Ki Hadjar Dewantara

DI bangku sekolah Indonesia pada tahun 60an abad XX yang masih dikuasai pemikiran Barat warisan penjajah, saya dididik untuk mengagumi para pemikir pendidikan warga asing seperti Aristoteles, Comenius, Rouseau, Locke, Dewey, Froebel, Montessori, dan lain-lain.


DI bangku sekolah Indonesia pada tahun 60an abad XX yang masih dikuasai pemikiran Barat warisan penjajah, saya dididik untuk mengagumi para pemikir pendidikan warga asing seperti Aristoteles, Comenius, Rouseau, Locke, Dewey, Froebel, Montessori, dan lain-lain.

Sampai kemudian saya sadar bahwa sebenarnya bangsa saya sendiri memiliki seorang tokoh pemikir sekaligus pelaku pendidikan yang sangat layak dikagumi yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian termashur sebagai Ki Hadjar Dewantara.

Yogyakarta

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat  dilahirkan sebagai putra GPH Soerjaningrat, cucu Pakualam III  pada tanggal 2 Mei 1889. Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Beliau pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda.

Namun Soewardi lebih tertarik ke kegiatan tulis-menulis, maka bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Tulisan

Gaya penulisan Soewardi cenderung tajam anti Kolonial yang tersurat di dalam naskah tersohornya:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya.

Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”

Tulisan tersebut menyulut amarah pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang mengakibatkan Soewardi Soerjaningrat ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo protes maka mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913).

Pengasingan

Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia".

Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.

Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya di Tanah Air Udaranya sendiri.

Taman Siswa

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Institut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, Soewardi Soerjoningrat mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya supaya secara lahir-batin dapat bebas dekat dengan rakyat. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara kini sangat dihormati di kalangan para pendidik Indonesia.

Pemikiran

Secara utuh, pemikiran KHD tertuang ke dalam bahasa Jawa:  ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).

Pemikiran  ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa bahkan juga terkandung ke dalam 11 Asas Kepemimpinan TNI dan Polri.  Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957 mendapat gelar doktor kehormatan  dari Universitas Gadjah Mada.

Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, KHD dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional berdasar Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Beliau meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Pengajaran

Saya mengagumi ketajaman pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang secara eksplisit membedakan pendidikan dengan pengajaran maka beliau menyebut diri bukan sebagai Menteri Pendidikan tetapi Menteri Pengajaran.

Pada hakikatnya pendidikan memang terlalu luas dan kompleks untuk diurus dan ditatalaksana oleh sebuah lembaga kepemerintahan. Meski di Indonesia masa kini, istilah pendidikan lebih digunakan ketimbang pengajaran.

Saya mengagumi semangat nasionalisme melawan angkara murka penjajahan yang digelorakan Ki Hadjar Dewantara. Apabila pemikiran Jean Jaques Rousseau diyakini mempengaruhi Revolusi Prancis maka saya meyakini bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara jelas mempengaruhi Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. MERDEKA!

Penulis adalah pengagum pemikiran dan nasionalisme Ki Hadjar Dewantara