Manfaat Puasa dalam Tinjauan Psikologi

Kadis Kesehatan Kabupaten Lebong, Rachman/RMOLBengkulu
Kadis Kesehatan Kabupaten Lebong, Rachman/RMOLBengkulu

Tim Promkes RSST - Dalam ayat suci Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa berpuasa adalah aktivitas yang telah menjadi ciri hidup manusia dari berbagai zaman. Tujuannya adalah agar manusia meningkat ketakwaannya (QS Al-Baqarah : 183), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Hal ini sebagaimana difirmankan Allah (QS Ali Imran : 15) : Katakanlah : “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”. Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.

Pada umumnya puasa dikaitkan dengan usaha untuk memenuhi perintah Tuhan. Dalam perkembangannya, puasa difungsikan bermacam-macam, di antaranya adalah untuk menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, meningkatkan kecantikan, menyembuhkan penyakit psikologis, dan seterusnya. Tujuan dan tata cara puasa yang berbeda-beda tentu saja akan menghasilkan efek  yang berbeda.

Puasa dan Ketahanan Fisik

Puasa adalah aktivitas jasadi, nafsani, dan ruhani. Tentang pengaruh puasa terhadap kesehatan (fisik) manusia, ada sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Berpuasalah maka engkau sehat”.

Sebagaimana kita ketahui dan alami, seseorang yang berpuasa akan memulainya dengan sahur sebelum fajar dan berbuka puasa ketika matahari terbenam (saat Maghrib tiba). Total waktu yang digunakan untuk berpuasa (di Indonesia) adalah sekitar 14 jam. Selama waktu tersebut orang yang berpuasa tidak melakukan aktivitas makan dan minum. Bagaimana efeknya terhadap fisik kita?

Berdasarkan kesimpulan tersebut diketahui bahwa berpuasa dengan kerja fisik tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kadar glukosa darah. Sebaliknya, berpuasa dengan kerja fisik tetap memberikan kestabilan pada kadar glukosa darah normal. Kerja fisik pada saat berpuasa akan menjaga daya tahan tubuh sehingga komposisi tubuh ideal yang kita inginkan dapat tercapai.

Puasa Meningkatkan Nilai dan Pengalaman Keagamaan

Salah satu aspek penting puasa adalah nilai hidup. Menurut sebuah penelitian nilai hidup yang berkembang dalam diri seseorang dipengaruhi oleh aktivitas latihan yang dilakukan orang tersebut. Nilai hidup sendiri adalah nilai keagamaan, nilai sosial, nilai teori, nilai estetika, nilai ekonomi, dan nilai politik.

Sebagaimana dalam puasa ramadhan, aktivitas yang dapat mengembangkan nilai keagaman. Dalam tradisi beragama (Islam di Indonesia), setiap menjelang shalat tarawih dan sehabis shalat shubuh selalu diselenggarakan kajian keagamaan di masjid-masjid, di samping berbagai acara lain.

Pengetahuan agama disampaikan secara massif dan intensif. Salah satu hal terpenting dalam pengetahuan agama adalah strategisnya posisi aktivitas di bulan ramadhan di mata Allah. Salah satu contoh penting adalah segala perbuatan baik manusia akan dilipatgandakan pahalanya. Ajaran yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah : Rasulullah SAW bersabda,

”Sungguh telah datang kepadamu bulan yang penuh berkah, di mana Allah mewajibkan atas kamu berpuasa, di saat dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu setan-setan, serta di mana dijumpai suatu malam yang nilainya lebih berharga dari seribu bulan.”

Pada intinya, pada waktu berpuasa, orang didorong untuk beribadah dan beramal yang sebanyak-banyaknya. Bila orang yang berpuasa melakukan upaya ibadah vertikal yang semakin intensif (seperti puasa, tarawih dan witir, shalat sunat, membaca Al-Qur’an, mengaji, dan lain sebagainya) maka ia memperkuat nilai agama.

Selain itu, orang yang berpuasa dimungkinkan untuk mengalami berbagai pengalaman keagamaan. Pengalaman keagamaan digambarkan sebagai ungkapan religius yang tertanam dalam relung sanubari terdalam masing-masing pribadi. setiap manusia suatu saat niscaya mengalami hal-hal yang menggetarkan dan menakjubkan (trembling and fascinating) yang mungkin berlangsung sekejap atau lebih lama waktunya, disadari atau tidak.

Pengalaman beragama dapat disejajarkan dengan ihsan dalam konsep Islam. Pengalaman keagamaan muncul setelah atau saat seseorang intensif melakukan ibadah dan amal sosial. Intensitas ibadah di bulan puasa, misalnya saat orang mengaji, berdzikir, dan melakukan muhasabah tiba-tiba muncul insight merasa dicerahkan oleh Tuhan. Hal ini diisyaratkan oleh sebuah hadits yang berbunyi :

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan penambahan: ”Semua ibadah anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, (yang dilakukan) untuk-Ku, dan Aku akan memberinya pahala untuknya.” Ada 2 (dua) kegembiraan untuk orang yang berpuasa : pertama pada saat berbuka (ifthar) puasa, dan kedua pada saat bertemu dengan Tuhannya; pada saat itulah ia akan menemukan keriangan dengan puasanya.”

Puasa Meningkatkan Nilai Sosial

Di samping itu, pada waktu puasa seseorang dianjurkan untuk melakukan ibadah horisontal (memberi makan orang yang berpuasa, memberi infaq, menyerahkan zakat fitrah, menyerahkan zakat mal, mengganti ketidakmampuan berpuasa dengan fidyah, dan sebagainya), maka puasa akan meningkatkan nilai sosial. Rasulullah sendiri memberi contoh untuk beramal yang sebanyak-banyaknya kepada orang lain. 

”Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan, dan sifat dermawannya itu lebih menonjol pada bulan Ramadhan, yakni ketika ia ditemui malaikat Jibril” (HR Bukhari, dalam Sabiq, 2007).

Suasana puasa yang mendorong orang untuk beramal bagi kesejahteraan dan kebaikan orang lain ini pada gilirannya akan menghidupkan nilai sosial.

Kekuatan puasa (ramadhan) dalam menghidupkan atau memperkuat nilai-nilai hidup sosial dan agama dicapai melalui proses pengulangan. Pengulangan yang terus menerus memberi bekasan yang relatif menetap dalam diri seseorang. Aktivitas beribadah dan beramal sosial akhirnya menguatkan nilai sosial dan nilai keagamaan seseorang.

Puasa Meningkatkan Kontrol Diri

Salah satu aspek terpenting dari puasa adalah kontrol diri.  Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya dalam menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari hal yang tidak diinginkan. Seorang ahli psikologi agama mengungkapkan bahwa orientasi religius intrinsik dapat memiliki konsekuensi positif, termasuk terhadap variabel kepribadian seperti kontrol diri, kecemasan, keyakinan irrasional, depresi, dan sifat yang lain. Apakah berpuasa adalah ungkapan orientasi religius intrinsik? Dapatkah puasa meningkatkan kontrol diri?

Puasa sendiri adalah perwujudan dari keyakinan seseorang terhadap Allah. Orang yang berpuasa wajib seperti ramadhan menunjukkan maksud hatinya untuk selaras dengan keyakinan dan ajaran agama. Allah berfirman: ”Ia tidak makan dan minum dan meninggalkan nafsunya karena Aku. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya dan setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR Bukhari).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah : Rasulullah SAW bersabda, ”Puasa adalah perisai (dari api neraka). Maka, orang yang berpuasa janganlah berhubungan badan dengan istrinya atau berbuat jahil, dan apabila seseorang memaki atau mengajak berkelahi, katakan kepadanya, “Aku sedang berpuasa.’” Nabi SAW menambahkan, ”Demi Dia yang menggenggam jiwaku, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk. (Dan inilah perkataan Allah terhadap orang-orang yang sedang berpuasa), ”Ia tidak akan makan dan minum dan meninggalkan nafsunya karena aku. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dan setiap kebaikan akan dibalas 10 kali lipatnya. ” (HR Bukhari).

Puasa Meningkatkan Kreativitas

Berpuasa merupakan salah satu media untuk memperoleh ide yang brilian. Dalam penelitian, ada seorang kreator muslim yang mempercayai bahwa di bulan ramadhan ia lebih mudah untuk mendapatkan ide-ide cemerlang. Saat melakukan puasa, maka ide-ide itu bermunculan. Menjadi pertanyaan, bagaimana keterkaitan puasa dengan kreativitas?

Hal yang paling pokok berkaitan dengan proses kreatif adalah menghasilkan ide yang sebaik dan secemerlang mungkin, baik berupa pemikiran, perilaku, maupun produk. Syarat utama untuk melakukan proses kreatif adalah memahami masalah secara mendalam. Cara yang ditempuh oleh kreator muslim adalah dengan menambah wawasan tentang hal yang diminati, di antaranya adalah membaca, terutama buku, namun bisa juga majalah atau bacaan yang lain. Mereka juga menambah wawasan melalui diskusi dengan teman sejawat, keluarga, ahli, dan bahkan dengan orang-orang yang berseberangan pendapat. Boleh dikatakan bahwa aktivitas utama mereka adalah melakukan usaha secara sengaja untuk penambahan pemahaman atas suatu permasalahan yang mereka minati.

Aktivitas beribadah (berdoa, puasa, shalat sunnat) adalah aktivitas yang dipandang penting oleh kreator muslim. Dalam situasi inkubasi, ide akan lebih mudah turun bila mereka berupaya menjolok turun ide itu dari pemiliknya, yang tidak lain adalah Allah. Kreator muslim percaya sepenuhnya bahwa ide adalah milik Allah. Ide akan sampai ke otak kita bila melakukan usaha yang langsung berhubungan dengan Allah, seperti berdoa, shalat, dan berpuasa. Saat orang berpuasa, ia dalam keadaan berproses membersihkan jiwa mereka. Pembersihan jiwa sendiri dilakukan dengan memperbanyak amal baik (yang bisa menutupi dosa-dosa), taubat, istighfar, meminta ampunan kepada orang lain, serta bersalaman. Bersihnya jiwa mempermudah datangnya cahaya atau pengetahuan yang berasal dari Allah. Dengan kebersihan jiwa, maka  berbagai persoalan kreatif yang kita hadapi dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari dapat ditemukan jawaban-jawaban penyelesaiannya.

Puasa Meningkatkan Pengendalian Perilaku Seks

Salah satu peran puasa adalah menurunkan dorongan seksual manusia, sekurang-kurangnya selama periode puasa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh suatu hadits Nabi :

Diriwayatkan dari ’Alqamah : Ketika aku sedang berjalan bersama Abdullah ra, ia berkata, ”Kami sedang bersama Rasulullah SAW dan beliau bersabda, ’Laki-laki yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, sebab (menikah) akan menundukkan pandangannya dan memelihara kelaminnya; dan laki-laki yang belum sanggup menikah, maka berpuasalah, karena akan mengurangi nafsunya.”

Penjelasan yang dapat diberikan adalah nafsu yang berpusat di perut dalam keadaan berkurang dayanya. Nafsu sendiri berpusat di perut manusia. Istirahatnya perut manusia saat berpuasa menjadikan nafsu atau dorongan seks mengalami penurunan. 

Referensi:

1. Ancok, D. & Suroso, F.N. 2011. Psikologi Islami : Solusi Islam atas Problem Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

2. Az-Zabidi, I (ed.). 2002. Ringkasan Shahih Al-Bukhari. Bandung : Mizan.

3. Bergin, A.E. 1980. Religiousness and Mental Health Reconsidered. Journal of Consulting Psychology, 34, 2, 95-105.

4. Calhoun, J.F. & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationships. Third Edition. New York : McGraw-Hill.

5. James, W. 2004. Perjumpaan dengan Tuhan : Ragam Pengalaman Religius Manusia. Bandung : Mizan.

6. Nashori, H. F. 2005. Kiat-kiat Menjadi Penulis Muslim Kreatif. Yogyakarta : Quranic Media Pustaka.

7. Siregar, D. & Juriana. 2005. Glukosa Darah antara Berpuasa dengan Kerja Fisik dengan Berpuasa Tanpa Kerja Fisik. Dalam H. Fuad Nashori dkk (eds), Prosiding Temu Ilmiah Nasional Psikologi Islami I. Yogyakarta : PP API, Penerbit Insania Cit, dan Fakultas Psikologi UII.

8. Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag. Psikolog (Dosen Prodi Psikologi FPSB UII Manfaat Puasa Dalam Tinjauan Psikologi).