebih detail tentang hal tersebut.

Misalnya bentuk kampanye yang dialogis, jumlah massa, dan aturan teknis lain yang diperlukan, agar kampanye di kampus perguruan tinggi sesuai dengan harapan. Wallahu’alam.

Penulis adalah Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara