Masalah LHKPN dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Gurubesar Ilmu Hukum Univesitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita/Net
Gurubesar Ilmu Hukum Univesitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita/Net

DUA puluh empat tahun setelah diberlakukanya UU Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (UU KKN) pada tanggal 19 Mei 1999, yaitu pada tahun 2023 (tahun ini), telah terjadi peristiwa yang mengejutkan, di mana 80% pegawai kantor pajak dalam lingkungan Kementerian Keuangan belum melaporkan harta kekayaan yang diwajibkan di dalam UU a quo atau dikenal dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN; juga terjadi hampir di seluruh K/L.

Sikap penyelenggara yang tidak mau atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai aparatur negara yang tidak mematuhi ketentuan UU a quo mencerminkan tidak adanya kepedulian dan bahkan ketidakjujuran kepada masyarakat luas, sedangkan sikap tersebut sepantasnya tidak dilakukan sebagai teladan pemimpin bangsa baik di masa kini maupun yang akan datang.

Tingkat Kepatuhan terhadap UU Nomor 28 tahun 1999 yang rendah, apalagi telah merupakan perbuatan yang melanggar UU a quo adalah merupakan embrio dan sumber dari timbulnya perbuatan korupsi di masa yang akan datang.

Dalam konteks inilah, diperlukan upaya keras pemerintah untuk melaksanakan strategi pencegahan (preventif) atau pencegahan dengan penahanan (preventive detention) untuk menetralisasi sumber dan embrio korupsi tersebut.

Peristiwa ketidakpatuhan pegawai pajak Eselon III yang telah juga dilakukan oleh pegawai pajak Eseleon II, AP mantan Kakanwil di Kalimantan menjadi bukti nyata bahwa strategi pencegahan terbukti lebih penting dan lebih strategis dari strategi penindakan dan penghukuman; strategi yang terbiasa dan terobsesi di kalangan APH, termasuk hakim pada umumnya.

Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa LHKPN telah tidak diselesaikan secara efisien oleh KPK selama 24 tahun sejak diundangkan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN pada tanggl 19 Mei 1999. Jika KPK bekerja secara efisien dalam melaksanakan tugas sesuai perintah UU a quo, maka dipastikan tugas-tugas penyidikan perkara tipikor akan semakin efisien dan bahkan mengurangi beban penyidikan pada KPK disebabkan jauh-jauh hari telah dapat dicegah perbuatan melawan hukum, baik kolusi, nepotisme maupun korupsi.

Bersandarkan fakta melemahnya fungsi pencegahan korupsi melalui UU a quo, maka seharusnya pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Kekayaan Peyelenggara Negara yang telah dibubarkan menjelang pembahasan RUU Tipikor di DPR RI, ketika itu; segera dibentuk kembali sekaligus memperkuat tugas dan wewenang lembaga tersebut.

Keberhaslan Lembaga tersebut menemukan perbuatan kolusi dan nepotisme dan ketidakseimbangan antara penghasilan kekayaan yang sah dengan hasil perolehan harta kekayaan yang senyatanya diperoleh penyelenggara negara dapat dilimpahkan kepada KPK atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyidikan.

Contoh konkret akibat dari tidak efisiennya pemeriksaan atas laporan harta kekayaan penyelenggara negara diketahui harta kekayaan pejabat Eselon III, Rafael diungkap PPATK mencapai setengah triliun rupiah (Rp 500.000.000.000. 000,-) yang mustahil diperoleh dalam waktu kurang dari lima tahun, dan terbukti pejabat Eselon III tersebut diwajibkan melaporkan harta kekayaannya terhitung sejak tahun 2012 yang telah lampau (sebelas tahun).

Jika pemeriksaan harta kekayaan telah dilaksanan secara efisien sejak tahun 2012 mustahil diperoleh harta kekayaan senilai setengah triliun rupiah. Merujuk pada uraian LHKPN I kasus pejabat pajak Rafael, maka UU Tipikor saja tidak akan banyak mengungkap tuntas kasus yang bersangkutan kecuali dilengkapi/dilanjutkan dengan kerja sama PPATK.

Keadaan penegakan hukum atas aset-aset yang diduga berasal dari tindak pidana akan lebih efisien dan tuntas jika dilengkapi selain UU TPPU juga dengan pemberlakuan UU perampasan aset melalui pembuktian terbalik, reversal of burden of proof atau onus proof; dengan metode perampasan secara keperdataan atau in rem forfeiture.

Metoda tersebut telah diatur dalam Rancangan UU Perampasan Aset Tindak Pidana, yang telah dimasukkan prolegnas prioritas tahun 2023. Pengesahan RUU PA dimaksud sangat mendesak dan strategis karena menggunakan keseimbangan pola perlindungan atas aset tindak pidana sebagai harta kekayaan negara dan pelindungan atas keberatan terhadap ketiga atas sebagian penguasaan aset tindak pidana oleh negara.

Pengesahan RUU PA menjadi undang-undang sangat diperlukan ketika negara sedang berusaha melakukan pemulihan asset BLBI yang masih bertebaran di luar jangkauan Kemenkeu, khususnya Dirjen Harta Kekayaan Negara yang kini bertindak sebagai Ketua Satgas BLBI di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Berdasarkan uraian di atas, semakin terang dan jelas bahwa kejahatan ekonomi, keuangan dan perbankan termasuk white collar crime yang dilakukan oleh pelaku-pelaku berasal dari high-class actors dan memiliki keuangan yang tidak terbatas baik sebagai modal, keuntungan atau operational cost yang digunakan untuk melakukan tindak pidana ekonomi, keuangan dan perbankan diperparah dengan kecanggihan teknologi siber sehingga Lembaga BSSN selain PPATK menjadi lembaga terdepan dan diharapkan dapat membebaskan perekonomian Indonesia dari stagnasi tata perekonomian nasional.

Kompleksitas wilayah kejahatan ekonomi, keuangan dan perbankan memerlukan kajian tersendiri untuk kemungkinan membentuk omnibus law pemberantasan kejahatan ekonomi, keuangan dan perbankan sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengantiipasi hambatan-hambatan prosedural koordinasi antara lembaga-lembaga negara terkait.

Mengakhiri tulisan ini, pemerintah dan DPR perlu segera melakukan Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasa Korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif diutamakan pengembalian keuangan negara atau perekonomian nasional.

Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Univesitas Padjadjaran