Malari 1974 dan Pertarungan Pemikiran Pembangunan

Potret peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari)/Net
Potret peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari)/Net

ARTIKEL ini merupakan bagian pertama dari tulisan memperingati 49 tahun Malari.

Prolog

Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) biasanya dibicarakan orang dalam dua topik, peranan Hariman Siregar dan para aktivis kampus dalam menggerakkan aksi kritis mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru yang terlalu mengandalkan modal asing dari Jepang, kedua adalah soal persaingan dua jenderal yaitu Pangkopkamtib Soemitro dan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) Ali Moertopo dalam mempertahankan kekuasaan mereka di dalam Rezim Orde Baru.

Yang sering alpa dibahas adalah bagaimana gerakan kampus menjelang pecahnya kerusuhan Malari tersebut berawal dari diskusi-diskusi mahasiswa mengkritisi kebijakan pembangunan Orde Baru yang menitikberatkan pada strategi pertumbuhan ekonomi agar hasilnya menetes ke bawah (trickling down effect) dalam bentuk pemerataan pembangunan.

Gerakan kampus yang dominan adalah konsekuensi logis dari aksi-aksi mahasiswa tahun 1966 menuntut pembubaran PKI dan perbaikan ekonomi, kemudian berujung pada power struggle antara Presiden Soekarno versus Tentara terutama Angkatan Darat yang didukung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan para eksponen 1966.

Peranan kampus sebagai dapur pemikir kebijakan pembangunan tentu diwarnai dengan perdebatan akademik yang sangat dinamis tentang berbagai mazhab pembangunan. Ibarat The Battle of Ideas atau perang gagasan antara penganut ekonomi Klasik versus Keynesian, kebijakan pembangunan Orde Baru diwarnai pertarungan gagasan antara kelompok para teknokrat berjulukan Mafia Berkeley yang mendorong mazhab ekonomi pasar, dengan para oponennya yang lebih mendorong nasionalisme ekonomi.

Mafia Berkeley dan Para Jenderal Orde Baru

Tim Ekonomi Presiden Soeharto mendapat julukan ‘Mafia Berkeley’ oleh David Ransom dari majalah Ramparts yang beraliran Kiri Baru. Tim Ekonomi Presiden memang hampir seluruhnya lulusan Universitas California di Berkeley seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Soebroto dan Muhammad Sadli.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) tanggal 10 Agustus 1963, Widjojo Nitisastro membacakan pidato berjudul ‘Analisis Ekonomi dan Rencana Pembangunan’. Widjojo menyampaikan saran kepada Pemerintahan Soekarno yang pada saat itu menghadapi inflasi untuk mengombinasikan kebijakan intervensi pemerintah dengan mekanisme pasar dalam menyelesaikan persoalan ekonomi. Saat itu, Presiden Soekarno dengan Manipol-USDEK-nya menolak bantuan utang luar negeri dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dengan jargon ‘Go To Hell with Your Aid’ dan memilih jalan ekonomi terpimpin yang berdikari.

Kenaikan harga diselesaikan dengan pencetakan mata uang atas kebijakan Gubernur Bank Sentral Teuku Jusuf Muda Dalam agar masyarakat tetap memiliki daya beli, dan tentu saja untuk membiayai kebijakan ekonomi-politik ‘Mercusuar’ ala Soekarno, hasilnya tentu saja hiperinflasi yang mencapai angka 600 persen pada awal tahun 1966. Krisis ekonomi ini kemudian diperparah dengan krisis politik akibat kegagalan kup para perwira militer Gerakan 30 September yang didukung PKI.

Pergantian Presiden dari Soekarno kepada Jenderal Soeharto mengubah konfigurasi politik dari yang sebelumnya didominasi politisi sipil Soekarnois diganti dengan para perwira militer dan akademisi pendukung Orde Baru. Portofolio ekonomi diberikan kepada tim penasehat yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Yang tidak banyak diketahui orang, Menko Ekuin pertama dalam sejarah pemerintahan RI ini melakukan renegosiasi utang luar negeri sekaligus mengundang investor asing.

Setidaknya ada tiga undang-undang penting hasil renegosiasi utang dan investasi tersebut, yaitu UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, serta UU Pertambangan yang ketiganya disahkan pada tahun 1967. Dengan tiga kerangka hukum inilah, perusahaan tambang dari Amerika, Freeport McMoran menguasai Gunung Grasberg yang memiliki cadangan emas dengan luas konsesi lahan 300 km persegi yang sebelumnya ditemukan ahli geologi Belanda, Jean Jacques Dozy.

Keberhasilan Mafia Berkeley membawa mereka ke dalam tampuk kekuasaan. Dalam reshuffle Kabinet Pembangunan I bulan September 1971, Widjojo menjadi Menteri/Kepala Bappenas, Emil Salim menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Mohammad Sadli yang sukses sebagai Ketua Komite Penanaman Modal Asing menjadi Menteri Tenaga Kerja, dan Soebroto menjadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi. Mereka berempat memperkuat kedudukan mantan Tim Ekonomi lainnya yang sudah menjabat sejak tahun 1968 yaitu Ali Wardhana sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda sebagai Menteri Perhubungan, Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Radius Prawiro sebagai Gubernur Bank Indonesia.

Keberadaan Soemitro, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terlibat dalam peristiwa PRRI/Permesta dalam Kabinet Pembangunan I memperkuat kesan bahwa Tim Ekonomi Presiden Soeharto akan berwarna sosialistis. Ditunjuknya Ali Budiardjo sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, tokoh PSI yang pernah menjadi sekretaris Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Sekjen Kementerian semasa Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Pertahanan, memperkuat dugaan tersebut.

Namun, kesan bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru akan bercorak Sosialistis menjadi buyar dengan terlalu dominannya modal asing terutama dari Amerika Serikat dan Jepang. Walaupun kebijakan modal asing tersebut diimbangi dengan UU no. 6 tahun 1969 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, modal dan investasi asing dari dua negara blok Kapitalis tersebut mau tidak mau mendominasi perekonomian nasional Indonesia.

Guru Besar FEUI Prof. Sarbini Soemawinata, mantan Ketua Tim Penasehat Politik Presiden Soeharto yang juga mertua aktivis mahasiswa UI Hariman Siregar, menjadi akademisi terdepan dalam mengkritisi dominannya modal asing dalam perekonomian Indonesia pada awal Orde Baru tanpa diikuti dengan pemerataan pembangunan. Prof. Sarbini juga dikenal sangat keras menentang dominasi perwira tinggi militer dalam politik dari mulai menjabat menteri, direktur utama perusahaan negara hingga kepala daerah yaitu gubernur, bupati dan wali kota. Apakah itu menjadi dasar pembubaran Tim Penasehat Politik dan Prof. Sarbini tersingkir dari pusat kekuasaan Orde Baru dan Tim Penasehat Ekonomi justru menapaki kenaikan jenjang kekuasaan? Jawabannya tentu bisa jadi.

Yang pasti, kritik Prof. Sarbini memiliki dasar yang kuat. Beberapa perwira tinggi yang memegang jabatan penting dalam politik dan ekonomi nampak begitu berkuasa, seperti Kepala Bulog Mayjen Achmad Tirtosudiro, Dirut Pertamina Mayjen Ibnu Sutowo dan Dirut PN Berdikari Brigjen Soehardiman. Ketiga jenderal ini berkuasa penuh di perusahaan negara penghasil dana nonbujeter dalam jumlah hampir tak terbatas.

Selain para jenderal tadi, sekelompok perwira yang dikenal sebagai Staf Pribadi Presiden Soeharto seperti Brigjen Ali Moertopo, Brigjen Soedjono Hoemardani dan Brigjen Soerjo Wirohadisapoetro dikenal dekat dengan pengusaha swasta dari kalangan etnis Tionghoa. Brigjen Soerjo misalnya, pernah menjadi Komisaris Bank Windu Kencana milik pengusaha Liem Sioe Liong yang dekat dengan Soeharto semasa menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Pada tahun 1968, lembaga ini dibubarkan dan diganti menjadi Asisten Pribadi yaitu Ali Moertopo untuk bidang Politik, Soedjono untuk bidang Perekonomian dan Soerjo bidang Keuangan, ditambah Tjokropranolo untuk urusan Pengamanan Presiden.

Modal Jepang

Peranan Soedjono Hoemardani dan Soerjo dalam menjalin relasi dengan pengusaha Tionghoa seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim), The Kian Seng atau Mohammad ‘Bob’ Hasan, dan lain-lain menjadi salah satu faktor pembuka relasi ekonomi Indonesia dengan Jepang. Relasi ekonomi Indonesia-Jepang sebenarnya sudah terjalin sejak kunjungan Presiden Soekarno ke Tokyo pada tahun 1957 untuk membicarakan perbaikan ekonomi pasca Perang Dunia II dari Jepang untuk Indonesia, karena relasi baik Soekarno dengan para bekas perwira Jepang seperti Shigetada Nishijima dan Tadashi Maeda.

Namun, Soedjono yang pernah menjadi Wakil Komandan Keibodan (Barisan Pembantu Polisi) pada zaman pendudukan Jepang ini tentu saja tidak dapat menjalin relasi dengan pengusaha Jepang tanpa peranan aktivis mahasiswa UI dan Ketua Umum PMKRI Liem Bian Koen atau dikenal dengan nama Sofjan Wanandi.

Sofjan yang saat Ketua periodik KAMI Jakarta Raya dekat dengan Ali Moertopo sewaktu berpangkat Letkol menjabat Asisten Intelijen Kopur II Kostrad, berperan mengundang pengusaha Jepang untuk menanamkan modalnya di Indonesia sejak 1967. Karena jasanya, Pemerintah Jepang kemudian memberikan penghargaan ‘The Order of Rising Sun, Gold and Silver Star’ pada tahun 2015, saat Sofjan Wanandi menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Wapres Jusuf Kalla.

Relasi ekonomi Indonesia-Jepang tentu saja tidak hanya berasal dari jalur kelompok Ali Moertopo-Soedjono Hoemardani-Sofjan Wanandi yang kemudian dikenal dengan kelompok think tank CSIS. Terdapat kelompok lain yang dipimpin Ginandjar Kartasasmita, lulusan Universitas Pertanian Tokyo dan perwira Angkatan Udara serta berada dalam pusaran kelompok Mensesneg Mayjen Soedharmono. Kelompok Ginandjar kemudian membina para pengusaha pribumi yang tergabung dalam HIPMI dan KADIN dikenal dengan nama ‘Ginandjar Boys’ seperti Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro dan Fadel Muhammad pada dekade 1980-an dan 1990-an.

Namun jauh sebelum Ginandjar aktif mendorong keterlibatan pengusaha swasta pribumi, kelompok CSIS dengan intelektualnya Dr. Panglaykim sudah aktif menyoroti kebijakan ekonomi Orde Baru yang sentralistis dan didominasi perusahaan negara serta mendorong peranan pengusaha swasta. CSIS pada awal 1990-an dikenal dengan kritik keras putri Panglaykim, Dr. Mari Elka Pangestu terhadap kebijakan deregulasi Orde Baru yang dianggap setengah hati dan ‘kurang liberal’. Yang menarik, Ginandjar saat menjabat Menteri/Kepala Bappenas menghasilkan konsep Ekonomi Kerakyatan yang menolak deregulasi yang dianggap liberal dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha kuat sembari merugikan pengusaha golongan ekonomi lemah (PEGEL).

Korupsi, Insinuasi dan Malari

Menjelang Malari, suasana politik nasional memang sudah memanas dengan terkuaknya kasus-kasus korupsi di tubuh kekuasaan. Beberapa kali kasus penyalahgunaan dana negara, korupsi Pertamina dan Bulog, penyelundupan barang mewah yang melibatkan pejabat imigrasi hingga pelabuhan hingga proyek Taman Mini yang menyeret nama Ibu Tien Soeharto dianggap memboroskan keuangan negara memanaskan situasi politik. Memang pada masa Orde Baru terutama awal tahun 1970-an, pers saat itu mampu menjadi pilar keempat demokrasi dengan melancarkan kritik-kritiknya yang sangat tajam seperti yang dilakukan Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, Rosihan Anwar dengan Pedoman, dan Mingguan Mahasiswa Indonesia yang bermarkas di Bandung dan digawangi para aktivis mahasiswa.

Demonstrasi-demonstrasi tersebut dinilai penguasa akan menimbulkan instabilitas politik yang tentu saja dianggap mengancam pembangunan. Oleh karena itu, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang dikenal dekat dengan Menteri Widjojo dan para koleganya, mencoba membangun dialog dengan para aktivis mahasiswa di Jakarta, Bandung, Yogyakarta hingga Surabaya dan Malang sejak pertengahan tahun 1973. Yang menarik, Soemitro dalam pidatonya mengakui bahwa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru perlu menghasilkan kepemimpinan sosial baru yang tidak autoritatif (istilah Jenderal Soemitro untuk otoritarianisme), dan lebih mendengarkan aspirasi rakyat. Soemitro menjanjikan kepemimpinan sosial baru itu akan muncul pada 1 April 1974 atau pada pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II.

Isu ‘Kepemimpinan Sosial Baru’ yang digulirkan Pangkopkamtib merangkap Wakil Panglima ABRI (Wapangab) Jenderal Soemitro tentu saja memancing insinuasi bahwa ia sedang menggalang dukungan politik. Soemitro dalam memoarnya tentang Malari 1974, menilai bahwa Ali Moertopo dan suatu kelompok pemikir (ia tidak menyebutkan nama) menyebarkan isu yang mendiskreditkan pribadi mantan Pangdam Brawijaya tersebut. Isu ini tersebar karena terbukanya ‘Dokumen Ramadi’ yang menuding Soemitro akan menggulingkan Presiden Soeharto melalui aksi-aksi mahasiswa.

Ramadi sendiri adalah Penasehat dari sebuah organisasi bernama GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam), suatu organisasi yang didirikan para pegawai Departemen Agama namun secara ajaib dekat dengan Soedjono Hoemardani yang dikenal sebagai penganut aliran kepercayaan. GUPPI sendiri kemudian lebih banyak beranggotakan preman, kaum marjinal kota hingga bekas gerilyawan Darul Islam yang sebelumnya dimanfaatkan Ali Moertopo untuk menggalang suara demi memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971.

Insinuasi dari kelompok Ali Moertopo inilah yang menurut Soemitro menjadi penyebab mengapa aksi-aksi mahasiswa yang dipimpin Hariman Siregar, Judilherry Justam, Salim Hutadjulu, Gurmilang Kartasasmita dan lain-lain untuk berdemonstrasi menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkembang menjadi kerusuhan besar dengan korban 11 orang tewas, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban mengalami luka berat dan ringan. Tuduhan kepada Soemitro bahwa ia mendalangi kerusuhan untuk menggulingkan Presiden Soeharto semakin menguat dengan adanya tuntutan mahasiswa Bandung untuk membubarkan lembaga Aspri.

Soemitro sendiri kemudian merasa bertanggung jawab dengan mengundurkan diri sebagai Pangkopkamtib dan dua bulan kemudian mundur dari jabatan Wapangab hingga akhirnya memutuskan pensiun dini. Mundurnya Soemitro seolah menjadi kesempatan bagi kelompok Ali Moertopo dan CSIS untuk menggeser para pemegang kebijakan ekonomi. Nyatanya kemudian Ali Moertopo tersingkir dari politik dengan dijadikannya ia sebagai Menteri Penerangan menggantikan Mashuri pada tahun 1977. Ali Moertopo pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal dan karirnya berakhir sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1983 yang ia pelesetkan sebagai Dewan Pensiunan Agung.

Epilog

Peristiwa Malari sendiri menjadi tonggak perubahan besar dalam kebijakan pembangunan Indonesia yang sebelumnya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan meneteskan hasilnya ke bawah (trickling down effect) dikembangkan menjadi intervensi kebijakan untuk pemerataan pembangunan di samping stabilitas politik, kemudian dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan. Setahun setelah peristiwa Malari, Pemerintah kemudian membangun Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Sekolah Dasar Inpres dalam rangka pemerataan pembangunan bidang kesehatan serta pendidikan.

Kritik-kritik dari kampus tersebut kemudian berkembang menjadi kebijakan wajib belajar, kredit usaha tani hingga pembangunan pedesaan. Walaupun demikian, Rezim Orde Baru melakukan tindakan represif seperti pembubaran Dewan Mahasiswa se-Indonesia dan pendudukan kampus-kampus secara militer pada 9 Februari 1978 dan atas nama stabilitas menerapkan kehidupan politik otoriter hingga jatuhnya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998.

Kritik atas strategi pembangunan Orde Baru tidak berhenti dengan dipenjarakannya Hariman Siregar, mertuanya Prof. Sarbini Soemawinata sebagai imbas peristiwa Malari, serta para aktivis kampus lain korban kebijakan represif Orde Baru. Kritik lebih sistematis selanjutnya muncul dari mahasiswa ITB dengan ‘Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978’ yang ditulis Rizal Ramli dan kawan-kawan, dari akademisi UGM seperti Mubyarto dengan konsep Ekonomi Pancasila, dan dari internal kekuasaan adalah pemikiran Ginandjar tentang Ekonomi Kerakyatan. 

Hanief Ardian

Penulis adalah peneliti Independent Society (IndeSo)